11 Masyarakat Adat Maba Sangaji Divonis Bersalah, Koalisi: Tamparan Untuk Kemanusiaan di Indonesia

11 Masyarakat Adat yang duduk di depan Majelis Hakim saat Sidang Putusan pada Kamis, (16/10/2025). Foto: Susi H. Bangsa/LPM Aspirasi


LPM Aspirasi -- 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji divonis bersalah pada sidang putusan yang dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan pada Kamis (16/10/2025). Hakim menjatuhkan hukuman penjara hanya karena mereka mempertahankan tanah leluhur dan memprotes aktivitas pertambangan nikel oleh PT Position yang telah merusak lingkungan, sumber air, dan ruang hidup masyarakat adat.

Mereka dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “perintangan atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat,” berdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Dalam sidang putusan, majelis hakim menjatuhkan hukuman lima (5) bulan dan delapan (8) hari penjara terhadap sepuluh terdakwa: Sahrudin Awat (Udin), Jamaludin Badi (Jamal), Alaudin Salamudin (Udin), Indrasani Ilham (Akes), Salasa Muhammad (Merek), Umar Manado (Umar), Nahrawi Salamudin (Nawi), Julkadri Husen (Jul), Yasir Hi. Samar (Yasir), dan Hamim Djamal. 

Sebelumnya, para terdakwa dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang membawa senjata tajam tanpa izin, serta pasal dalam UU Minerba terkait perintangan kegiatan pertambangan. Tuduhan tersebut dibantah keras oleh para warga dan kuasa hukum karena tidak ada bukti kuat yang menunjukkan adanya kekerasan maupun ancaman terhadap pihak perusahaan.

Dalam sidang terpisah yang digelar pada hari yang sama, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman penjara kepada Sahil Abubakar (Ilo) selama lima (5) bulan delapan (8) hari, dan masing-masing dua (2) bulan penjara kepada Indrasani Ilham (Akes), Alaudin Salamudin (Udin), dan Nahrawi Salamudin (Nawi) dengan tuduhan melakukan tindak pidana “perintangan atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat.”

Mereka sebelumnya juga didakwa dengan Pasal 368 ayat (1) dan (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang pemerasan, serta Pasal 162 UU Minerba, tuduhan yang dinilai Koalisi mengada-ada dan digunakan untuk membungkam perlawanan masyarakat adat terhadap tambang.


Sidang Putusan 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji pada Kamis, (16/10/2025). Foto: Susi H. Bangsa/LPM Aspirasi.

Dalam putusan itu, Irfan Alghifari, Penasehat Hukum (PH) 11 Wasyarakat  Adat Maba Sangaji, yang termasuk dalam Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) menilai putusan hakim mengabaikan banyak fakta-fakta yang bertentangan dengan fakta-fakta di persidangan.

“Fakta yang paling krusial dalam putusan majelis hakim ini adalah sama skali tidak mempertimbangkan eksistensi tanah adat.”

Menurut Irfan, putusan tersebut bermasalah, karena keberadaan tanah adat yang sudah ribuan tahun ada dan menghidupi banyak orang, eksistensinya tidak diakui.

“Tanah adat yang kemudian sudah ratusan tahun hidup dan menghidupi banyak orang, kemudian kalah dengan izin yang terbit pada tahun 2017 dan sama sekali tidak dibicarakan di pertimbangan majelis hakim,” jelasnya.

11 Masyarakat Adat yang duduk di depan Majelis Hakim saat Sidang Putusan pada Kamis, (16/10/2025). Foto: Susi H. Bangsa/LPM Aspirasi.

Irfan bilang, putusan majelis hakim menegaskan tanah adat tidak diakui jika disandingkan dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji mengecam keras putusan Pengadilan Negeri Soasio. Mereka menilai Vonis terhadap masyarakat adat Maba Sangaji ini menambah jumlah serangan atas masyarakat adat dalam membela hak-hak mereka. 

Amnesty International Indonesia mencatat, selama periode 2019-2024, terdapat setidaknya serangan terhadap 111 korban dari masyarakat adat di Indonesia, termasuk di antaranya dalam bentuk kriminalisasi maupun intimidasi fisik.

Koalisi menilai proses hukum ini penuh kejanggalan dan bentuk nyata kriminalisasi terhadap rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya. Negara justru berdiri di pihak perusahaan, menggunakan hukum sebagai alat untuk menindas warga yang menolak tambang. Vonis terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji menjadi simbol betapa jauh keadilan berpihak pada modal, bukan pada manusia dan lingkungan.

Bagi masyarakat adat Maba Sangaji, hutan, sungai, dan tanah bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup. Dengan demikian, protes terhadap tambang adalah bentuk pembelaan terhadap kehidupan, bukan tindakan kriminal. 

“Namun hari ini, pengadilan justru mengirimkan pesan sebaliknya, bahwa menjaga alam dianggap kejahatan, sementara merusaknya dibenarkan atas nama pembangunan,” tetuang dalam rilis Amnesty Indonesia pada 16 Oktober.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menegaskan Pasal 162 UU Minerba yang digunakan untuk menjerat warga adat telah lama dikritik karena bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia. Pasal ini mengkriminalisasi masyarakat yang menolak tambang dan menghalangi mereka mengekspresikan haknya untuk menyampaikan pendapat secara damai. Vonis di PN Soasio hari ini menunjukkan bahwa pasal ini masih menjadi senjata untuk membungkam suara-suara kritis rakyat terhadap kepentingan korporasi tambang yang dibela negara.

“Hukuman yang dijatuhkan hari ini bukan hanya ketidakadilan bagi sebelas warga Maba Sangaji, tetapi juga tamparan bagi kemanusiaan di Indonesia. Negara seharusnya melindungi, bukan menghukum rakyat yang menjaga hutan dan air di wilayah mereka,” tulis Amnesty Indonesia.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai organisasi lingkungan, advokasi hukum dan HAM, serta pembela hak masyarakat adat menuntut pembebasan tanpa syarat bagi seluruh warga adat Maba Sangaji dari segala bentuk hukuman dan tuduhan pidana.

Mereka mendesak pemulihan nama baik dan hak-hak hukum sebelas warga yang dikriminalisasi. Penghentian segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan tanah dan lingkungannya.

Koalisi juga mendesak peninjauan kembali Pasal 162 UU Minerba yang terbukti menjadi alat represi terhadap kebebasan berekspresi. Serta mendesak tanggung jawab negara dan perusahaan tambang untuk memulihkan kerusakan lingkungan dan menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat Maba Sangaji.


Reporter: Susi H. Bangsa

Editor: Darman Lasaidi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama