Ake Rica, Kololi Kie dan Ritual Kerajaan Ternate


Romobongan armada lakukan putaran kecil dilepas pantai Ake Rica, Kelurahan Rua, Kecamatan Pulau Ternate. (Foto: Rizal Syam/Cermat)

“Ngana tinggal dimana”?
“kita tinggal di Rua”
“Rua itu dimana?

Pertanyaan semacam itu sering menyasar ditelinga saya. Entah itu dari teman yang baru saya kenal, atau dari teman yang bersama disuatu kegiatan diluar daerah. pun tempat lainnya jika bersama dengan teman-teman yang baru. Selain itu, menurut saya, yang lebih "miris"nya lagi, teman-teman di Ternate punya pertanyaan serupa.  Sebenarnya saya tidak terlalu mempermasalahkan itu, karena mungkin tempat tinggal saya juga tidak terlalu dikenal luas seperti teman-teman saya yang berada di Kota Ternate lainnya. 

Saya hanya ingin bilang bahwa tempat tinggal saya juga bagian dari Kota Ternate. Saya tinggal di Rua, yang terletak di Kecamatan Pulau Ternate. Jarak dari Bandara Babullah berkisar 19 Kilo Meter dan 12 km dari pusat Kota. Tempat tinggal saya ini adalah bagian dari saksi bisu sejarah Kerajaan Ternate, dengan icon sejarah yang terdapat Benteng Santo Paulo, atau dikenal luas dengan nama Benteng Gam Lamo.

Di sini juga, bila naik kepuncak Fora Madiahi, terdapat makam sultan Babullah, dan tentu di tempat saya ada sebuah kolam air tepat ditepi jalan. Kolam ini luasnya sekitar lima kali tujuh meter kuadrat. Kolam air ini menjadi tempat bermainnya adik-adik saya diwaktu petang. Mereka sering bermain permainan khas Maluku Utara, seperti "Tek dua pulu" atau "hymen". Orang sering gunakan kolam ini untuk bilas badan bila usai mandi diareal pantai Ake Rica. 

Ake Rica, dalam tradisi kesultanan Ternate, menjadi tempat persinggahan rombongan bersama Jou Kolano Sultan Ternate saat ritual Kololi Kie Mote Ngolo. Ritual ini dilakukan dengan perjalanan laut. Saat ritual, rombongan Jou Kolano juga mampir ketempat-tempat keramat atau Jere, dengan melakukan keliling doro di atas laut yang tak berkarang sebanyak tiga kali dibagian laut pesisir Ake Rica.

Setelah keliling doro, Sultan Ternate dijemput oleh warga, menggunakan perahu dari pantai Ake Rica dengan sambutan khas, tarian Cakalele. Hingga dibibir pantai, Sultan diangkat warga Rua untuk turun kepantai Ake Rica dengan tradisi Jokokaha. Sultan lalu diarahkan ke air Ake Rica untuk pembersihan atau berwudhu dan menuju ke Masjid Rua untuk shalat. Usai shalat, Sultan pun kembali ke Akerica untuk tahlilan dan makan siang dan menyampaikan sepatah-kata kepada warga dipantai Ake Rica dengan dilantunkan Bobaso se rasai

Rasa haru menyelimuti suasana itu. Air mata warga tak bisa tertahankan seketika bobaso se rasai dibacakan. Itu penanda bahwa Sultan dan rombongan akan melanjutkan perjalanan ritual kololi kie. Seperti anak yang akan pergi merantau, rasa rindu orang tua sangat mendalam. Begitulah kiasan yang dirasakan warga Rua.



Yah! begitu pentingnya sejarah di Ake Rica. Suasana itu juga digambarkan oleh Rizal Syam dalam  artikel berjudul "Melihat Proses Ritual Kololi Kie di Ternate”  yang terbit pada 9 April 2019 lalu.

”Setelah beberapa kali pemberhentian, armada kapal berhenti dipesisir pantai Kelurahan Rua. Masyarakat Ternate mengenal kawasan itu dengan sebutan Ake Rica. Ada sebuah sumber air yang letaknya tak jauh dari bibir pantai. Di lokasi inilah konon Djaffar Shaddiq memilih untuk menepi. Lanjutnya Bahkan, di sini pula kisah tentang pertemuan antara Djaffar Shaddiq dengan Nur Sifa, satu dari tujuh bidadari bermula. 

Pada ritual Kololi Kie Mote Ngolo sebelumnya, tiap kali sampai di lokasi ini, armada kapal akan berlabuh. Sultan dan para pembesara kan turun kepantai, untuk menggelar upacara adat Joko Kaha (injak tanah). Saat itu, Sultan dan segenap peserta ritual akan disuguhi sejumlah makanan adat. Prosesi menyantap makanan ini diiringi musik tradisional. Namun, prosesi tersebut tak dilakukan pada ritual kali ini. Armada hanya melakukan putaran sebanyak tiga kali, lalu melanjutkan perjalanan”

Apa yang ditulis Rizal sangat cukup bila ditinjau pada masa sekarang. Ritual Kololi Kie Mote Ngolo tidak lagi dilakukan seperti sebelum-sebelumnya. Setelah wafatnya Sri Sultan Mudaffar Syah, hingga kini belum juga ditetapkan seorang sultan. Entah ada polemik apa, saya tidak bahas, namun saya berdoa semoga cepat selesai. Amin.

Melihat kondisi Akerica dan sekitarnya saat ini, hati saya seperti akan menangis. Pantai yang menjadi salah satu lokasi Legu Gam, kini telah mengalami abrasi yang begitu memprihatinkan. Pembangunan kota yang begitu pesat dan cepat, pun reklamasi dilakukan, sehingga berimbas pada pantai yang menjadi sejarah itu.

Menurut sseorang tetua dikampung, dahulu, bibir pantai jauh hingga didepan nyare, namun sekarang air pantai hampir menebas jalan besar. "ini gara-gara dorang batimbun pasar diatas tu jadi dia pe aer lari kamari". 

Melihat kondisi ini, saya berharap ada perhatian pemerintah kota Ternate terutama juga Dinas Kebudayaan agar mencari solusinya. Ake Rica adalah salah satu tempat bersejarah bagi Kerajaan Ternate. Jangan sampai sepuluh tahun kedepan Ake Rica menjadi kampung yang hilang seperti sejarah kelam Tolire Gam jaha, yang menurut masyarakat Ternate kampung yang hilang karena tenggelam dan sekarang menjadi danau Tolire itu.

Itulah sekilas tentang Rua, tempat yang menjadi saksi bisu sejarah kerajaan Ternate. Tempat yang sering dilupakan oleh orang-orang yang 'konon' pegiat sejarah. Pun sering disebut berada dibelakang gunung, namun disini pula tempat peradaban 'pertama' berdampingan dengan Gam Lamo Kastela dan kampung tua "Fora Madiahi".

Sudahlah dulu, saya mau lanjutkan aktifitas rutin saya “PigiKabong”.


Penulis: Muh Rahmadani Hi. Bakar
Editor: Ajun

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama