LPM Aspirasi -- Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Peduli Desa Soligi menggelar unjuk rasa pada Senin, (30/6/2025) di Landmark, Jalan Pahlawan Revolusi, Muhajirin, Ternate Tengah, Kota Ternate. Mereka protes aktivitas pertambangan yang jadi dalang banjir di Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan, Halmahera Selatan.
“Soligi Rawan Bencana, Hentikan Aktivitas Pertambangan” tertuang dalam spanduk yang dibawah massa aksi. Banjir di Desa Soligi pada 13 Juni lalu dinilai bukan sekadar becana alam, melainkan bukti nyata krisis ekologi akibat industri ekstraktif serta kelalaian pemerintah dalam pengawasan.
Ardianto Ladimuru, koordinator aksi mengatakan ini aksi kedua mereka dan akan terus berlanjut. Pasalnya unjuk rasa mereka pada 19 Juni lalu di depan kantor perwakilan PT Harita Group di Kelurahan Kalumata, Kota Ternate tidak mendapat respon dari pihak perusahaan.
Padahal bencana banjir dengan ketinggian hingga 80 sentimeter tersebut merendam pemukiman warga, merobohkan pagar sekolah, menghanyutkan perabotan rumah tangga, dan merusak struktur beberapa bangunan.
Hujan deras sekira tiga jam di desa soligi mengakibatkan sungai meluap. Ini tidak biasanya. Warga mencurigai banjir berasal dari Sungai Akelamo cabang kanan yang meluap kerena pepohonon di kilo tiga sudah dibabat oleh PT Harita Group.
“Luapan dari sungai Akelamo menerjang sungai yang berdampingan dengan desa Soligi sehingga menyebabkan peningkatan debit air secara tiba-tiba. Akibatnya sungai meluap setinggi sekitar 50-80 cm merendam pemukiman rumah-rumah warga. Ini adalah banjir ketiga, dan yang paling parah,” ungkapnya.
Ardianto juga menyoroti proyek pembangunan jalan Soligi–Kawasi. Kesepakatan awal jalan Kawasi-Soligi diperuntukan untuk kepentingan warga, namun kini dikuasai oleh korporasi tambang untuk kepentingan logistik serta akses pengerukan lahan yang tidak sesuai kesepakatan.
Ia menjelaskan kalau warga mencurigai telah terjadi pembalakan liar di kilo tiga. Padahal, operasi PT. Pratama kontraktor (anak cabang PT Harita grup) di kawasan kilo tiga Desa Soligi hanya sebatas pembangunan jalan lintas Kawasi-Soligi, tidak boleh lebih.
“Penggalian besar-besaran tanpa upaya mitigasi memperparah erosi dan meningkatkan risiko banjir,” terangnya.
Warga, kata Ardianto berhak atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu, ia bersama massa lainnya menuntut tanggung jawab pasca tambang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Minerba, serta pelaksanaan kewajiban sosial perusahaan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012.
“Kami bukan minta sembako. Kami minta solusi agar banjir tak lagi masuk ke rumah warga,” kata Ardianto.
Reporter: Suritno Tahmid
Editor: Susi H. Bangsa