Peneliti Human Right Watch Soroti Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji

  

Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch.

LPM Aspirasi-- Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono menyoroti penggunaan Undang-Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 dalam menjerat 11 masyarakat adat Maba Sangaji, Halmahera Timur. 

Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) itu menilai penggunaan Undang-undang yang mengatur larangan kepemilikan senjata tajam sebagai upaya mengintimidasi masyarakat yang berjuang mempertahankan tanah.

“Dalam satu dekade terakhir, pasal senjata tajam seringkali dipakai polisi di Indonesia (di luar Papua Barat) guna menakut-nakuti orang kampung yang sedang berjuang mempertahankan hak mereka akan tanah desa,” ungkap Andreas saat dihubungi via direct message pada Kamis (22/5/2025).

Andreas bilang kalau kebiasaan petani di desa itu membawa parang atau pisau saat pergi ke kebun. Parang dan pisau digunakan sebagai alat kerja. 

“Bila polisi-polisi pernah hidup di desa, mereka seharusnya sadar kalau orang desa biasa membawa pisau atau parang, buat potong dahan, buka buah, congkel tanah dan sebagainya,” ujarnya.

Kata Andreas, di kampung halamannya, Jember orang yang mengandalkan hidup mereka pada alam akan membawa pisau saat mencari kebutuhan hidupnya di alam. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai ancaman, bahkan jika dibawa saat melakukan protes. 

“Saya lahir dan besar di Jember tahun 1965. Saya biasa lihat orang yang banyak mengandalkan hidup mereka pada alam membawa pisau. Ia seharusnya tak dilihat sebagai ancaman bahkan bila ia dibawa saat mereka protes, demonstrasi,” terang Andreas.

Hal semacam ini menurut Andreas sama dengan bawa panah dan busur di Papua Barat. Ia tak bisa dilihat sebagai potensi lakukan kejahatan. 

“Polisi di Halmahera Timur seyogyanya segera membebaskan belasan warga Maba Sangaji yang ditahan dengan pasal senjata tajam,” tegasnya.

Menurut dia, polisi seharusnya menjalankan tugas mereka guna menjamin orang-orang Maba Sangaji bisa menjalankan hak mereka buat berpendapat, buat mempertahankan tanah mereka, dengan aman. 

“Polisi di Halmahera Timur, tentu saja, bisa dengan bijak menasehati orang-orang yang protes agar menitipkan dulu pisau atau parang mereka. Bisa diambil kembali sesudah demonstrasi,” ungkapnya.

Penangkapan terhadap masyarakat Maba Sangaji terjadi pada 16-17 Mei 2025 lalu saat demo tolak PT Position. Awalnya 30 orang yang ditangkap, namun tiga orang dibebaskan, sementara 27 orang harus menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Maluku Utara.

Setelah polisi melakukan pemeriksaan terhadap 27 warga yang ditangkap, 11 orang kemudian dijadikan tersangka dengan alasan melakukan tindakan premanisme karena membawa senjata tajam dan merampas kunci alat berat milik perusahaan.

Polisi mengamankan 10 buah parang, 1 buah tombak, 5 buah ketapel, 1 buah pelontar panah dan 19 busur anak panah serta spanduk, terpal dan ranting yang digunakan untuk membuat camp, serta merampas 18 kunci alat berat milik perusahaan PT Position.

Masyarakat dijerat Undang-Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang larangan kepemilikan senjata tajam dengan ancaman 10 tahun penjara.


Reporter: Syahrullah Muin

Editor: Susi H. Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama