![]() |
| Dialog publik peringati 64 Tahun Deklarasi Papua Barat pada Senin (01/12/2025) di NBCL Kelurahan Sasa, Ternate Selatan, Kota Ternate. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi -- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) meggelar dialog publik dan pernyataan sikap. Agenda ini dalam rangka memperingati 64 tahun deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada, Senin (01/12/2025) di NBCL Kelurahan Sasa, Ternate Selatan, Kota Ternate.
Nabo, sekretaris AMP komite Kota Ternate, mengatakan perebutan paksa (aneksasi) wilayah Papua terjadi sejak 60 tahun lalu. Sejak saat itu, konflik terus terjadi hingga hari ini. Sudah banyak korban, sayangnya, penyelesaian masalah yang dipakai selalu menggunakan pedekatan militer.
“Bisa dilihat melalui perintah Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 hingga operasi damai cantenz 2020-2025 saat ini,” ungkapnya.
Tercatat sejak 1961 hingga 2025 sebanyak 24 jenis operasi militer yang dipakai Indonesia untuk merebut Papua. Mulai dari operasi Trikora (1961-1962) hingga operasi Damai Cantenz 2 (2020-2025).
"Operasi militer tersebut meninggalkan berbagai catatan-catatan pelanggaran HAM, seperti pembunuhan warga sipil, pemerkosaan hingga pengungsian besar-besaran terjadi di Papua" tambah Nabo
Dalam laporan United Nation Involvement in West New Guinea During the 1960 yang dipublikasikan pada tahun 2000, tercatat, Januari 1967 pesawat militer Indonesia melancarkan tembakan di Manokwari dan menyebabkan sekitar 40 orang warga sipil tewas.
Pada 12 Agustus 1968 operasi militer yang terjadi menyebabkan 162 masyarakat Papua yang ditembak mati dan 3.200 orang ditahan dengan dalih kelompok reparatis. Serta pada 1969 operasi militer yang dilakukan di Pegunungan Papua Tengah, menyebabkan 14.000 warga mengungsi. Lalu berikutnya di tahun yang sama pada 01 Mei sebanyak 300 warga Papua yang mengibarkan bendera bintang kejora lalu ditembak mati sebanyak 2 orang.
Nabo bilang, Indonesia memakai pola yang sama dalam penyelesaian konflik kekerasan. Mulai dari pembunuhan hingga pemusnahan ras.
“Data yang kami rangkum setidaknya sejak 2018 hingga tahun ini, tercatat 85-100 ribu warga yang mengungsi dan sebanyak 25-31 personel militer yang dikirm ke Papua, dan sedikitnya tercatat sejak 1960 hingga 2025 sekitar 30 ribuan warga sipil yang tewas di tangan militer,” jelas mahasiswa asal Papua itu.
Kepentingan Modal Melalui PSN
Isra, Perwakilan FRI-WP bilang, di bawah pemerintahan Indonesia, orang Papua terus alami diskriminasi, kekerasan hingga pembunuhan. Kekehnya pemerintah Indonesia mempertahankan Papua hanya satu, menguasai sumber daya tanah Papua.
“Sejak awal Integrasi yang dipaksakan ini bertujuan untuk menguasai sumber daya alam Papua, sejak kontak karya tahun 1967 hingga hari ini berbagai modal telah mengeksploitasi tanah dan hutan Papua,” jelasnya.
![]() |
| Poster protes pada dialog publik peringati 64 Tahun Deklarasi Papua Barat pada Senin (01/12/2025) di NBCL Kelurahan Sasa, Ternate Selatan, Kota Ternate. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi. |
Sejak dua tahun terakhir, kata Isra, melalui Proyek Strategi Nasional (PSN) hutan Papua alami deforestasi sebesar 765,71 hektar pada 2024. dan area PSN mengklaim luas lahan sebesar 20 juta hutan primer untuk perkebunan.
Konsesi tambang di tanah Papua mulai dari PT GAG Nikel di Raja Ampat dengan luasan konsesi 13,136 hektar, dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT SDIC Indonesia di Manokwari sebanyak 200 hektar.
“Dari sekian banyaknya PSN tidak satu pun rakyat papua yang mengelolanya, semua ini hanya milik pemodal-pemodal papua dan Indonesia,” tutur Isra.
Dia bilang, investasi ini juga turut memiliki hubungan erat dengan mobilisasi militer. Hal itu guna mengamankan modal.
“Selama ini mobilisasi militer di tanah papua kan hanya untuk mengamankan investasi modal di papua,” terangnya.
Pendekatan militer di wilayah konflik memang bukan soal penyelesaian masalah, tapi soal ceruk ekonomi. Apalagi yang terbaru di banyak tempat pembangunan kodim dan koramil hanya diperuntukan bagi bisnis militer terkait aset-aset sumber daya alam.
“Bahkan mungkin juga sekaligus sebagai bentuk lain dari rencana militer untuk melanggengkan konflik di daerah yang kaya sumber daya alam,” ungkap Isra.
Bagi Isra, masalah Papua merupakan masalah politik. Tidak bisa hanya diselesaikan melalui pendekatan ekonomi yang seperti diberikan negara selama ini.
“Masalah papua tidak bisa diselesaikan dengan memberikan otsu atau DOB, tetapi negara harusnya mengambil opsi lain daripada itu dengan memberikan hak menentukan sebagai solusi yang paling demokratis,” tutup Isra.
Tuntutan
Dalam pembacaan sikap, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) mendesak dan menyerukan beberapa poin, diantaranya:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua.
2. Tarik seluruh Militer Organik dan Non Organik dari Tanah Papua
3. Tutup PT Freeport, BP LNG Tangguh serta Seluruh Perusahaan di Tanah Papua
4. Buka akses bagi Jurnalis Lokal, Nasional maupun Internasional ke Papua
5. Usut dan Tuntaskan Seluruh Kasus Pelanggaran HAM di Papua
6. Tangkap dan Adili Jenderal Pelanggaran HAM
7. Bebaskan Seluruh Tahanan Politik Papua Tanpa Syarat
8. Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan
9. Stop Diskriminasi Rasial terhadap Orang Papua
10. Cabut UU OTSUS Jilid II
11. Hentikan Pemekaran DOB di Papua
12. Hentikan Program Transmigrasi
13. Hentikan Proyek Strategi Nasional
14. Mendukung penuh Kemerdekaan Palestina, West Sahara, Kanaky dan Catalonia
Reporter : Lois Kamesrar
Editor: Sukriyanto Safar

