November Dari Timur

Dikala matahari datang mengusap mataku
bangunlah anak-anak pemberani dari Maluku
membuka layar kemudi laut dari sampan-sampan yang sudah lama menjadi maut.

Aku akan menyeduh asinnya air terdalam pulau Ibu
sebagai pengganti keringat ayah yang terus mengucur.

Dijantung Halmahera, lahirlah penyair-penyair yang mati bunuh diri demi menghidupi anak sendiri.

Namun Negara hanyalah birahi dari orang-orang bertopeng yang pura-pura mandiri.

Janji seperti pasir yang tak dapat dihitung jumlahnya
tapi kami tak akan mengirim surat untuk menagihnya seperti moyang kami
sebab itu hanya akan mati di bibir manis.

Dimeja makan, nasib menempuh waktunya yang kelana
bagai papeda yang terus mereka hapus dari halaman.

Di luar sana mereka datang melupakan sejarah yang leluhur kami ciptakan,
menggerogoti anak-anak muda dengan asap tembakau sebelum pulang.

Malam mencekat diujung purnama
tapi di tanah ini dupa-dupa terus dibakar sebagai semangat.

Suatu hari di waktu yang tidak bisa diduga
akan hidup reinkarnasi dari kami menuju ibu kota.

Bukan sebagai peminta-minta atau yang merebut kursi disenayan sana,
Kami akan hidup sebagai luka yang selalu menganga.

Hingga di waktu beta tidur lagi,
beta bangun bukan sebagai orang yang serakah, bukan Maluku yang ingin berpisah, bukan Papua yang mau merdeka, tapi sebagai pengibar Merah Putih yang Pusaka!

Sumpah Indonesia
tanah air beta.


Karya : Widyawati Yusuf, Mahasiswa Kehutanan Unkhair

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama