LPM Aspirasi — Negara terus mengabaikan hak ulayat dan hak konstitusional masyarakat adat demi kepentingan investasi. Upaya mempertahankan tanah adat sebagai sumber kehidupan justru dikriminalisasi.
Hal itu yang dialami masyarakat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara saat menggelar aksi damai untuk menjaga tanah adat dari operasi PT Position. Aksi yang seyogyanya dilindungi, malah diberangus pihak kepolisian. Masyarakat ditangkap, lalu dibawah ke Ternate untuk diperiksa oleh Ditreskrimum Polda Maluku Utara.
Hasilnya, dari 27 masyarakat yang ditangkap, 16 orang dibebaskan, sementara 11 lainya ditetapkan jadi tersangka. Masyarakat dituding bertindak premanisme karena membawa senjata tajam, dan merampas kunci alat berat.
Dalam laporan media, sikap penolakan terhadap anak perusahaan PT Harum Energy Tbk (HRUM) itu berlangsung sejak November 2024. Masyarakat merasa aktivitas pembongkaran lahan telah merusak kebun pala milik mereka, mencemari lingkungan, hingga merusak situs bersejarah.
Puncaknya pada 16- 17 Mei 2025. Masyarakat melakukan aksi damai di area PT Position. Awalnya mereka membangun camp sebagai bentuk protes sekaligus pengingat kalau tanah itu bukan ruang kosong, melainkan ruang hidup, pusaka dan warisan leluhur. Mereka hanya ingin bertemu pihak perusahaan untuk menyelesaikan wilayah adat yang sudah terkena operasi ekstraktif.
Upaya itu mendapat respon perusahaan. Masyarakat dijanjikan akan ditemui pihak perusahaan pada malam hari, namun massa menolak. Mereka meminta pertemuan diundur hingga siang hari karena masyarakat berencana menggelar upacara adat.
Janji bertemu warga tidak dipenuhi. Tidak ada perundingan membahas tanah adat. Justru pihak PT Position mengirim polisi ke lokasi aksi.
“Saya sempat dengar beberapa anggota mendatangi ke tenda kami dengan mengatakan ‘tangkap mereka’, namun penangkapan itu dihentikan,” ujar Irawan warga Maba Sangaji yang turut dalam aksi.
Saat fajar menyingsing, mereka melangsungkan upacara adat. Massa kemudian membentangkan spanduk berisi penolakan terhadap aktivitas PT Position. Aksi itu membuat kepolisian dan security perusahan mengelilingi massa. Mereka juga merampas parang dan tombak warga.
Warga tidak melawan. Mereka membiarkan alat kerja yang digunakan saat berpergian ke hutan itu disita. Sementara upacara adat tetap berlangsung. Saat bendera adat dinaikkan dan sumpah adat digelar, warga lalu ditangkap.
“Jadi kami ditangkap secara paksa, ada seorang warga menegaskan kalau tiang bendera adat tidak boleh dicabut oleh perusahaan, kepolisian maupun pihak TNI, karena mendapat bencana nantinya,” kesaksian Irawan saat ia bersama warga lain ditangkap polisi.
Polda Maluku Utara kemudian merilis barang bukti yang disita dari warga. Ada 10 parang, satu tombak, lima ketapel, satu pelontar panah dan 19 busur anak panah, serta beberapa alat pendukung seperti spanduk, terpal dan ranting yang digunakan untuk membuat camp.
“Saat aksi, kami diminta kepolisian untuk amankan parang dan tombak, kami amankan. Tidak melakukan reaksi untuk ancam orang dengan parang maupun tombak yang kami bawa,” ujar Andri Maruf, Warga Maba Sangaji.
Andri yang juga di tangkap dan dibawah ke Kota Ternate mengaku aksi yang dilakukan warga Maba Sangaji tidak ada hubungan dengan ‘premanisme’ yang dituduhkan kepolisian.
“Sementara busur panah bukanlah milik kami atau warga. Kami cuman bawa parang dan tombak untuk bertahan di hutan cari makan. Yang lebih aneh itu busur yang menjadi alat bukti menuduh aksi kami premanisme, itu bukan milik kami,” tuturnya.
Daftar Panjang Kekerasan Negara Terhadap Masyarakat Adat
Kabid Humas Polda Maluku Utara, Bambang Suharyono bilang masyarakat lakukan aksi premanisme karena dapat mengganggu aktivitas masyarakat setempat, sehingga dilakukan langkah tegas.
“Selain membawa senjata tajam, puluhan orang ini juga melakukan aksi perampasan 18 kunci alat berat milik perusahan dan tindakan tersebut menunjukan aksi premanisme yang meresahkan masyarakat dan investasi,” ungkapnya.
Warga yang jadi tersangka dikenakan pasal 2, ayat 1, Undang-Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 yang mengatur larangan kepemilikan senjata tajam dengan ancaman 10 tahun penjara. Mereka juga dijerat Pasal 162 UU nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba karena telah merintangi kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin dengan ancaman pidana 1 tahun, serta Pasal 368 ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Pemerasan dan Pengancaman.
Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap masyarakat Maba Sangaji menambah daftar panjang kekerasan terhadap masyarakat adat di Indonesia. Amnesty Indonesia menyebut ini sebagai penyalahgunaan sistem hukum pidana untuk mengkriminalisasi dan merepresi masyarakat. Bahkan, levelnya sudah sangat menghawatirkan di Indonesia.
Selama Januari- Mei 2025 total 88 pembela HAM yang menjadi korban. Dari total itu, ada 40 orang di antaranya merupakan masyarakat adat.
Angka-angka itu, menurut Amnesty Indonesia telah melebihi jumlah masyarakat adat yang mendapat serangan selama 2024. Dari 287 pembela HAM yang alami serangan ada total 22 orang masyarakat adat di tahun tersebut.
Bungkam Suara Rakyat
Banyak kalangan mengkritisi upaya kriminalisasi masyarakat Maba Sangaji. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai penangkapan itu sebagai bentuk nyata brutalitas negara yang melanggar hak asasi manusia (HAM) dan menghina martabat masyarakat adat Maba Sangaji.
“Kami mengecam keras segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun hukum, yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap masyarakat adat Maba Sangaji di Halmahera Timur. Kami meminta warga yang ditetapkan sebagai tersangka segera dibebaskan,” tegas Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional melalui rilis, Kamis (22/5).
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dalam rilis mengatakan penangkapan warga masyarakat adat yang menolak tambang terlihat sebagai bagian dari upaya menekan kritik atas kebijakan ekstraktif yang tidak ramah lingkungan. Cara ini melemahkan peran masyarakat adat dalam menjaga lingkungan dan membela tanah ulayat mereka.
Dia bilang masyarakat tidak diajak konsultasi awal sebelum negara melaksanakan proyek pembangunan, termasuk tambang, yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Belum lagi dampak negatif operasi tambang di wilayah mereka, seperti masalah kesehatan, kehilangan akses air bersih karena sungai tercemar, dan kehilangan mata pencaharian.
“Menolak tambang bukan kriminal. Membela tanah, hutan, dan sumber kehidupan dari eksploitasi adalah hak dasar masyarakat adat yang dijamin oleh Konstitusi dan hukum internasional. Itu sebabnya para mahasiswa hari ini menduduki Polda Maluku Utara untuk menuntut pembebasan mereka.”
Usman Hamid mendesak jajaran Kepolisian Daerah Maluku Utara harus segera dan tanpa syarat memulangkan semua warga adat yang ditangkap. Pihak berwenang juga harus menghentikan semua kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi atas masyarakat adat Halmahera Timur.
“Pemerintah pusat dan daerah juga harus menjamin perlindungan atas hak masyarakat adat atas tanah, budaya, dan sumber daya alamnya.”
Negara, menurut Usman Hamid harus menyelesaikan konflik yang melibatkan korporasi dengan adil, partisipatif dan tuntas, tanpa kekerasan dan paksaan. Pemerintah pun harus tegas dan aktif untuk menghentikan pelanggaran HAM dan mengevaluasi izin tambang yang merusak wilayah adat.
Banyaknya jumlah kasus kriminalisasi dan represi terhadap masyarakat adat jelas menunjukan negara gagal melindungi pembela HAM di Indonesia. Namun, jauh dari upaya negara untuk mengatasi dan mencegah serangan ini, aparat penegak hukum malah terus memilih pendekatan represif, bukan persuasif, termasuk stigmatisasi masyarakat adat sebagai ‘preman’.
Reporter: Yulinar Sapsuha
Editor: Susi H Bangsa