Peringati Perjanjian New York, Mahasiswa di Ternate Serukan Lawan Rasisme dan Desak Buka Ruang Demokrasi di Papua

 

Massa aksi peringatan New York Agreement ke 63 tahun di depan Pasar Barito, Gamalama, Kota Ternate (14/8/2025) Foto: Dokumentasi AMP


LPM Aspirasi -- Belasan mahasiswa memperingati 63 tahun Perjanjian New York atau New York Agreement pada Kamis 14 Agustus 2025 di depan Pasar Barito, Gamalama, Kota Ternate. Massa gabungan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) wilayah Maluku Utara dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kota Ternate itu bentangkan spanduk bertuliskan “63 Tahun New York Agreement Ilegal, Lawan Rasisme dan Buka Ruang Demokrasi Seluas-luasnya Bagi Bangsa West Papua”.

Aksi dimulai sekira pukul 10.30 WIT. Mereka menilai perjanjian New York ilegal, selain tidak melibatkan orang Papua, poin-poin hasil perjanjian tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Perjanjian itu juga diyakini sebagai awal mula konflik berkepanjangan yang tidak ada habisnya di tanah Papua. 

Nabo, Koordinator aksi mengatakan perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West Papua itu justru menjadi pemicu konflik berkepanjangan. Orang Papua terus jadi korban. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, perampasan tanah adat, hingga rasisme terus terjadi. 

Padahal bagi dia, harusnya Perjanjian New York jadi titik balik kebebasan Papua dari penindasan, namun kenyataannya tidak demikian. Penindasan di atas tanah Papua jadi cerita pelik yang terus menghantui kehidupan mereka.

Sebagai mahasiswa, Nabo tahu kalau sejak awal New York Agreement mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) yang didasarkan pada praktik internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Nyatanya dari literatur yang di dapat, Indonesia melakukan pengondisian wilayah melalui berbagai operasi militer untuk menumpas gerakan pro kemerdekaan rakyat West Papua yang menghendaki West Papua untuk mendirikan pemerintahan sendiri.

Parahnya, kata Nabo, klaim terhadap wilayah West Papua oleh Indonesia dilakukan sebelum proses penentuan nasib dilaksanakan. Pada 7 April 1967, Freeport sebagai perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia masuk melalui UU PMA 1967. 

“Sementara Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebagai pengejawantahan referendum yang juga bermasalah itu baru digelar dua tahun setelahnya pada tahun 1969. Jadi hasil Pepera sudah sangat bisa ditebak,” jelas Nabo.

Poster tuntutan massa aksi (14/8/2025) Foto: dokumentasi AMP 


Mahasiswa asal Papua itu bilang, 63 tahun telah berlalu sejak penandatanganan Perjanjian New York, Indonesia masih berupaya menancapkan pengaruhnya di tanah West Papua melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus). Otsus di Papua sudah berusia hampir 20 tahun lamanya.

Sejak UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus diberlakukan justru tidak ada perlakuan khusus yang bisa didapatkan oleh rakyat West Papua. 

“Apa yang tampak khusus tak lain hanyalah pengiriman pasukan militer secara besar-besaran ke tanah West Papua,” ungkapnya.

Menurut Nabo, kenyataan dilapangan Otsus tidak bisa memproteksi masyarakat adat West Papua dari perampasan tanah untuk kepentingan investasi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menjadi amanah dalam undang-undang Otsus tidak pernah dijalankan, tidak ada upaya untuk mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, sementara dari tahun ke tahun kasus pelanggaran HAM terus bertambah. 

“Hal semacam itu terus berlanjut hingga Otsus jilid II dilaksanakan,” pungkasnya.

Nabo sendiri tidak kaget kalau diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan PSN, alih-alih membawa kemakmuran untuk rakyat, proyek itu justru memicu segudang masalah. Terutama, bagi masyarakat adat yang secara turun-temurun memiliki hak dan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber penghidupan. 

Foto: Dokumentasi AMP (14/8/2025)


Nabo juga mengklaim kalau hampir semua orang tahu rasisme juga tumbuh subur terhadap orang Papua. Lima tahun lalu, tepatnya pada 16 Agustus 2019 terjadi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. 

Aksi protes terkait rasisme itu terjadi dimana-mana, mulai dari luar Papua sampai Papua. Bukannya menindak pelaku, beberapa orang yang ikut menyuarakan anti rasisme justru ditangkap, 6 orang di Jakarta, 7 orang di Papua dan sebagian besar mahasiswa Papua melakukan  eksodus sebagi bentuk protes. 

“Kami sangat mengutuk aksi rasisme terhadap orang Papua, serta menyerukan perlawanan terhadap rasisme,” tegas Nabo.

Isra, juru bicara FRI-WP menuturkan, tidak mesti menjadi orang Papua untuk bersolidaritas membela Papua. Bagi orang non Papua seperti saya, Papua adalah kita. Sejak reformasi demokrasi seperti yang dikehendaki rakyat Indonesia, tidak berlaku di Papua.

Kata dia, sulit rasanya menemukan data yang menunjukan perbaikan demokrasi dan Hak Asasi Manusia di tanah Papua. Berbagai pelanggaran masih sering kita dapati dari berbagai media terjadi di atas tanah Papua. 

Isra menjabarkan, kasus-kasus macam penyiksaan berat, penangkapan sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan, pemerkosaan perempuan, pembakaran, penggerebekan asrama mahasiswa dan penghancuran harta warga, pengekangan demonstrasi damai, penolakan surat pemberitahuan demo damai, penahanan warga sipil dengan tuduhan makar, pembatasan akses anggota parlemen, kongres dan diplomat asing, pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis internasional, media nasional dan lokal, serta ancaman pembela HAM, itu semua masih sering diberitakan terjadi di Papua.

Pemerintah Indonesia, menurut dia justru terus menggenjot percepatan pertumbuhan ekonomi berlandaskan ketergantungan terhadap investasi asing, akumulasi berbasiskan industri ekstraktif yang dampak sosial dan lingkungannya semakin mengkhawatirkan. Pemerintah terus memberi karpet merah untuk para pemiliki kapital.

Pertumbuhan ekonomi di Papua melalui investasi asing dalam arus neoliberalisme selama lebih dari 3 dekade terakhir sudah terbukti memanen kegagalan ketimbang keberhasilan di dalam perspektif mempercepat laju pengurangan kemiskinan.

“Justru kekhawatiran muncul sebab strategi dalam pengamanan investasi itu hanya akan membawa militer (TNI/POLRI) dalam jumlah besar, yang sebetulnya pun telah berlangsung selama ini,” ungkapnya.

Isra menambahkan kalau sejak Orde Baru berkuasa dengan fokus kebijakan dan pendekatan yang lebih seragam dan represif, Indonesia sudah gagal mengintegrasikan Papua. Secara politik pemerintah pasca reformasi juga gagal menunjukkan komitmen yang lebih beradab untuk meraih kepercayaan rakyat Papua. 

Tidak akan ada memori yang berkesan bagi orang Papua, sebaliknya Memoria Passionis atau Ingatan Penderitaan yang ada di benak orang Papua. Memoria Passionis adalah kenangan akan trauma akibat marjinalisasi sosial dan ekonomi secara umum, pengingkaran terhadap harga diri yang sering dilakukan, dan kadang-kadang teror secara terbuka.

Untuk itu, kata Isra, mereka mendesak agar demokrasi dibuka seluas-luasnya di tanah Papua. Orang papua harus diberikan kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa diskriminasi dan kriminalisasi dengan tuduhan makar, membuka akses jurnalis lokal dan internasional, hingga menentukan nasib sendiri sebagai langkah demokratis untuk orang Papua.

Reporter: Hasan Azan

Editor: Susi H Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama