Cerita Keluarga 11 Masyarakat Maba Sangaji dan Langkah Hukum YLBHI

Istri dan keluarga 11 tahanan politik Maba Sangaji saat bercerita keluarga mereka ditangkap. Foto Yulinar Sapsuha/LPM Aspirasi. 

LPM Aspirasi-- Penolakan aktivitas industri ekstraktif di tanah adat menyebabkan masyarakat Maba Sangaji, Halmahera Timur ditangkap dan 11 orang kini berstatus tersangka.

Merespon hal itu, Aliansi Masyarakat Adat di Kota Ternate menggelar diskusi terbuka pada Rabu (18/6/2025) malam di Benteng Oranje, Jalan Hasan Boesoeri, Gamalama, Ternate Tengah.  Mereka menghadirkan keluarga dari 11 masyarakat Maba Sangaji yang ditangkap.

“Mama-mama Bacarita: Jaga Tanah Adat Dan Masa Depan Kampung,” jadi tema diskusi. Menghadirkan istri, orang tua, hingga anak dari para pembela tanah adat yang kini berstatus “tahanan hati nurani”. Kehadiran mereka dimaksudkan untuk menceritakan langsung ketika 11 orang masyarakat Maba Sangaji hendak mengikuti aksi, serta harapan terkait tanah adat mereka. 

Diskusi juga menghadirkan Pengacara, serta perwakilan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk membicarakan sisi hukum kasus ini. 

Kamaria Malik, istri dari Nahrawi Salamudin, salah satu dari 11 masyarakat maba yang ditangkap menceritakan, kalau suami dan anaknya pamit untuk lihat tanah mereka di sekitar area operasi PT Position. Tiba-tiba ada informasi kalau mereka di tangkap. 

“Saya kaget,di situ langsung saya tanya, ditangkapnya seperti apa? bagaimana sampai ditangkap, tanpa ada surat penangkapan?,” ungkapnya.

Kamaria bingung. Lebih lagi ia baru menerima surat penangkapan suaminya pada tanggal 31 Mei 2025, padahal aksi serta penangkapan terhadap suaminya dan masyarakat Maba itu pada 18 Mei. 

“Tapi surat penangkapan itu, yang kami terima, nanti di tanggal 31 Mei. Sementara kejadian (penangkapan) itu di tanggal 18 Mei. Kenapa kejadian penangkapan sudah berlalu lama, setelahnya baru ada surat penangkapan?” terang Kamaria.

Selain surat penangkapan yang sudah lewat jauh dari hari penangkapan, menurut Kamaria, surat pun tidak diberikan langsung kepada mereka.  Pihak kepolisian memberikan kepada kepala desa, lalu kepala desa menyalurkan kepada warga terkait saat berpapasan di jalan.

Bersolidaritas untuk 11 warga tahanan politik Maba Sangaji. Foto Rabul Sawal/LPM Aspirasi.


“Kepala Desa kasih surat penangkapan itu bukan langsung ke kami juga. Salah satu istri korban sedang jalan, dan dia (kepala desa) panggil. Surat itu diberikan di jalan, tidak di dalam rumah,” jelasnya.

Kamaria bilang, surat yang diberikan oleh Kasman Mahmud, Kepala Desa Maba Sangaji ada empat surat. Saat tiba di tangan pihak keluarga, segel amplop telah dibuka.

“Kami pihak keluarga pun bingung, mereka tu punya kesalahannya apa? Mereka hanya memperjuangkan tanah adat mereka, tapi kenapa ditangkap dan dipukul?”.

Badi Ali, ayah dari Jamaludin Badi yang juga masih ditahan awalnya yakin anaknya dan 10 masyarakat lainnya akan dibebaskan. Keyakinan itu setelah mengikuti dan melihat proses persidangan, serta mendengar fakta-fakta yang diberikan.

“Karena bagi kami itu, apa yang dorang lakukan ini adalah dalam rangka mempertahankan dan memperjuangkan hak dalam hal ini tanah dari Maba Sangaji,” ucapnya.

Keyakinan itu berubah. Ia kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Soa-Sio Kota Tidore Kepulauan yang menetapkan anaknya serta masyarakat Maba Sangaji jadi tersangka. 

“Kami dan keluarga merasa sedih dan kesal, ternyata mereka disangkakan atau menjadi tersangka, padahal mereka hanya ingin tanah adat yang juga tempat kami menggantungkan hidup tidak dirusak,” ungkap Badi.

Untuk diketahuni, 11 masyarakat Maba Sangaji telah sah ditetapkan sebagai tersangka dalam sidang Pra-pradilan di PN Soa-Sio pada 16 Juni lalu. 

Badi dan keluarga dari 11 warga yang ditahan berharap keadilan ditegakkan. “Dalam proses persidangan nanti, mungkin hakim lebih jeli untuk melihat fakta-fakta yang terjadi.”

Sementara itu, Wetub Toatubun dari Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bilang setelah putusan pra-peradilan kemarin, langkah selanjutnya yang akan diambil adalah menguji formilnya. 

“Kalau berikutnya ini nanti sidang pidana pokok. Jadi kita akan cari tahu soal apakah benar apa yang mereka sangkakan soal tindak pidana, benar atau enggak,” ucap Wetub.

YLBHI, kata dia, akan melakukan langkah pendampingan hukum.  Mereka akan mendampingin 11 masyarakat maba hingga proses persidangan selanjutnya, yaitu sidang pokok. Selain itu, akan ada pendiskusian. Tujuannya melihat kemungkinan untuk mengambil langkah hukum lainnya.

“Kami juga akan mendiskusikan langkah lanjutan, termasuk kemungkinan gugatan perdata ke TUN, atau bahkan menyasar aspek perizinan tambang,” tutupnya.


Reporter: Susi H. Bangsa

Editor : Yulinar Sapsuha 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama