Seekor buaya muara yang terikat di sebuah perahu longboat samping rumah Rusli di depan Pasar Modern Labuha, Bacan, Rabu (1/8/2023). Foto: Rajuan Jumat/ LPM Aspirasi |
Reporter: Rajuan Jumat
BUTUH kemampuan,
kepandaian, serta keberuntungan untuk meniru aksi Rusli Kamarullah, seorang
pemburu buaya yang namanya cukup harum di pesisir Pulau Bacan, Halmahera Selatan,
Maluku Utara. Ia sudah adu cerdik dengan predator puncak di alam liar yang
dilindungi itu sejak usia 15 tahun dan hingga kini keadaannya baik-baik saja,
kecuali uang hasil berburu yang menurutnya “dikutuk buaya”; panas dan cepat
habis.
Pada satu tengah hari yang
sibuk, 2 Agustus 2023, arus manusia di jalan utama pasar Modern Labuha, Pulau
Bacan, tak pernah surut dan terus-menerus ribut–teriakan, riuh kendaraan
mengalun di antara suara pedagang buah dan bahan utama dapur. Ibu-ibu ada yang
menawarkan ikan kering, tomat segar hingga buah manggis.
Di pasar itulah kini Rusli
tinggal dan membuat hunian sementara bersama Khadijah, istrinya. Saat ditemui,
ia sedang menjajakan ikan cakalang di tenda depan rumah. Asap rokok kesukaannya
mengepul ke langit-langit tenda karena di sana kurang angin. Tempat jualannya
agak tertutup dihimpit tenda milik pedagang lain di pasar itu.
Dari balik pintu, istrinya
muncul lalu duduk di teras rumah. Rusli berteriak keras padanya: “Ngana [kamu]
bel [telepon]akan Putri dulu…” Putri adalah anak kedua Rusli
Kamarullah yang kini tinggal bersama suaminya di Desa Rawa Badak, Amazing Kali,
Labuha, Pulau Bacan.
Merasa teriakannya tak
dihiraukan, Rusli segera berdiri: “Kalau begitu ngana [kamu] jaga
di sini, kita [saya] kabawa [ke rumah] ambil buaya,” pinta
Rusli.
Rusli meluncur dengan sepeda
motor ke arah utara pasar seorang diri. Tak sampai sepuluh menit dari rumahnya
di Desa Rawa Badak, ia sudah muncul dengan membawa seekor anak buaya melintang
di bagian depan sepeda motor.
Reptil berukuran satu
setengah meter itu tak bisa berbuat banyak–mulutnya terikat tali jemuran, kaki
depan terlilit tali rafia, pun kaki belakang, hanya bagian ekor yang bergerak
ke kiri dan kanan berusaha melepaskan diri dari ikatan. Rusli meletakkannya
lima langkah dari tempat jualannya.
“Di rumah di bawah banyak
dia punya tengkorak. Lain so [sudah] rusak. Kalau dia punya kepala di
sana sekitar 7 meter, tangkap di Desa Awonggo,” kata Rusli sambil
menunjuk ke teras rumah di mana dua tengkorak buaya tergolek.
Rusli mengaku, ia
menangkap buaya karena ingin memperbaiki nasib. Namun, uang hasil buruan serupa
api, “panas, cepat habis,” katanya.
“Kita [saya] ini, kalau bilang mau kaya deng [dengan] batangka [menangkap] buaya, e…so [sudah] lama.Tapi tara [tidak] bisa. Depe doi [dia punya uang] panas. Sama kayak doi tambang emas dan batu bacan. Cepat habis,” ujar Rusli sambil menyulut sebatang rokok kesukaannya.
Sosok Rusli cukup terkenal
sebagai pawang dan pemburu buaya yang handal di wilayah itu. Perawakannya gemuk,
topi loreng dan kacamata tak pernah lepas dari kepalanya, demikian pula akar
bahar di pergelangan tangan. Di jari manis sebelah kiri sebuah cincin batu
bacan melekat. Bulat. Seperti kelereng.
Rusli menunjukkan buaya buruannya yang ia ikat di samping dapur rumahnya di depan Pasar Modern Labuha, Bacan, Rabu (2/8/2023). Foto: Rajuan Jumat/ LPM Aspirasi |
Rusli biasa pergi
menangkap buaya bersama Ali, kakaknya, yang kini sudah meninggal. Ia juga
kadang mengajak Jufri, anaknya. Entah benar atau tidak, Rusli mengaku kalau
aktivitas yang sudah ia jalani bertahun-tahun itu hanya bermodal mantra.
“Saya tangkap buaya
tinggal pangge [panggil]. Cukup baca mantra, panggil, langsung datang.
Kalau buaya so [sudah] datang langsung ikat depe [dia punya]
mulut dan kaki lalu bawa. Kadang langsung potong dan kupas di tempat. Bisa juga
di sini [di rumah] baru potong,” kata Rusli.
Rusli menangkap buaya di
muara Kali Asombang daerah Amasing, Labuha, hingga ke muara kali di Pulau
Kasiruta, bahkan menyisir wilayah pesisir hingga ke barat Pulau Bacan.
Pria empat anak ini
mengaku sudah lama tak lagi berburu. Meski begitu, ia masih memiliki dua ekor
buaya muara terikat di samping dapur rumahnya, tepat di sebuah perahu longboat
yang tertutup dua lembar seng bekas.
“Ada dua ekor lagi di
belakang, masih hidup. Masing-masing sekitar 2 sampai 3 meter lebih,” tutur
Rusli usai menyiram ikan di atas meja jualan.
Dua ekor buaya itu
rencananya akan “dibunuh” untuk dimanfaatkan dagingnya–dibuat dendeng dan
minyak yang dianggap ampuh sebagai obat tiga jenis penyakit: asam urat, gula
dan asma. Satu kilo gram dendeng buaya dijual dengan harga Rp 100 ribu, sementara
minyak buaya berkisar Rp 150-200 ribu setiap kemasan botol minuman
Hemaviton.
Menurut Rusli, orang-orang
sering datang berswafoto dengan buaya miliknya. Kepada pengunjung, ia memungut
bayaran. Harga per orang Rp 500.000. Dari pungutan itu ia memberi makan buaya
dua kali seminggu. Pakannya daging ayam dan ikan.
Dua ekor buaya itu terikat
di perahu yang berdekatan dengan dapur La Ari–seorang pedagang asal Pulau
Mandioli, Halmahera Selatan yang tinggal bersebelahan dinding dengan rumah
Rusli.
Haris, panggilan lain La
Ari, baru tiga bulan menetap di rumah itu. Ia mengaku belum sekalipun melihat
Rusli menangkap buaya. Namun ia membenarkan jika dua ekor buaya yang berada di
belakang dapur adalah milik Rusli Kamarullah dan sudah terikat sejak kali
pertama ia menempati rumah tersebut.
“Kalau dia punya buaya ada
di bodi [perahu] belakang. Cuman kalau masalah penangkapan kita [saya]
tidak pernah lihat. Saya kan baru to. Bajual [jualan] di sini sekitar
tiga bulan lalu.Tinggal di sini buaya itu sudah ada,” ungkap Haris saat ditemui
Jumat, 29 September 2023.
“Baru-baru [belum lama] ini ada dia
punya anak, masih kecil, dorang [mereka] pegang-pegang. Bahkan orang
Cina Kawasi sering lewat sini mereka ambil lalu berfoto sama-sama. Kaya orang mancing mania kong
dapat ikan begitu,” lanjut Haris.
“Om pernah lihat orang
datang beli?”
“Belum” jawabnya.
“Cuman ada yang sering
tanya-tanya to. Tapi biar baku tetangga [bertetangga] begini tapi
kita punya urusan masing-masing. Kita tidak bisa terlalu jauh masuk ke urusan
pribadi mereka,” kata Haris.
Dijual hidup-hidup hingga
Singapura
Tiga kerangka buaya muara yang berada di teras rumah Rusli di Desa Rawabadak, Bacan, Rabu (2/8/2023). Foto: Rajuan Jumat/ LPM Aspirasi |
Di sebuah pertigaan menuju
pangkalan minyak tanah ‘Dua Putri’, Desa Rawa Badak, Amazing Kali, Pulau Bacan,
dua pria dewasa sibuk membongkar sepeda motor menjelang tengah hari. Salah
seorang dari mereka memegang kunci, satunya lagi fokus ke mesin. Sepeda motor
tiga roda itu nampak tak diurus sejak lama.
Jufri, pria yang sedari
awal tanam helm berdiri di samping mengamati. Dia anak pertama yang pernah ikut
keliling Pulau Bacan berburu buaya bersama ayahnya, Rusli Kamarullah.
Begitu dihampiri, Jufri
mengarahkan agar duduk di teras rumah di antara jualan tomat dan sayur-mayur. Tepat
di atas dua lembar papan, tiga kerangka buaya bagian kepala terkulai menghadap
jalan.
Di ruang tengah paling
kanan sudut ruangan, di atas meja plastik hijau, satu tengkorak buaya
diletakkan tepat mengarah ke pintu masuk. Organ satwa itu diberi tanduk rusa
enam cabang. Dari salah satu cabang tersangkut sebuah peci putih.
Satu tengkorak buaya yang berada di ruang tengah rumah Rusli Kamarullah di Desa Rawabadak, Bacan, Rabu (16/8/2023). Foto: Rajuan Jumat/ LPM Aspirasi |
Jufri lalu mengajak ke dapur. Di sudut sebelah kanan sekitar dua jengkal di atas kepala, seekor kulit buaya awetan tertancap di dinding. Masih utuh. Dijadikan hiasan, katanya.
Jufri tahu ayahnya seorang
pemburu buaya sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Pria tamatan
sekolah menengah atas ini mengaku sudah mulai ikut menangkap buaya di usia belasan
tahun.
Buaya hasil buruan Rusli
pernah diperdagangkan ke Ternate, Surabaya hingga Singapura. Untuk pasar
Singapura, Rusli menjual buaya kepada Hasanudin, seorang kolektor asal Wanci,
Sulawesi Tenggara. Buaya itu diangkut menggunakan kargo kapal dari Wanci yang
kerap membawa hasil bumi seperti rotan ke Singapura.
Ketika ditemui pada 26
September 2023 di rumahnya di Desa Tembal, Bacan Selatan, Hasanudin membenarkan
keterangan tersebut. Dia mengaku sebagai satu-satunya kolektor yang membawa
buaya hidup milik Rusli ke Singapura. Itu berlangsung dari tahun 1987 dan
berhenti pada 1999.
“Biasa tong [kami]
bawa buaya hidup ke Singapura di atas 10 atau 20 ekor. Jual di toge, Ong
Pok Bing–bos di sana, orang Cina,” kata Hasanudin.
Hasanudin membeli buaya dari
Rusli Kamarullah seharga Rp 100.000 untuk ukuran 60 centimeter hingga 1 meter. Jika
stok yang didapat lebih dari sepuluh ekor, Hasanudin berani ambil dengan harga Rp
150.000.
Sampai di Singapura,
Hasanudin menjual per-inci kulit buaya Rp 25.000. Satu ekor buaya dengan ukuran
satu meter bisa dapat 50-70 inci. Tergantung dari besarnya.
***
Umar Radjab, sejarahwan
Universitas Khairun (Unkhair) Ternate mengungkapkan, pada periode 1970 hingga
1980-an aktivitas perdagangan hasil laut di Maluku Utara terutama teripang, sirip
hiu hingga penyu sudah berlangsung. Pembeli hasil laut waktu itu didominasi
oleh pedagang Bugis-Makassar dan Cina. Tapi ia mengaku belum menemukan
buaya sebagai bagian dari komoditas yang diperdagangkan.
Kulit buaya awetan milik Rusli yang berada di rumahnya di Desa Rawabadak, Bacan, Halmahera Selatan, Selasa (15/8/2023). Foto: Rajuan Jumat/ LPM Aspirasi |
Bagaimana dengan penjualan
buaya ke Surabaya? Sayangnya, Rusli tak dapat lagi mengingat bos yang menampung
buayanya di Surabaya. Namanya raib dari ingatan pria berusia 65 tahun tersebut.
Rusli hanya bisa mengingat
satu nama, Haji Bugis–nama yang ia ingat sebagai tangan kanan bos di Surabaya
yang kerap mendatanginya. Namun, Haji Bugis ini pun tak ada kontaknya. Menurut
Rusli, mereka putus kontak semenjak ia kehilangan ponsel.
Tapi ia masih ingat
pembeli dari Ternate, Ko Beng dan Pengga. Kedua orang ini, menurut Rusli,
pengusaha berdarah Cina. Bisnisnya beli-jual segala macam hasil laut terutama
teripang, sirip hiu, kulit kerang, mutiara, dan itu tadi–kulit buaya.
“Dulu mereka [Ko Beng dan
Pengga] tinggal di Ternate sebagai pembeli hasil laut: teripang, sirip hiu,
termasuk kulit buaya. Ko Beng saat itu buka usaha di samping Penginapan Yamin.
Sementara Pengga di sekitar Gamalama,” ungkap Rusli.
Begitu kekerasan sektarian
di Maluku Utara pada 1999-2000 pecah, Ko Beng keluar dari Ternate dan sampai
sekarang menetap di Kota Manado, Sulawesi Utara. Sementara Pengga, meskipun
masih menetap di Kota Ternate alamatnya masih raib. Menurut Rusli, dirinya
pernah mendengar kabar Pengga kini menjual segala peralatan nelayan.
LPM Aspirasi menelusuri
dua pengusaha ini lewat media sosial. Ko Beng, misalnya, di laman Facebook
sedikitnya muncul 12 nama. Satu di antaranya lebih dekat dengan ciri-ciri Ko
Beng; keturunan Cina, orangnya putih, tinggal di Kota Manado. Dari foto pemilik
akun, tim kami mengkonfirmasi kepada Rusli. Ia sedikit ragu dan mengingat-ingat
orang yang pernah menjadi bosnya dulu.
“Ini Pengga. Eh, bukan.
Mungkin Ko Beng, so lama jadi,” kata Rusli begitu ditunjukkan sebuah foto yang
diambil di lama Facebook pada Rabu, 20 September 2023.
Berbeda dengan Ko Beng,
Pengga, meskipun keberadaanya belum bisa diidentifikasi, namun dari pengakuan
Rusli, bos satu ini pernah diciduk Polisi Kehutanan (Polhut) Ternate saat membawa
38 lembar kulit buaya awetan yang hendak diselundupkan lewat Bandara Sultan
Babullah. Rusli lupa tahun berapa.
“Pernah kita pe [saya
punya] kulit buaya yang Pengga bawa dapa sita [berhasil disita] deng [oleh]
Polisi Kehutanan di Ternate. Waktu itu depe kapala [pimpinannya] masih
orang Jawa. Tara tau depe nama sapa [tidak tahu namanya siapa],” ungkap
Rusli.
Polisi Kehutanan yang dimaksud
Rusli diduga adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku Seksi
Konservasi Wilayah I Ternate yang saat ini berkantor di Kelurahan Akehuda,
Ternate Utara, Kota Ternate.
Polisi Kehutanan adalah
bagian dari pegawai Balai KSDA di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem dalam lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia.
Namun, David Kurnia Putra
yang sudah bekerja selama 14 tahun di Maluku Utara sebagai Polisi Kehutanan di
Taman Nasional Aketajawe Lolobata mengatakan, belum pernah mendengar adanya
penyitaan kulit buaya sebagaimana cerita yang diperoleh dari Rusli.
Hal yang sama disampaikan
Kepala Kantor Seksi Konservasi Wilayah [SKW] I Ternate, Abas Hurasan pada pekan
kedua September 2023. Ia mengaku selama bertugas belum menemukan adanya
penyelundupan kulit buaya.
“Kalau untuk penyelundupan
buaya selama ini belum pernah. Malah informasi buaya menerkam orang boleh,
banyak,” ujar Abas. Habitat buaya sepengetahuan Abbas hanya ada di Desa Maffa,
Gane Timur, Halmahera Selatan.
Adapun terkait dugaan
perburuan yang dilakukan oleh Rusli, kata Abas, informasi yang didapat selama
ini cuman kemunculan buaya di Pasar Modern Labuha yang kebetulan dekat dengan
pemukiman warga. Meskipun begitu, petugas keamanan yang ada di Pulau Bacan akan
diterjunkan ke lapangan agar memberikan pemahaman kepada warga kalau satwa
tersebut dilindungi pemerintah.
Petugas yang dimaksud Abas
adalah Rahmat yang juga Kepala Resort Konservasi Wilayah Bacan-Obi, SKW I
Ternate, BKSDA Maluku.
Saat dikonfirmasi lewat
pesan singkat Senin, 16 Oktober, Rahmat mengatakan pernah mendatangi dan
melakukan sosialisasi kepada Rusli Kamarullah. Namun ia belum melakukan
pengecekan kembali.
Buaya muara dilindungi
Buaya muara (Crocodylus
porosus) adalah satu dari
empat jenis buaya yang dilindungi pemerintah, diatur dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang perubahan kedua atas Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018
tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Buaya disebut-sebut
sebagai reptil semi-akuatik dan umumnya menempati perairan tawar seperti
sungai, danau dan rawa-rawa. Jenis buaya muara bisa hidup di air payau. Sifatnya
yang ektoterma membuat satwa ini kerap ditemukan berjemur di pasir pantai. Dia
membutuhkan sinar matahari untuk menstabilkan tubuhnya.
Usia buaya muara di alam
bisa mencapai 50 tahun dengan panjang 7 meter dan bobot 1 ton. Pakan utama
buaya adalah ikan, mamalia dan jenis reptil yang lain. Hewan predator ini punya
banyak mangsa favorit.
“Waktu kecil dia makan
ikan, makan kodok, dia kenyang. Agak besar badannya dia cari babi di
pinggir-pinggir sungai. Lebih besar lagi ya manusia yang ada di dekatnya,” kata
Hellen Kurniati, peneliti senior bidang herpetologi Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN).
“Dia [buaya muara] tidak
berbeda dengan satwa yang lain. Jadi kalau ada buaya makan manusia, itu bukan
karena manusia masuk daftar makanan buaya. Tapi karena dianya predator, dia
lihat ini bisa dimakan dan punya kesempatan, ya dia makan gitu,” lanjut Hellen.
Adapun terkait konflik
buaya dengan manusia, kata Hellen, tak lain karena habitatnya dirusak. Buaya
yang awalnya berdiam di hulu sungai namun karena dirusak atau ikannya itu
banyak diburu orang, akhirnya dia mencari makan jadi lebih jauh, lebih luas
wilayah jelajahnya.
Fadila Tamnge, akademisi
Fakultas Pertanian Unkhair Ternate mengatakan, tiap makhluk hidup punya peran
masing-masing di alam. Piramida makanan berarti interaksi dari setiap komponen
makhluk hidup yang terjadi secara alami. Maka, jika buaya sebagai predator
puncak itu punah, populasi satwa sebagai mangsa buaya akan meledak. Babi adalah
satu dari sekian mangsa buaya.
“Kalau tidak ada buaya,
populasi mangsa meledak. Populasi meledak bisa jadi hama. Hama tentu saja
merugikan. Kalau tidak ada yang makan babi, babi jadi hama maka petani rugi
karena kebunnya dirusak babi. Peran ekologi satwa di alam tidak bisa digantikan
dengan tenaga manusia,” ungkap Fadila.
Menurut Hellen, persebaran
buaya muara di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku hingga Papua. Satwa ini adaptasinya tinggi dan bisa hidup di
air tawar, hulu sungai, sampai di air laut.
“Jadi kalau di Bacan ada
buaya itu tidak heran.Memang itu salah satu daerah persebarannya,” ungkap Hellen.
Lalu, para pemburu dan
pedagang menambah luas sebarannya hingga Singapura. Cuma ini bukan karena
faktor alam, tapi cuan.[]
*Liputan Investigasi ini didukung oleh Garda Animalia melalui Program Bela Satwa Project 2023.