Mahasiswa di Ternate Gelar Aksi Peringati 61 Tahun Roma Agreement

Massa aksi AMP dan FRI-WP di depan Pasar Barito, Gamalama, Kota Ternate (2/10/2023) Foto: Hairul Rahmat/LPM Aspirasi.
 


LPM Aspirasi -- Belasan mahasiswa menggelar aksi peringati Roma Agreement atau Perjanjian Roma, pada Senin (2/10/2023) di depan pasar Barito, Kelurahan Gamalama, kota Ternate. Massa gabungan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Wilayah Maluku Utara ini bentangkan spanduk bertuliskan “61 tahun Roma agreement tidak demokratis dan Ilegal di West Papua”.

Aksi dimulai sekira pukul 10.00 WIT. Massa aksi menilai Roma Agreement kontroversial. Hal ini karena dalam sejarahnya pemerintah Indonesia telah mengklaim tanah Papua terlebih dulu sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Selain itu, penandatanganan Perjanjian Roma di kota Roma, Italia pada 30 September 1962 dilakukan Pemerintah Indonesia, Pemerintah Belanda dan Pemerintah Amerika Serikat tanpa keterlibatan orang Papua. Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup orang Papua.

Nasan Bomse, Koordinator aksi mengatakan  klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan sejak penyerahan kekuasaan wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui badan pemerintah sementara PBB UNTEA pada 1 Mei 1963.

Penyerahan Papua itu sendiri, sebagaimana Perjanjian Roma yang pada dasarnya agar Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindak Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969.

Dalam praktiknya kata Nasan, bukanya melakukan persiapan Pepera, Pemerintah Indonesia kala itu justru melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan meredam gerakan pro-kemerdekaan.

“kenapa begitu, karena sebelum proses penentuan pendapat rakyat dilakuan  sesuai perjanjian New York dan Roma, sekira tanggal 7 April 1967, PT Freeport, perusahaan pertambangan asal Amerika telah menandatangani kontrak karya pertamanya dengan pemerintah Indonesia,” tuturnya.

Akibatnya, kata mahasiswa asal Papua itu, dari 809.337 rakyat Papua Barat yang memiliki hak suara, hanya 1025 orang yang terlibat, dengan terlebih dulu dikarantina. Hasilnya hanya 175 orang yang memberikan pendapat.

“Ini dilakukan sangat sistematis, musyawarah dilakukan tidak berdasarkan ketentuan hukum Internasional, yang mana harus satu orang satu suara atau one man one vote,  sebagaimana juga diatur dalam New York Agreement secara hukum Internasional,” jelas Nasan.

Poster tuntutan massa aksi AMP dan FRI-WP (2/10/23) Foto: Hairul Rahmat/LPM Aspirasi.


Paska 61 Tahun Roma Agreement

Sukri S, salah satu massa aksi bilang, kini orang Papua diperhadapkan dengan situasi yang semakin parah. Apalagi beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai regulasi yang menguntungkan borjuis dan kapitalis.

“Seperti Omnibuslaw, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang ITE, KUHP, & Otsus Jilid II serta Daerah Otonomi Baru (DOB) yang semakin mencekik kehidupan masyarakat Indonesia secara umum dan rakyat papua secara khusus,” tegasnya.

Menurut Sukri, implementasi dari berbagai regulasi ini pembungkaman ruang demokrasi semakin masif terjadi. Kriminalisasi dan penangkapan terhadap masyarakat maupun aktivis dan pembela HAM dilakukan. 

“Eksploitasi sumberdaya alam secara masif dan berkelanjutan tanpa memperdulikan nasib masa depan masyarakat terus digenjot pemerintah,” ujar mahasiswa di Ternate itu.

Pengiriman dan operasi militer, kata dia, terus dilakukan ke Papua guna mengamankan segala kepentingan negara dan kapitalis.

Sukri mengungkapkan keadaan dari manipulasi sejarah gerakan rakyat Papua Barat dan masifnya pendudukan Indonesia masih terus berlangsung dan semakin kritis hingga hari ini, dengan rakyat Papua sebagai korbannya.

“Hanya dengan menentukan nasib sendiri orang Papua dapat terlepas dari segala belenggu penindasan, hal ini sekaligus untuk belajar mendemokratiskan orang Indonesia,” tutupnya.


Reporter: Hairul Rahmat

Editor: Darman Lasaidi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama