![]() |
Massa aksi saat melakukan protes di depan Polda Maluku Utara pada Senin (30/6/2025). Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi -- Demonstrasi yang di gelar Front Perjuangan untuk Demokrasi (FPUD) Kota Ternate pada Senin (30/6/2026) di depan Polda Maluku Utara, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah dibubarkan pihak kepolisian. Sejumlah massa alami kekerasan hingga luka-luka.
Pantauan LPM Aspirasi, aksi gabungan mahasiswa dan rakyat itu dimulai sekira pukul 16.00 WIT. Mereka mebentangkan spanduk bertuliskan “Hentikan Kriminalisasi 11 Pejuang Lingkungan Masyarakat Adat Maba Sangaji”. Massa menilai 11 warga yang ditangkap merupakan pejuang lingkungan yang seharusnya dilindungi, bukan malah dipidana.
Yasim Majid, Kordinator Aksi mengatakan aksi mereka sebagai upaya mendesak pihak kepolisian untuk segera membebaskan masyarakat yang ditahan. Upaya melindungi hutan dan tanah dari kerusakan lingkungan harusnya dilindungi. Hal itu sesuai Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindung dan pengelola lingkungan hidup.
“Tertera jelas bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” ungkap dia.
Dipaksa Bubar
Sayangnya aksi tidak berlangsung lama. Sekira 16.40 WIT, pihak kepolisian membubarkan aksi secara paksa. Yasim bilang, polisi berdalih aksi yang dilakukan tidak memiliki izin serta menganggu peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bayangkara. Akibatnya sejumlah massa alami kekerasan hingga luka-luka.
“Padahal, Kebebasan menyampaikan pendapat telah diatur dalam undang-undang dasar negara kita,” terangnya.
Kepolisian, kata dia selalu melakukan berbagai macam cara untuk membubarkan paksa aksi mereka. Mulai dari mengatakan tidak ada surat izin, hingga menuding sebagain massa aksi mabuk.
Sekira 20 massa aksi alami kekerasan. 7 orang diantaranya mengalami luka-luka.
Isra Muhdar, salah satu massa aksi yang terluka mengatakan korban pemukulan berujar awalnya mereka melakukan negosiasi dengan pihak kepolisian agar mereka tetap aksi sejara damai, namun kepolisian tidak mengindahkan. Mereka lalu dibubarkan secara paksa.
“Kesepakatan suda dibangun tetapi orasi tidak lama kepolisian tidak kordinasi balik ke kami lalu langsung membubarkan paksa dan memukul massa aksi hingga babak belur,” ucap dia.
Selain massa aksi, seorang jurnalis yang meliput juga tidak luput dari sasaran represi. Abdul Agais, wartawan Habar alami intimidasi dan kekerasan.
“Kepala saya didorong dan salah seorang polisian coba menghalangi saya untuk mengambil gambar saat akan merekam upaya mereka merebut atribut massa aksi,” Ungkap Abdul Agis.
Pembungkaman Demokrasi
Isra menilai aksi pembubaran ini sebagai bagian dari upaya pembungkaman demokrasi yang dilakukan negara terhadap rakyat Indonesia. Apalagi hal ini terjadi tidak hanya kepada massa aksi, melainkan menyasar hingga jurnalis.
“Demonstrasi menyampaikan pendapat merupakan perintah undang-undang yang seharusnya dilindungi oleh pihak kepolisian, bukan malah memberangusnya,” tutur Isra.
Wetub Toatubun, anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan tindakan pembubaran paksa yang dilakukan aparat kepolisian tidak berdasar. Tindakan ini melanggar peraturan perundang-undangan No 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapan di depan umum.
“Bukan hanya itu, apparat kepolisian juga tidak mematuhi Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia (Perkapolri) no 8/2009 tentang implementasi dan prinsip standar hak asasi manusia dalam tugas kepolisian,” tegasnya.
Menurut dia, kekerasan yang dilakukan anggota Polda Malut dan Polres Kota Ternate harus diusut oleh Propam dan Kompolnas. Hukum harus ditegakan dan sekaligus memberikan pelajaran kepada anggota maupun pimpinan kepolisian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
“Jika kekerasan ini tidak ditindaklanjuti, maka ini merupakan impunitas dan menempatkan kepolisian kebal terhadap hukum,” tegas Wetub.
Reporter: Sukriyanto Safar
Editor: Susi H. Bangsa