![]() |
| Surat edaran Rektor No: 1913/UN44/RT/2019 tertanggal 21 November 2019. Foto: Tangkapan layar/unkhair.ac.id. |
LPM Aspirasi -- Tiap hari Jumat pagi belasan mahasiswa Universitas Khairun (Unkhair) Ternate gelar mimbar bebas di depan fakultas masing-masing. Biasanya mereka mengampanyekan berbagai hal, mulai dari situasi sosial, ekonomi dan politik, baik nasional maupun daerah atau bahkan persoalan dalam kampus.
Mimbar akademik, sebagai perwujudan demokrasi dalam kampus itu tidak bisa dilakukan pada hari-hari lain. Pihak kampus hanya memperbolehkan pada hari Jumat dan dalam waktu sejam. Jika dilakukan pada hari lain, atau melebihi waktu yang ditentukan maka satuan pengamanan (Satpam) kampus akan melakukan pembubaran, hingga represif, bahkan kekerasan.
Bagaskara, mahasiswa Fakultas Hukum menceritakan pengalaman ditampar satpam kampus saat menggelar mimbar bebas. Waktu itu, ia bersama beberapa temannya mengampanyekan persoalan penangkapan 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur didepan fakultas. Tujuannya agar mahasiswa tahu bahwa apa yang dilakukan oleh warga Maba Sangaji adalah upaya menjaga lingkungan dan tanah adat mereka, namun karena tidak memiliki izin, mereka dipaksa bubar oleh keamanan kampus.
Bagaskara dan teman-temannya bersikeras melanjutkan aksi, namun situasi makin chaos, bagaskara ditarik lalu ditampar oleh satpam kampus.
“Saya dan teman-teman sedang kampanye isu, lalu datang sekuriti kampus bilang kami tidak punya izin jadi dipaksa bubar, kami tidak mau dan tetap ingin lanjut aksi, namun kami justru diintimidasi dan saya ditampar,” jelasnya mengenang kejadian tidak menyenangkan itu.
Edaran Rektor
Pembatasan mimbar bebas di Universitas Khairun Ternate sudah berlangsung lama. Melalui Surat Edaran Rektor No: 1913/UN44/RT/2019 tertanggal 21 November 2019 tentang keamanan dan ketertiban kampus.
Larangan tersebut diedarkan karena menganggap orasi mahasiswa dapat memicu instabilitas kampus. Sehingga prinsip dikeluarkannya edaran itu untuk menjaga ketertiban kampus.
Poin ketiga dari edaran itu menjelaskan “Melarang seluruh aktivitas organisasi ekstra kampus yang cenderung menimbulkan instabilitas keamanan dan ketertiban yang mengganggu penyelenggaraan tri darma perguruan tinggi di kampus Unkhair".
“Pada dasarnya aturan ini bukan melarang tapi membatasi, itu artinya mengatur bukan melarang hak berbicara mahasiswa,” ungkap Abdul Kadir Kamaludin, Wakil Rektor III saat di wawancara oleh kru LPM Aspirasi pada, Rabu (26/11).
Peraturan ini menurut Abdul Kadir, mengarah pada ketertiban lingkungan kampus agar tidak semua mahasiswa dari Perguruan Tinggi (PT) lain dapat secara bebas melakukan aktivitas di Unkhair.
“Menyampaikan pendapat itu memiliki aturan dan Institusi memiliki itu, kami tidak membiarkan orang luar untuk masuk," terangnya.
Pembubaran dan Kekerasan Menghantui
Bayang-bayang pembubaran secara paksa menjadi tekanan tersendiri bagi mahasiswa yang menyampaikan pendapat. Apa yang dialami Bagaskara, bukanlah kejadian pertama.
Setidaknya, pasca dikeluarkan surat edaran rektor Unkhair itu, tercatat ada sejumlah organisasi mahasiswa yang melakukan mimbar orasi di lingkungan kampus tak lepas dari tudingan 'instabilitas' bahkan berujung dibubarkan. Walau sebelum-sebelumnya pun pernah dibubarkan dengan alasan serupa.
Dalam laporan LPM Aspirasi, belum genap sebulan diedarkan, sedikitnya berkisar 3 kali pembubaran aktivitas orasi. Sementara laporan LPM Mantra berjudul Babak Belur di Kampus Sendiri, memperlihatkan brutalitas keamanan kampus kala membubarkan aksi mahasiswa.
Jek, mahasiswa FKIP mengatakan, waktu itu, mahasiswa menggelar demonstrasi di depan Rektorat menuntut pencabutan SK Drop Out mahasiswa. Mereka di represif dan dipukul.
Sekitar 12 orang alami luka. Ada yang alami luka di kaki, tangan hingga bagian kepala akibat lemparan batu.
“Sangat brutal kami dipukul sampai ada korban, ada yang luka dan bermandikan darah. Salah satu anggota LPM Mantra pun menjadi korban pelemparan batu, pelipisnya pecah” tuturnya.
Menyampaikan Pendapat adalah Hak Konstitusional
Jek bilang, apa yang dijelaskan Wakil Rektor III dan surat edaran itu jelas melanggar Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Permendiktisaintek) No 18 Tahun 2025 tentang Statuta Unkhair, bahwa menyampaikan pendapat adalah hak mahasiswa.
Lebih spesifiknya dibahas pada bagian ke tujuh pasal 24 tentang hak mahasiswa poin c bahwa mahasiswa Unkhair memiliki hak ‘menyampaikan pendapat secara rasional sejauh tidak mengganggu hak-hak orang lain dan ketertiban Unkhair’.
Kampus seharusnya melindungi Kebebasan Akademik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), yang diimplementasikan lewat Statuta Unkhair bagian Kelima pasal 21.
“Kebebasan mimbar akademik dimandatkan kepada seluruh civitas akademik termasuk mahasiswa, tidak hanya birokrasi kampus,” jelas dia.
Hal ini, kata Jek sejalan jika disandingkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dimana mahasiswa justru punya tanggung jawab sosial, mahasiswa memiliki tugas dan tanggung jawab mengawal dinamika situasi sosial masyarakat yang berkembang.
Dalam mimbar akademik, menegaskan kalau mahasiswa punya tugas dan wewenang penuh untuk menyampaikan gagasannya, sesuai dengan bidang keilmuan dan tidak terlepas atau bertentangan dengan hukum-hukum yang ada dalam masyarakat.
“Hal inilah yang menjadi acuan, sehingga penerbitan Surat Edaran tentang pelarangan aktivitas mimbar bebas di lingkungan kampus dinilai kontraproduktif,” jelasnya.
kebijakan itu, lanjutnya, juga mencederai segala produk perundang-undangan tingkat nasional misalnya UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang dijamin oleh konstitusi tapi kampus malah mencederai konstitusi negara.
“Ini justru akan mencederai ruang demokrasi dan kebebasan mahasiswa untuk merespon situasi dinamika kampus atau pun dinamika masyarakat,” pungkas Jek.
Dodi Faedlulloh, presidium Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengatakan apa yang dilakukan Unkhair merupakan upaya pembungkaman suara kritis mahasiswa. Ini bertentangan dengan kebebasan akademik.
“PT seharusnya menjadi ruang aman bagi ekspresi kritis, termasuk bentuk orasi, mimbar bebas, advokasi kebijakan kampus atau kritik tata kelola Universitas,” ungkapnya saat diwawancara via whatsapp pada Jumat (28/11).
Menurutnya, Surat Edaran yang dikeluarkan Unkhair harusnya tidak dapat mengurangi atau membatalkan hak konstitusional mahasiswa, terutama hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin Pasal 28E dan 28F UUD 1945 serta UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
“Surat edaran hanya memiliki fungsi administratif internal, bukan instrumen pembatasan hak. Jika surat edaran dijadikan dasar membatasi orasi, membubarkan aksi damai, atau meredam kritik mahasiswa, maka itu merupakan tindakan melampaui kewenangan administratif, bertentangan dengan hukum positif, dan mengancam prinsip kebebasan akademik sebagaimana diatur dalam UU Pendidikan Tinggi” sambungnya.
Bagi Dodi, ketertiban akademik memang penting, namun konsep “ketertiban” tidak bisa dipakai sebagai dalih elastis untuk membungkam suara mahasiswa.
Kampus memang boleh mengatur teknis penggunaan ruang dan menjaga agar aktivitas belajar tidak terganggu, tetapi tidak boleh mematikan hak mahasiswa untuk menyampaikan pendapat, apalagi bila alasannya tidak proporsional dan diskriminatif.
“Dalam praktiknya, ‘ketertiban’ sering dipakai sebagai payung hukum yang kabur sehingga membuka peluang represif, diskriminasi terhadap kelompok tertentu, dan pengabaian terhadap hak sipil mahasiswa. Dalam hal ini, pemeliharaan ketertiban tidak boleh dimaknai sebagai pemadaman kritik,” ujarnya.
Bagi dia mimbar bebas adalah tradisi akademik, bukan ancaman keamanan. Ia adalah bagian dari ekosistem kampus yang sehat, tempat ide bertemu, diuji, dan diperbaharui.
“Dalih ketertiban sering dipakai selektif. Fakta bahwa mahasiswa Unkhair sendiri ikut menjadi korban pembubaran, ini menunjukkan bahwa persoalannya bukan soal ‘mahasiswa luar’, tetapi soal resistensi kampus terhadap kritik,” terangnya
Represif terhadap orasi damai, bagi dia dapat merusak karakter universitas sebagai ruang deliberatif. Kampus bukan kantor birokratik yang hanya menuntut ketaatan; kampus adalah arena publik tempat warga akademik berhak melakukan kontestasi gagasan.
“Pembubaran semacam itu mengirim sinyal berbahaya: bahwa kritik dianggap ancaman, bukan bagian integral dari demokrasi kampus. Ketertiban akademik harus diwujudkan melalui dialog, kanal aspirasi yang jelas, dan keterbukaan institusi, bukan lewat intimidasi atau pembungkaman ekspresi mahasiswa” tambahnya.
Kasus di Unkhair, menurutnya, menunjukkan bahwa sebagian kampus masih memandang kritik sebagai gangguan, bukan pengetahuan.
“Kita harus mendorong universitas untuk merevisi kebijakan yang bersifat represif, mencabut penggunaan surat edaran sebagai dasar pembatasan hak, serta membuka kembali ruang-ruang aman bagi ekspresi mahasiswa”
“Tanpa ruang kritik, universitas berhenti menjadi universitas” tegasnya.
Reporter: Syahrullah Muin dan M. Reza Abd Alim
Editor: Susi H. Bangsa
.png)