Massa aksi peringati Sumpah Pemuda di depan Pasar Barito, Gamalama, Ternate Tengah (28/10/2025) foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi.
LPM Aspirasi -- Sejumlah mahasiswa menggelar demonstrasi memperingati hari Sumpah Pemuda pada Selasa (28/10/2025) di depan Pasar Barito, Kelurahan Gamalama, Kota Ternate. Massa dari organisasi Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) Kolektif Kota Ternate ini, menilai momentum Sumpah Pemuda harus menjadi ajang konsolidasi gerakan rakyat.
Aksi ini dimulai sekira pukul 14.00 WIT. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Memperkuat Konsolidasi Gerakan Rakyat, Bangun Partai Alternatif dan Hancurkan Kapitalisme-Neoliberal”.
Abdul Bahar, koordinator aksi, mengatakan sejarah sumpah pemuda telah membuktikan kalau persatuan secara nasional menjadi penting bagi rakyat. Kaum muda perlu melihat ini sebagai titik didih guna menjalankan tongkat estafet perjuangan.
“Karena dalam sejarah sumpah pemuda, rakyat bisa mengenal yang namanya persatuan dan perasaan senasib sepenanggungan serta mengenal nasionalisme dengan jargon tiga isian sumpah pemuda tersebut,” ungkapnya.
Dia bilang, apabila rakyat sudah bersatu dan mampu mengenali situasi dan kondisi mereka sendiri, maka penting untuk meletakan prinsip perjuangan. Mengenali mana kawan dan mana lawan. Rezim penindas beserta hierarki kekuasaan yang ada saat inilah yang menjadi biang kerok dari penderitaan rakyat.
“Untuk melawan kekuasaan atau rezim yang menindas, rakyat mestinya menyadari siapa musuh mereka sebenarnya agar tidak bersatu dengan mereka dan meletakan metode untuk bagaiman melawannya,” ujar Abdul Bahar.
Menurut Abdul Bahar, Indonesia saat ini berada di bawah sistem yang cenderung kapitalisme-neoliberal. Sistem yang secara inheren mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Orientasi Kapitalisme-Neoliberal lebih ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok yang berkuasa.
“Rakyat sudah harus mengenali musuhnya, sebab ini menjadi point kunci dalam perlawanan menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan rakyat selama ini,” ungkapnya.
Abdul Asis, Ketua Pembebasan Kolkot Ternate juga berujar negara Indonesia yang kerangka ekonomi politiknya mengarah pada kapitalisme-neoliberal akan selalu mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan status quo. Ini akan meliberalkan seluruh sektor yang mengatur hajat hidup orang banyak.
“Di Indonesia misalnya, kebijakan neoliberal selalu menggerogoti rakyat dengan menaikan pajak dan membebankan seluruhnya pada rakyat, bukan pada elit,” ungkap dia.
kebijakan Neoliberal bisa dilihat dari dikeluarkannya Impres No 1 Tahun 2025 tentang kenaikan pajak 12% dari pemerintahan Prabowo-Gibran pada bulan Januari 2025 lalu.
“Alasan dikeluarkannya kebijakan ini karena kemerosotan ekonomi, padahal selama ini pertumbuhan ekonomi meningkat tetapi rakyat selalu dibebankan dengan pajak yang tak ada hentinya,” terang Asis.
Selain itu, Asis bilang sistem Kapitalis-Neoliberal akan mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) demi memuluskan kepentingan oligarki. Segala kebijakan yang muncul demi kepentingan investasi.
“Kita bisa melihat dari berbagai kebijakan yang muncul, undang-undang atau revisi undang-undang yang dilakukan pemerintah hanya berpihak pada modal,” ungkap dia.
Pemerintah hari ini, bagi Asisi, era Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, kondisi HAM terus mengalami erosi. Ini mungkin terparah. Melanjutkan tradisi kepemimpinan-kepemimpinan sebelumnya. Ini terjadi akibat maraknya kebijakan, tindakan, dan praktik-praktik otoriter.
Kemerosotan hak-hak asasi manusia disebabkan pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan populis dan tidak partisipatif, yang terus menjadi pilihan utama alih-alih dialog dengan warga. Dialog baru menjadi pilihan saat protes meluas, atau saat telah jatuh korban.
Di sektor politik, kebijakan itu ialah remiliterisasi ruang sipil dan pemerintahan, revisi UU TNI, penulisan ulang sejarah, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional, hingga Perkapolri. Di sektor ekonomi, ada resentralisasi, proyek strategis nasional, makan bergizi gratis, pemotongan anggaran daerah (TKD) hingga kenaikan fasilitas anggota parlemen.
Menurut Asis, sejak dilantik 20 Oktober 2024, tidak ada kemajuan berarti untuk hak asasi, baik bebas dari rasa takut maupun dari rasa kekurangan. Sebaliknya, terjadi erosi terparah sepanjang masa reformasi. Kebijakan yang pada masa pemerintahan lalu melanggar hak asasi justru berlanjut. Polanya sama, tanpa partisipasi aktif warga.
Setahun terakhir, kata dia, 5.538 orang jadi korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat lainnya saat memprotes pengesahan UU TNI pada Maret 2025, menuntut kesejahteraan buruh pada Mei 2025, dan menolak kenaikan tunjangan DPR RI pada Agustus 2025. Rinciannya, penangkapan (4.453 korban), kekerasan fisik (744 korban), dan penggunaan water canon dan gas air mata (341 korban).
Sementara itu, Isra Muhdar, seorang massa aksi menilai kemerosotan hak-hak sosial tercermin dari arah kebijakan yang semakin menjauh dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah-sekolah misalnya, yang jadi program andalan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak, justru memunculkan masalah baru bagi kesehatan siswa dengan maraknya kasus-kasus keracunan massal.
Begitu juga proyek-proyek strategis nasional dan industri ekstraktif terus mengorbankan hak masyarakat adat dan lingkungan.
Sejumlah kasus, seperti proyek lumbung pangan nasional di Merauke, Papua, tambang nikel di Halmahera Timur, Maluku Utara, proyek geotermal di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur serta tambang batu bara di berbagai wilayah sering kali menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal dan menyebabkan kerusakan lingkungan.
Masyarakat adat, jurnalis hingga aktivis bersuara kritis atas proyek-proyek itu mengalami represi dan kriminalisasi.
“Fakta-fakta itu menunjukkan pemerintahan Prabowo memperlihatkan wajah pembangunan yang elitis, eksploitatif, dan jauh dari prinsip keadilan sosial,” tandasnya.
Besarnya ketimpangan ekonomi masyarakat menunjukkan kenyataan bahwa pemerintah gagal mewujudkan keadilan sosial. Ketimpangan itu pula yang selama ini terus disuarakan masyarakat lewat aksi-aksi protes, namun negara sering menanggapinya secara represif.
Di tengah-tengah gejolak ekonomi politik, bagi Isra rakyat sudah mestinya menyadari posisi dan suda saatnya rakyat membuat alat politiknya sendiri.
“Kerana hanya perjuangan politik mengunakan partai politik alternatif rakyat bisa membebaskan dirinya dari ketertindasan oleh kapitalisme-neoliberal,” ungkapnya.
Alat politik yang dibangun bukan lah sekedar blog Politik Buruh. Dan bukan sekedar Partai Baru. Yang tak ada bedanya dengan partai-partai penipu rakyat yang ada di parlemen. Bukan juga kekuatan politik yang programnya tak berangkat dari masalah rakyat.
“Melainkan yang dibutuhkan adalah partai alternatif yang programnya menyelamatkan rakyat dari kemelaratan akibat tuan kapitalis dan kapitalisme itu sendiri,” serunya.
Reporter: Sukriyanto Safar
Editor: Susi H Bangsa


