IMP: Papua Bukan Tanah Kosong, Cabut IUP PT Gag Nikel di Raja Ampat!

Massa aksi saat melakukan orasi di depan Pasar Barito, Ternate Tengah. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi


LPM Aspirasi -- Penolakan terhadap pertambangan yang mengeruk pulau-pulau Raja Ampat, Papua Barat Daya masif di berbagai wilayah, tidak terkecuali di Kota Ternate, Maluku Utara. Meski empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel sudah dicabut, sejumlah mahasiswa asal Papua tetap mendesak agar IUP PT Gag Nikel turut dicabut.

Massa yang mengatasnamakan Ikatan Mahasiswa Papua (IMP) Kota Ternate itu, menilai PT Gag jadi induk dari penambangan nikel di Raja Ampat. Keberadaannya dianggap jadi ancaman bagi kelestarian lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat.

“Izin PT Gag harus dicabut karena mengancam ekosistem dan memperparah kerusakan ekologi yang kian masif di tanah Papua. Kalau penambangan nikel itu dilanjutkan, kelestarian lingkungan dan kelangsungan sosial budaya masyarakat setempat juga akan hancur,” ungkap Deki, Koordinator aksi  saat unjuk rasa pada Kamis, (12/6/2025) di Depan Pasar Barito, Ternate Tenggah.

Belasan mahasiswa Papua dari berbagai kampus di Kota Ternate itu membentangkan spanduk bertuliskan “Papua Bukan Tanah Kosong, Segera Cabut dan Tutup Pt. Gag Nikel di Pulau Gag Raja Ampat."

Deki bilang mereka tahu kalau pemerintah pusat sudah mencabut empat IUP perusahaan tambang nikel di Raja Ampat.  Akan tetapi, induk dari pertambangan di sana itu Gag dan IUP PT Gag yang berada di Pulau Gag, Raja Ampat, justru tidak dicabut dan tetap beroperasi.

Empat IUP yang telah dicabut itu milik PT Kawai Sejahtera Mining (KSM) seluas 5.922 hektar di Pulau Kawei, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) seluas 2.193 hektar di Pulau Manyaifun Batang Pele. Lalu, PT Anugerah Surya Pratama (ASP) sekitar 1.173 hektar di Pulau Manuran, dan PT Nurham (3.000 hektar) di Yesner Waigeo Timur.

Satu-satunya perusahaan yang tidak dicabut adalah PT Gag Nikel. Pemerintah hanya melakukan pengawasan ketat, dengan alasan sudah eksplorasi tambang di Raja Ampat sejak 1972. PT Gag merupakan anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) yang memiliki wilayah konsesi mencapai 13.136 hektar, terdiri dari 6.060 hektar di wilayah daratan dan 7.076 hektar di wilayah laut. Luas konsesi itu meliputi hampir seluruh Pulau Gag yang luasnya hanya sekitar 6.500 hektar.
 
Aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, menurut Deki, turut mengancam eksistensi masyarakat adat. Sebab, keberadaan tanah adat mereka tidak dihormati dengan pengambilan lahan tanpa kompensasi yang adil. 

“Kedepan, tidak menutup kemungkinan, terjadi ketimpangan ekonomi karena keuntungan tambang tidak dirasakan masyarakat lokal. Bukan tidak mungkin, fenomena itu akan memicu konflik sosial baru di sana,” jelasnya.

Melanggar Hukum

Menurut Deki, alasan apapun tidak dibenarkan untuk melakukan penambangan di Pulau Gag. Karena termaksud pulau kecil. Pulau Gag sendiri luasnya hanya sekitar 60 km² (6.000 hektare) tergolong sebagai pulau kecil berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). 

Massa aksi saat melakukan orasi di depan Pasar Barito, Ternate Tengah. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi.


“Dalam regulasi tersebut, disebutkan kalau pulau kecil seharusnya tidak digunakan untuk kegiatan pertambangan karena dianggap rentan dan memiliki ekosistem yang harus dilindungi,“ ungkap Deki.

Regulasi itu, kata Deki dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil. 

“MK menegaskan kalau penambangan mineral di wilayah-wilayah tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi,” ucap mahasiswa asal Papua itu.

Jhon, massa aksi lainnya mengatakan secara hukum, tidak ada alasan perusahaan tambang nikel di Raja Ampat dipertahankan. Sebab, penambangan nikel di sana telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Alasannya, karena perusahaan tidak memenuhi kewajiban memberikan manfaat ekonomi dan sosial untuk masyarakat lokal. Sejumlah perusahaan pun dianggap beroperasi tanpa izin pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Penambangan nikel, menurut Jhon juga terindikasi melanggar UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena perusahaan tidak memiliki dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) yang lengkap dan transparan. 

“Mereka disinyalir membuang limbah berbahaya tanpa pengolahan yang sesuai standar keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat,” tegas mahasiswa asal Papua itu.

Jhon bilang Ikatan Mahasiswa Papua menilai Secara umum, penambangan nikel di Raja Ampat melanggar UU 32/2024 tentang Perubahan atas UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 

“Sebab, penambangan itu telah mengancam dan merusak kawasan konservasi perairan pesisir dan kawasan pelestarian alam dan pulau-pulau kecil di Raja Ampat yang seharusnya dilindungi,” ucapnya 

Kata dia, daerah-daerah lain yang memiliki izin usaha pertambangan biasanya terjadi deforestasi besar-besaran dan air tercemar. Hal semacam itu meyebabkan hilangnya habitat macam mangrove dan lahan perkebunan yang bisa andil atas menurunya kualitas hidup masyarakat.

“Kondisi semacam itu juga akan diperhadapkan pada masyarakat di Raja Ampat sehingga harus menjadi peringatan nyata tentang bahaya dampak tambang nikel bagi semua pihak.” 

Bagi Jhon, pemerintah harus segera mencabut izin tambang di Pulau Gag demi menyelamatkan Raja Ampat. Meski jarak Gag ke area Geopark terbilang jauh, perubahan cuaca dan arus laut tidak menutup kemungkinan dampak penambangan di Pulau Gag akan merusak ekosistem di area itu.

“Raja Ampat adalah surga pariwisata dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Raja Ampat juga jadi rumah bagi masyarakat adat yang menggantungkan kehidupan dari kekayaan sumber daya alam di sekitarnya,” tutur mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Ternate itu.

Deki, begitu juga Jhon menegaskan kalau Papua bukan tanah kosong. Mereka bersama mahasiswa lain asal Papua mendesak pemerintah segera mencabut IUP PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat. 


Reporter: Sukriyanto Safar
Editor: Susi H. Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama