Aliansi Rakyat Kalumata Tolak Penggusuran Gelar Nobar dan Diskusi Jakarta Unfair

Suasana Nobar dan Diskusi Aliansi Kalumata Tolak Penggusuran, Kamis (28/12/2023) Foto: Syahrullah Muin/LPM Aspirasi.


LPM Aspirasi -- Aliansi Rakyat Kalumata Tolak Penggusuran menggelar Nobar dan Diskusi Film Dokumenter “Jakarta Unfair” di posko perjuangan masyarakat Kalumata, tepatnya di samping Tugu Makugawene, Kelurahan Kalumata, Ternate Selatan, pada Kamis (28/12/2023) malam. Diskusi ini menghadirkan Rudi Pravda dan Sahil dari Aliansi Rakyat kalumata tolak penggusuran sebagai pembicara.

Film Jakarta Unfair sendiri merupakan dokumenter garapan watchdoc yang berkolaborasi dengan mahasiswa-mahasiswa Jakarta. Mereka menyoroti ketimpangan sosial di sana. Warga Jakarta penghuni bantaran Kali Ciliwung menjadi korban kebijakan penggusuran pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 

Kebijakan tersebut mematikan semua sumber ekonomi mereka, sementara jalan keluar yang diberikan pemerintah tidak memadai. Warga kesulitan mencari uang, akibatnya mereka tidak mampu membayar uang sewa rusun yang disediakan pemerintah.

Rudi Pravda mengatakan film Jakarta Unfair  yang digarap oleh Watchdoc, terinspirasi dari penggusuran rumah warga, hal yang sama yang saat ini terjadi di Kelurahan Kalumata.

Menurutnya, hal penting dari perlawanan penggusuran itu, bukan soal tergusur, tapi ada upaya memberikan penyadaran terhadap warga. Apa yang dialami satu warga di lokasi yang tergusur, juga harus menjadi kesadaran bagi warga di tempat yang lain.

“kesadaran itu memberikan gambaran jika solidaritas bukan sekedar moral, tapi solidaritas merupakan pembagian resiko bersama dalam rangka untuk mengkritisi kebijakan negara terkait dengan penggusuran secara paksa,” Ucap Rudi.

Rudi bilang, gambaran di film ini merupakan problem yang dihadapi masyarakat melalui kebijakan pemerintah. Masyarakat harusnya tidak hidup di tempat yang kumuh dan rumah yang tidak higenis. Negara yang sudah merdeka puluhan tahun tapi rakyatnya masih tetap hidup ditempat yang kumuh dan penuh sampah.

“Bagaimana mungkin bangsa yang merdeka berabad abad, tapi kok bisa ya rakyat tinggal di tempat yang kumuh, tempat yang penuh dengan sampah, walaupun jelas dalam film dokumenter tersebut masyarakat disitu makannya ikan teri, kepiting, cumi, dan seterusnya, tapi itu tidak menjadi jaminan bagi kelangsungan hidup mereka,” terangnya.

Rudi melanjutkan, problem penggusuran, dan perampasan ruang hidup, baik di pedesaan maupun di perkotaan bukan problem akutansi semata, melainkan problem filosofis yang mendasar bagi negara, karena mengarah pada pembangunan investasi.

Sementara Sahil bilang, kota merupakan ruang politik yang otonom. Kota diperuntukan untuk pembangunan utama. Hal tersebut dikabulkan melalui kuasa negara otoriter yang kebijakannya secara terpusat. Situasi itu menghancurkan seluruh tatanan kehidupan warga kota, sehingga penggusuran dan perampasan ruang hidup itu terus terjadi di perkotaan.

Ruang kota, kata Sahil, sebagai ruang sosial. Hal yang kemudian diubah menjadi sirkuit baru yang terus memasifkan investasi di bagian properti, terutama di kota sebagai konsentrasi kapital. Tentunya ruang itu dirubah menjadi sarana mengakomodir kepentingan kapital. 

“Jadi tidak heran kalau ada beberapa titik dengan dalih estetik, dalih kumuh, itu tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mengkonsentrasikan kepentingan kapital, karena kapital membutuhkan ruang sebagai wadahnya,” Ucap Sahil.


Reporter Magang: Syahrullah Muin

Editor: Susi H Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama