Kriminalisasi Warga Maba Sangaji: Wajah Buram Demokrasi di Tanah Adat

Ilustrasi: Istimewa

*Oleh: Safri Thanjer

LPM Aspirasi-- Apa yang terjadi di Maba Sangaji, Halmahera Timur, merupakan potret buram demokrasi Indonesia hari ini. Di tengah gencarnya pemerintah mendorong investasi dan eksploitasi sumber daya alam, masyarakat adat kembali menjadi korban.

Kali ini, warga Maba Sangaji berhadapan langsung dengan operasi PT Position, perusahaan tambang yang memasuki wilayah berbatasan dengan tanah adat. Proyek ini dijalankan tanpa persetujuan menyeluruh dari masyarakat adat yang telah mendiami dan mengelola wilayah tersebut secara turun-temurun.

Melawan atau ruang hidup tergusur. Kalimat itu mungkin jadi sumbu. Warga gelar aksi damai sebagai bentuk penolakan terhadap proyek tambang yang mengancam ruang hidup mereka. Ini jadi ekspresi konstitusional. Mereka kecewa dengan pemerintah daerah yang dinilai mengabaikan suara rakyat, dan berpihak pada kepentingan korporasi. 

Ekspresi yang dilindungi konstitusional negara justru direspons dengan kriminalisasi. 27 warga ditangkap dan jalani pemeriksaan oleh kepolisian. Sebagian warga memang dibebaskan, namun 11 orang ditetapkan jadi tersangka. 

Mereka dituding bertindak premanisme karena diduga membawa senjata tajam. Tuduhan ini tidak didukung bukti kuat, bahkan dalam perkembangannya, aparat kepolisian mengubah narasi menjadi dugaan penyalahgunaan narkoba.

Pola seperti ini bukan hal baru. Laporan LBH Jakarta (2021) mengungkap kalau perubahan tuduhan adalah strategi umum dalam kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan hak atas tanah. Ini bukan proses hukum yang jujur dan adil, melainkan bagian dari upaya delegitimasi perjuangan rakyat.

Padahal konstitusi secara tegas menjamin hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat di muka umum. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Lebih dari itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 telah mengakui eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak mereka atas wilayah adat, termasuk hutan dan tanah ulayat.

Dengan demikian, perjuangan masyarakat Maba Sangaji bukanlah tindakan melawan hukum. Sebaliknya, mereka sedang menjalankan hak-hak dasar sebagai warga negara sekaligus sebagai masyarakat adat.

Alih-alih dilindungi, di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya; aparat bertindak represif, hukum digunakan secara selektif, dan warga yang menyuarakan penolakan dianggap kriminal. 

Mereka yang dibawa ke Ternate dikawal secara ketat, seolah-olah adalah pelaku kejahatan besar. Ini menunjukkan betapa brutalnya kekuasaan ketika berhadapan dengan rakyat kecil, terlebih jika terkait kepentingan investasi skala besar.

Tak mengherankan jika tindakan ini memicu kemarahan publik. Laporan ELSAM (2023) menyebutkan aparat keamanan kini lebih sering menjadi pelindung kepentingan korporasi ketimbang pelindung warga negara. Situasi ini diperparah oleh kegagalan pemerintah daerah dalam mendengar dan mewakili aspirasi rakyat.

Bukanya jadi mediator atau pelindung masyarakat, pemerintah justru turut mendorong proyek tambang yang berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup komunitas lokal.

Kriminalisasi terhadap warga Maba Sangaji menambah daftar panjang kriminalisasi rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya. Ini wajah buram demokrasi di tanah adat. 

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2023 terjadi 212 konflik agraria di Indonesia, dengan wilayah masyarakat adat sebagai yang paling rentan. Polanya berulang: tanah dirampas, rakyat melawan, lalu dikriminalisasi. Dari Papua hingga Kalimantan dan Sumatera, masyarakat adat mengalami nasib serupa. Demokrasi kehilangan maknanya ketika negara lebih berpihak pada modal daripada rakyat.

Pertanyaannya: Sampai kapan kekerasan ini akan terus berlangsung? Apakah pembangunan memang harus mengorbankan manusia dan kebudayaan? Apakah suara rakyat kecil hanya akan dihargai jika sejalan dengan kepentingan elite?

Kita harus mengingat jika tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga ruang spiritual, budaya, dan sejarah. Ketika tanah mereka dirampas, yang hilang bukan hanya penghidupan, tetapi juga identitas dan eksistensi mereka sebagai komunitas.

Antropolog Tania Murray Li, Dalam Land’s End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier menegaskan, saat tanah dikomodifikasi oleh kapitalisme, yang dirusak bukan hanya alam, tetapi juga relasi sosial dan budaya masyarakat adat.

Kriminalisasi terhadap perjuangan mempertahankan tanah adat adalah bentuk kekerasan struktural yang sering kali tidak tampak, namun dampaknya nyata. Ini adalah cara sistematis untuk membungkam suara-suara yang mempertahankan kehidupan.

Sebagai warga negara yang peduli terhadap keadilan, kita tidak boleh tinggal diam. Kita sudah mesti menyadari hal ini. Namun marah saja tidak cukup, mengumpat sambil memaki juga tidak mempan, dan geram tidak akan mengubah keadaan. 

Suara masyarakat Maba Sangaji adalah suara kita semua, suara yang merindukan keadilan. Mereka bukan kriminal. Mereka adalah pembela kehidupan, pembela tanah, dan pembela demokrasi. Negara seharusnya berdiri di belakang mereka, bukan menjadi alat penindasnya.


***

Penulis merupakan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate


Catatan: Tulisan penulis merupakan tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi LPM Aspirasi.

 

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama