Cerita Laki-laki "Kemayu" Melawan Stigma, Bullying Hingga Dilecehkan

Ilustrasi: Pinterest


LPM Aspirasi-- "Don't judge a book by its cover." Peribahasa ini sebuah metafora, kurang lebih artinya: jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya. Mungkin peribahasa ini bisa dilekatkan pada A (20) seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Ternate, Maluku Utara, saat  menceritakan pengalaman pribadinya.

Kisahnya dimulai saat ia duduk di bangku kelas enam SD (Sekolah Dasar). Berawal dari cedera kaki yang dialami saat bermain sepak bola bersama teman-temannya, A lalu dilarang bermain bola oleh sang ibu.

Seiring berjalannya waktu, A lebih nyaman bergaul dengan teman-teman perempuan. Saat masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), ia mulai dapat respon tidak mengenakan dari lingkungan sekolah maupun keluarga. Cat calling (suit-suitan) dan pandangan sinis dari teman-teman kerap ia terima.

“Lebe bae kita batamang deng cewek yang di mana dong pe perilaku tara kasar kayak cowok-- (Lebih baik saya berteman dengan cewek yang dimana mereka punya perilaku tidak kasar kayak cowok)," kata A menceritakan masa lalu saat ditemui pada Kamis (13/04/2023) di Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan, Kota Ternate.

A bercerita, kalau keluarga dari ibunya sama sekali tak melarang berekspresi seperti perempuan. Namun perlakuan berbeda A terima dari keluarga sang ayah yang tak menyukai dirinya terlihat "kemayu". Kemayu dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti genit, centik. Dalam konstruksi sosial patriakris, kata ini hanya disematkan pada perempuan.

Ngana ni dapalia sama deng 'banci' saja..ee (Kamu ini terlihat seperti 'banci' saja ya)".

Jadi laki-laki tu jang lome - lome (jadi laki-laki itu jangan lemah),” cerita A.

A sering mendengar ejekan macam ini berulangkali. Bukan hanya pada lingkungan keluarga, tapi juga lingkaran pertemanan atau orang yang tak mengenalnya lebih dekat.

Jadi Korban Pelecehan Seksual oleh Oknum Aparat

Saat masuk ke dunia perkuliahan, perlakuan tidak mengenakan kembali dialaminya. A kerap dilecehkan secara fisik maupun melalui kata-kata. Namun, yang amat membekas dalam ingatannya, pelecehan yang dilakukan anggota polisi. Bahkan sampai dua kali.

Pertama, kejadian tersebut terjadi saat A masih semester tiga. Dia sering berkunjung ke kosan temannya. Di lokasi tersebut ada penghuni baru, yakni seorang anggota polisi. Saat A menginap di kos rekannya seorang diri, dia dilecehkan secara seksual oleh oknum aparat ini.

Saat itu pelaku dalam kondisi mabuk, namun ia berhasil melawan dan mengunci diri di kamar. A sempat bercerita ke temannya yang tinggal di kos tersebut dan menegur oknum tersebut. Namun teguran tersebut dibantah oleh pelaku.

Setahun berlalu, A kembali mendapatkan pelecehan dari orang yang sama. Saat itu ia dilecehkan saat sedang mencari makan di malam hari. A bercerita pelaku bersama dua rekannya dalam kondisi mabuk. A sempat dikejar oknum aparat tersebut hingga terpaksa bersembunyi di kos teman perempuannya.

Ngoni jang bagaya deng ngo pe baju dinas tu, (kalian jangan bergaya dengan baju dinas kalian itu), penegak hukum tapi cabul, “ kata A.

A bercerita dengan penampilannya yang kemayu, banyak orang yang menyimpulkan bahwa ia gay. Padahal ia hanya memiliki ketertarikan seksual kepada perempuan.

“Sebagai manusia jangan terlalu gampang menilai seseorang dari luar, kalian perlu pendekatan dengan orang tersebut untuk tahu seperti apa dirinya,” kata dia.

Dirundung saat SMP

Pengalaman lain diceritakan Imran (19nama samaran mahasiswa semester 2 di salah satu kampus di Ternate. Ia bilang pernah mendapatkan kekerasan gara-gara perilakunya yang kemayu.

Saat itu, Imran masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Perlakuan kasar sering kali ia terima, mulai dari rambutnya dijambak, ditampar sampai dipukuli hingga alami mimisan dan pelipisnya berdarah.

Bahkan penganiayaan tersebut sempat membuat ia jatuh pingsan sepulang sekolah dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Saat siuman sang ayah menanyakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pingsan dalam keadaan muka yang memar serta pakaian sekolah yang sudah terlihat kusut.

“Sebenarnya ada yang jahat pe ngana (dengan kamu) di sekolah? Coba kas tau tahu sapa yang pukul ngana, biar papa pigi (beri tahu siapa yang memukulmu, agar papa pergi) lapor di kantor polisi,”  kata Imran menirukan perkataan sang ayah.

Imran terpaksa berbohong. Ia bilang berkelahi agar sang ayah tidak melanjutkan pertanyaan detail.

Dari keluarga sendiri, Imran bercerita belum pernah ada yang menegur penampilannya yang kemayu. Selain itu, tindakan pelecehan secara fisik juga kerap ia alami dari teman laki - lakinya.

“Misalnya kita pigi makang di kantin bagitu, tiba-tiba dong datang kong langsung raba deng pegang kita pe dada deng panta (aku pergi makan di kantin, tiba-tiba mereka datang terus langsung raba dan pegang dada dan bokong aku). Jujur kita malu skali (aku sangat malu) macam seakan-akan kita ni dapalia (aku terlihat) hina,” kata Imran saat ditemui pada Selasa (10/01/2023) lalu.

Namun Imran mengaku bersyukur karena semenjak ia kuliah, banyak teman -teman kampus yang tidak picky dalam hal berteman. Sehingga ia merasa cukup aman saat melanjutkan pendidikan di universitas.

Stereotipe

Pandangan stereotipe laki-laki yang menunjukkan sifat-sifat feminin atau tidak konvensional dalam perilaku, penampilan, atau minat seksual mereka dianggap tidak maskulin atau tidak pantas sebagai laki-laki. 

Fenomena macam ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara. Apalagi negara yang masih mengedepankan pemikiran sempit mengenai jenis kelamin dan gender.

Laki-laki yang berperilaku kemayu juga sering dikaitkan dengan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer (LGBTQ). Meskipun tidak semua laki-laki yang berperilaku kemayu itu LGBT, namun stigma yang ada seringkali membuat mereka dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut.

Padahal perilaku kemayu tidak sama dengan orientasi seksual. Karena ada laki-laki yang berperilaku kemayu namun tetap heteroseksual.

Sifat atau ciri seseorang tidak ditentukan dari jenis kelaminnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan dr. Yusni Hasan, Sp.BS, dari RS Mayapada Jakarta. Sifat itu didapatkan dari kromosom Y dan berbagai mutasi di dalam tubuh.

Menurut dia, manusia terlahir dengan 46 kromosom yang terdiri dari 23 pasang. Kelamin ditentukan kromosom X dan Y. Rata-rata perempuan memiliki 46XX dan mayoritas laki-laki kromosomnya 46XY.

Hasil penelitian menemukan ada varian dalam setiap 1000 kelahiran. Misalnya, ada orang yang terlahir dengan satu kromosom X atau satu kromosom Y, serta ada juga yang terlahir dengan lebih dari satu kromosom X atau Y.

Varian dari jumlah kromosom seks tersebut bisa menimbulkan perbedaan secara fisik atau pun tidak. Misalnya saja perempuan dengan tiga kromosom X memiliki perkembangan ciri seks perempuan.

Dokter Ryu bilang, kromosom Y baru muncul saat janin berusia 8 minggu. Saat itu terjadi polarisasi, penarikan hormon-hormon maskulin kromosom Y. Penarikan atau ekspresi gen ini bisa terjadi ekstrem, setengah, atau juga seperempat. Tidak bisa ditentukan.

Saat eskpresi gen maskulin terjadi ekstrem, ciri maskulin akan muncul dengan jelas. Misalnya berbadan kekar, berotot, dan sebagainya. Sebaliknya jika ekspresi gennya terjadi hanya setengah, maka seseorang dengan jenis kelamin laki-laki bisa saja memiliki ciri feminin.

Budaya Patriarki Lahirkan Toxic Masculinity

Dilansir dari laman The Conversation dalam artikel yang berjudul “Laki-laki Juga Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual, Bukti Kentalnya Toxic Masculinity dan Budaya Patriarki di Indonesia” yang ditulis oleh Abdullah Faqih dkk. Mereka menguak budaya maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang dilahirkan masyarakat patriarki. Persoalan ini diyakini penyebab tabunya laki-laki bisa menjadi korban kekerasan seksual.

Budaya patriarki membangun konstruksi maskulinitas. Laki-laki selalu dianggap sosok yang kuat, dominan, serta memiliki posisi tawar (bargaining position) dan kuasa (power) yang lebih atas perempuan. Alhasil timbul pandangan mustahil mengalami kekerasan seksual.

Glorifikasi maskulinitas jadi bumerang bagi laki-laki. Konstruksi sebagai mahluk superior membuat laki-laki korban kekerasan meragukan, bahkan menyangkal pengalaman mereka sendiri. Seringkali mereka justru memperoleh stigma yang menantang maskulinitas mereka dianggap payah, kurang macho, dan bukan laki-laki seutuhnya.

Ketika laki-laki akhirnya berani menyuarakan pengalamannya sebagai korban, publik malah meragukannya. Anggapan laki-laki makhluk yang agresif secara seksual membuat mereka kerap kali dituding “menikmati keuntungan” dari kekerasan seksual yang menimpanya.

Sebab itulah, masyarakat tidak boleh lagi menafikkan bahwa laki-laki juga berpotensi menjadi korban.

Laki-Laki Juga Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) pada tahun 2019 menerima 60 laporan kasus kekerasan seksual siber. Paling banyak kasus pengiriman video seksual tanpa consent.

Sejalan dengan itu, Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam studi mereka tahun 2020 menunjukkan ada 33% laki-laki dan 67% perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

Sementara Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melakukan survei yang melibatkan responden sebanyak 62.224 di tahun 2018. Survei itu menunjukkan 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. Kalau data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2018 juga menunjukkan ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Berbagai data memunculkan fenomena baru. Ini karena rendahnya tingkat pengaduan laki-laki, bukan akibat rendahnya tingkat kasus yang terjadi.


Reporter: Ningsi Umasangaji

 

Produksi ini menjadi bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa: Menciptakan Ruang Aman Gender dan Seksualitas di Maluku Utara Lewat Jurnalisme Keberagaman yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama