LPM Aspirasi-- “Buram Masyarakat Adat di Lumbung Nikel: Maba Sangaji” judul film dokumenter dalam Nonton Bareng (Nobar) dan diskusi yang digelar oleh Perpustakaan Jalanan (Perpusjal) pada, Selasa (23/12/2025) di Caffe Sua, Benteng Oranje, Jalan Hasan Boesoeri, Gamalama, Ternate Tengah, Kota Ternate.
Film yang di garap oleh Pedeo Project ini membuka lebih dalam akar persoalan dibalik kriminalisasi 11 masyarakat adat Maba Sangaji. Selain itu juga menjelaskan berbagai kebijakan negara yang selama ini hanya berpihak pada modal.
Pantauan LPM Aspirasi, diskusi dimulai sekira pukul 21.25 WIT. Penyelenggara mendekor emperan Caffe Sua menjadi wadah kampanye dengan membentangkan spanduk dan umbul-umbul perlawanan terhadap perampasan ruang hidup serta perampasan tanah adat.
Diskusi film ini menghadirkan enam narasumber. Indrasani Ilham, Alauddin Salamudin, dan Nahrawi Salamuddin (tiga dari 11 korban kriminalisasi Maba Sangaji) Lukman Harun dari Tim Anti Kriminalisasi (Taki), Fatia Maulidiyanti, seorang Aktivis Hak Asasi Manusia dan Herry Sutresna, musisi dan pejuang demokrasi.
Alauddin Salmudin, menceritakan kenapa mereka menggelar aksi di PT Position kala itu. Penyebabnya hutan adat mereka telah dirusak tanpa bertanggung jawab. Masyarakat jadi korban, kebun hilang dan lingkungan tercemar, termasuk sungai Maba Sangaji.
“Saya merasa sedih, saat melihat gunung yang telah gundul dan hal inilah yang membuat kami melawan,” terangnya.
Sementara Indrasani Ilham mengatakan kalau negara dalam menangani perlawanan warga selalu menggunakan pola sama, yakni memenjarakan dan mengkriminalisasi. Pola ini terjadi hampir pada semua kasus kriminalisasi yang ada di Indonesia.
“Dari hal ini, menjadi jelas bahwa musuh kita adalah nyata yang selalu menyelinap pada segala hal demi memiskinkan kita dan terus meraup keuntungan,” tegas Indrasani.
Kepolisian, bagi Indrasani merupakan herarki kekuasaan. Sehingga mereka akan terus berpihak pada modal. Mereka akan menangkap warga yang berupaya mempertahankan tanah dari korporasi perusak hutan, bahkan hingga melakukan kekerasan.
“Ini terbukti saat kami di Polda Malut, Rutan Ternate bahkan sampai di Tidore kami dikriminalisasi terus dengan pukul yang terus terusan,”ungkapnya.
Meski ditangkap, dipukul, dan dipenjarakan, Nahrawi Salamuddin bilang kalau perlawan dari Maba Sangaji akan terus menggelora. Mereka tidak akan tunduk meski ditindas bahkan sampai dibunuh sekalipun.
“Jika kita tunduk maka nanti bagaimana dengan anak cucu kita,” jelas dia.
Persatuan dan merawat solidaritas akan terus sampai pada nafas terakhir hidup. Karena jika tidak, kita akan muda digoyahkan bahkan diinjak-injak.
“Harapan untuk terus menjaga perlawan adalah upaya untuk terus menghidupi perlawan di setiap titik yang membutuhkan kita. Sebab yang kita perjuangan adalah tentang hajad hidup orang banyak,” tegas Nahrawi, korban kriminalisasi oleh PT Position.
Cacat Penafsiran Dalam Persidangan
Lukman Harun, membeberkan perkara dalam persidangannya 11 warga Maba Sangaji. Ia mengatakan dakwaan yang dituntut kepada 8 warga Maba Sangaji, yaitu pasal sajam (membawa parang & tombak) bertentangan dengan fakta dalam persidangan.
Lukman bilang, dalam proses persidangan, yang dikejar hanya dua perkara, sajam dan pemeresan. Faktanya saat persidangan tidak ada penjelasan dari saksi terkait pemerasan. Sebab aktivitas warga sehari-hari pasti membawa parang saat ke hutan, namun pasal darurat dan pemerasan justru disangkakan kepada warga.
Dalam kronologi, ia berujar kalau dalam aktivitas protes itu tidak menghalangi dan merintangi sebagaimana pasal yang disangkakan. Penyerahan bukti diakui oleh karyawan, yaitu berupa berita acara penyerahan kunci alat berat itu.
“Lalu bentuk pemerasannya dimana?” ungkap Lukman yang juga pengacara LBH Marimoi.
Lukman bilang, pasal 162 itu sebenarnya pasal omon-omon. Sebenarnya pasal 162 itu penyelesaiannya pasal 136 dan ini berkaitan dengan penyelesaian sengketa lahan. Kalau itu terlaksana, pasal 162 dapat disangkakan.
Menurut dia, kecacatan dalam penafsiran fakta persidangan itu cukup jelas, tidak ada pengajuan bukti terkait dengan pernah atau tidak, PT. Position datang untuk mengsosialisasikan amdal. Dan hal ini tidak pernah dilakukan.
“Dari hal ini, bahwa putusan dalam persidangan di pengadilan Soasio yang menetapkan 11 warga bersalah ialah inkonstitusional," terang dia.
Kasus 11 warga ini merupakan bentuk pembungkaman jangka panjang dan negara secara terang-terangan menelanjangi warganya sendiri dengan memenjarakan mereka.
Dalam perundang-undagan sudah jelas bahwa kasus 11 warga Maba Sangaji ini cacat secara administrasi. Sayangnya mereka tetap kalah dalam persidangan melawan korporasi.
“Karena logika yang mereka gunakan itu cuman satu, yakni menganggap itu lahan kosong dan infestasi bisa masuk tanpa merintangginya," jelas Lukman.
Bahaya Laten
Fatia Maulidiyanti memperingatkan jika bisnis ekstraksivisme yang ada akan memicu kemarahan alam, sebab terus digerus. Bahaya laten siap menerjeng dikemudian hari. Bencana macam banjir atau lainnya bisa menghasilkan kerusakan yang begitu parah. Hal ini terbukti, kita bisa berkaca dari apa yang terjadi di Sumatera baru-baru ini.
“Korporasi selalu tidak memikirkan alam yang sehat sebab yang ada di pikiran mereka hanya meraut keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga hal ini berdampak terhadap generasi kedepan dalam menghirup udara dan lingkungan yang bersih,” ungkap Fatia.
Ketika proyek ekstraksivisme terus ada di Maluku Utara (Malut), sambungnya, maka, dua puluh tahun kedepan Malut nasibnya akan sama dengan Sumatra dan daerah tambang lainnya.
Naasnya, kata Fatia, di tengah-tengah situasi alam mulai tergerus, solusi yang diberikan negara justru bukan penanggulangan atau tanggung jawab untuk warga. Baru-baru ini presiden malah berencana bikin lahan sawit baru di Papua.
“Fakta menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki 40% lagi paru-paru dunia dan semua ini ada di Timur Indonesia (Papua). Kalau industri itu pindah ke Timur Indonesia, maka akan mengancam kehidupan global," terangnya.
Solidaritas dan Perlawanan
Herry Sutresna burujar, apa yang dialami warga Maba Sangaji juga tidak jauh berbeda dengan daerah yang lain. Upaya mempertahankan tanah dari korporasi, dan negara akal terus dikriminalisasi.
Apa yang dialami masyarakat Maba Sangaji, atau bencana yang melanda Sumatera menunjukan wajah muram bangsa hari ini. Sebab itu kita tidak boleh menutup mata, telinga dan mulut. Kita harus melawan.
Bagi dia perasaan senasib dibawah sistem dan rezim yang sama, harusnya memicu perlawanan bersama. Maka perlawanan harus dihubungkan, terutama lewat solidaritas.
“Membangun solidaritas untuk melawan modal dan kekuasaan adalah proses kompleks yang melibatkan beberapa langkah kunci,” ungkapnya.
Herry merasa kita harus ada dalam satu pemahaman. Meletakan musuh bersama dan merancang perlawanan bersama. Sebab perjuangan sektoral terbukti gagal.
Kita perlu membangun kesadaran bersama. Memastikan sebanyak mungkin orang memahami sifat ketimpangan yang terjadi hari ini. Ini dapat dilakukan melalui forum publik, media sosial, diskusi kelompok, dan kampanye informasi untuk menyebarluaskan data dan fakta terkait situasi yang dialami rakyat.
Sebab kata dia, solidaritas tumbuh subur dalam wadah-wadah itu yang terorganisir. Mengorganisir rakyat butuh wadah. Ini bisa berarti perlu membentuknya. Macam serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil, kelompok advokasi, atau aliansi lintas sektor yang menyatukan orang-orang dengan tujuan bersama.
“Jika itu terlaksana, maka perlawanan akan masif untuk dilakukan,” jelasnya.
Bagi dia, Perubahan jarang terjadi tanpa adanya tekanan publik. Maka setelah mengorganisir dan membangun kesadaran perlu langkah-langkah stategis semacam aksi bersama seperti demonstrasi damai, mogok kerja, petisi, dan pembangkangan sipil yang terkoordinasi dapat menunjukkan kekuatan bersama dan menarik perhatian terhadap tuntutan perubahan.
“Kita harus menguatkan setiap titik yang sama-sama ditindas,” tutupnya.
Reporter : Sukriyanto Safar dan Syarullah Muin
Editor : Susi H Bangsa