![]() |
Ilustrasi gambar: Kompas.com |
*Oleh: Abubakar Ismail
Sekali terjerat pidana, penjara adalah keniscayaan. Kita tak lagi menatap matahari indah di pagi hari. Empat dinding tebal menahan segalnya, hanya pintu jeruji besi satu-satunya yang memberikan kolongan mata memandang situasi luar. Itu pun bukan sunset atau langit-langit biru, tapi tembok-tembok sel lain. Aroma blok huniannya pengap dan apek.
Langit-langit dan bola lampu itu-itu saja yang ditatap setiap hari ketika Anda merebahkan badan. Jangan dibayangkan bahwa setiap penjara bakal memiliki kipas angin. Barang satu itu ialah sebuah kemewahan. Dari detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun, begitulah ruangan yang Anda rasakan.
Maka benar apa yang dikatakan P.A.F Lamintang, “Penjara (Prison) membatasi kebebasan bergerak dan mewajibkan penghuninya (terpidana) menaati semua tata tertib yang berlaku di dalamnya.” Ketika masuk penjara, kemerdekaan seseorang langsung terampas, penjara adalah tempat yang mengerikan, tidur beralas lantai, tak ada sewa kasur.
Penjara adalah gambaran terburuk dari dunia, karena hidup di dunia seakan-akan telah selesai bagi orang yang menjalaninya. Sosiolog cum kriminolog bernama Greshan M. Sykes menyebut penjara adalah “Lama dan menyakitkan (long and pain full) tak hanya kemerdekaan yang terampas, tapi juga kehilangan kepemilikan barang dan jasa, hubungan sosial dan hilangnya kenyamanan serta keamanan. Ini hanya sedikit dari gambaran utuh sulitnya menjalani kehidupan di penjara.
Lantas apa yang menjadi alasan begitu banyak orang terjerat pidana dan mendekam di balik bangunan penjara yang mengintimidasi dan menjadi saksi dunia pararel di dalamnya. Di sana mereka menjalani hidup atas bayang-bayang tembok raksasa, dikelilingi oleh menara pengawas yang mencekam dan tampilan suram kawat berduri. Lebih jauh, mari kita bedah problem hukum yang begitu kompleks di balik tembok tinggi, jeruji besi dan pintu baja yang merupakan hasil akhir dari sebuah proses peradilan pidana di Indonesia.
Spirit Pembinaan dan Overcrowded
Secara histori, transformasi Pemasyarakatan terjadi di era tahun 60-an, tepatnya 5 Juli 1963, bahwa prisnsip penegakan hukum pidana yang berorientasi mengayomi masyarakat bukan hanya masyarakat umum yang di ayomi dari tindak kejahatan, namun masyarakat yang tersesat secara hukum juga diayomi dengan memberikan bekal hidup, membimbing agar bertobat, dan mendidik supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna. Singkatnya tujuan pidana penjara adalah pembinaan pemasyarakatan. Ini adalah spirit baru yang digaungkan oleh bangsa sebesar Indonesia, sekaligus men-declare bahwa tujuan pemidanaan berupa pembalasan dalam sistem penjara warisan kolonial tidak sejalan Pancasila yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Transformasi pemidanaan dari pembalasan ke pengayoman kemudian dari penjara ke Lembaga Pemasyarakatan merupakan lompatan yang mengubah wajah penjara yang horor dan terpisah dari sosial masyarakat kini menjadi humanis dan terintegrasi dengan masyarakat. Di saat transformsi di atas telah berjalan, tantangan yang terus menjadi momok adalah “overcrowded” sebuah peristiwa membludaknya terpiana melebihi daya tampung sarana hunian terpidana.
Kompleksitas penjara membuat overcrowded tidak hanya sebatas persoalan kapasitas ruangan/sel yang terbatas, namun juga berdampak pada aspek yang lain, seperti ketersediaan air, aktivitas kamar mandi, kebersihan, kesehatan, hingga proses pembinaan yang kurang maksimal. Bagi terpidana, kepadatan yang berlebihan menyebabkan mereka hidup dalam kondisi yang tidak layak, berbagai persoalan seperti pengapnya udara, redupnya cahaya, hingga sanitasi yang buruk menyebabkan mereka jauh dari kata nyaman. Belum lagi resiko penyebaran penyakit menular kronis seperti TB, HIV dan infeksi menjadi lebih cepat karena jarak fisik terlalu dekat dan fasilitas kesehatan yang terbatas.
Pada saat berada dalam situasi yang serba tidak nyaman, gangguan mental menjadi masalah yang melekat. Stres, depresi hingga gangguan psikologis lain pun meningkat akibat tekanan hidup karena berada dalam lingkungan yang terlalu padat dan tidak tersedianya ruang privasi lagi. Dampaknya sangat signifikan. Peristiwa kerusuhan maupun kasus kaburnya warga binaan menjadi alarm lantang bagi negara. Di tahun 2025 sedikitnya ada dua peristiwa di Lembaga Pemasyarakatan yang menyita perhatian publik.
Maret lalu, kita di hebohkan dengan peristiwa kaburnya 52 terpidana di Lapas Kelas IIB Kutacena, Aceh. Tak berselang lama, pada 8 Mei 2025 Terpidana di Lapas Kelas IIB Muara Beliti membuat kerusuhan karena menolak razia handphone dan narkoba. Kejadian ini menjadi perhatian berbagai pihak, karena gangguan keamanan di dalam Lapas/Rutan berdampak pada gangguan keteraturan terhadap ketertiban umum.
Peristiwa-persitiwa ini tak hanya menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban di dalam Lapas, namun tingkat kepercayaan publik terhadap Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara menjadi rendah. Publik bahkan menilai hal ini terjadi karena kelalaian petugas pengamanan, dengan menduga mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Liarnya informasi dan cara publik menilai institusi ini dari luar sangat berbeda dengan kondisi seutuhnya di balik tembok penjara. Kasus-kasus anomali yang terjadi di dalam lapas adalah gejala kecil yang muncul ke permukaan dan menutupi ancaman besar di baliknya.
Penilaian negatif publik inilah yang akhirnya menyebabkan akar masalah dari peristiwa tersebut tidak terungkap dengan jelas. Salah satu problem utama yang lolos dari atensi publik adalah overcrwoded. Pada kasus Kerusuhan dan pelarian di Lapas Kutacene misalnya, bila di teropong lebih jauh, secara ideal kapasitas Lapas hanya dapat menampung 85 orang saja. Akan tetapi di saat terjadi kerusuhan Lapas Kutacenen di huni oleh 362 terpidana.
Begitu pula dengan Lapas Muara Beliti, Narapidana bahkan menguasai lapas dan mengakibatkan sejumlah fasilitas mengalami kerusakan berat, pada saat kerusuhan itu terjadi, Lapas Muara Beliti di huni oleh 1.014 terpidana dari kapasitas hunian 362. Lebih lanjut, secara total jumlah warga binaan dan tahanan yang menghuni lapas di seluruh Indonesia per bulan April 2025 mencapai 275.001 dengan kapasitas sarana hanya dapat menampung 145.747 penghuni saja. Jika dibiarkan terus menerus, hal ini akan mempersulit proses pengawasan, perawatan, hingga proses evakuasi cepat apabila terjadi hal-hal berupa kebakaran atau bencana alam.
Kompleksitasi persoalan ini bukan mengharapkan jawaban “Pembangunan tambahan lapas di Indonesia.” Lebih dari itu, ini adalah problem hukum yang harus ditata ulang sejak dari hulu hingga hilir dan cara pandang negara melihat peristiwa pidana.
Ultimatum remedium dan Restorative Justice
Daya upaya untuk menekan overcrewded pada dasarnya sudah banyak dilakukan melalui berbagai kebijakan dan terobosan. Namun faktanya narapidana masuk kedalam lapas tidak sebanding dengan jumlah yang keluar. Pendekatan pidana sebagai sarana terakhir atau ultimatum remedium harus menjadi prinsip utama yang di gunakan oleh pembuat undang-undang maupun penegak hukum.
Belakangan ini, hampir semua undang-undang ada ketentuan pidana yang menyebabkan overcriminalization. Ini akibat dari terlalu mudahnya kita mengkriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana, padahal ada rambu-rambu kriminalisasi, seperti perbuatan itu membahayakan, berpotensi ada korban, seimbang antara pelarangan dengan hasil yang dicapai, mempertimbangkan beban kerja penegak hukum dan lain-lain.
Undang-undang norkotika misalnya, pendekatan hukuman yang mengedepankan pidana penjara mengakibatkan lapas di Indonesia dipenuhi pelanggarnya. Tercatat pada akhir 2024 sebanyak 160.000 terpidana berasal dari kasus narkotika, 80% adalah pengguna. Dari keseluruhan pengguna, 85% merupakan pengguna narkotika di bawah 0,7 gram. Padahal dalam pasal 127 ayat 3 (tiga) Undang-undang Narkotika, seseorang seharusnya cukup direhabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bila terbukti hanya menjadi korban. Saya bersepakat dengan Wakil Mentri Hukum Prof. Eddy O.S Hiariej yang selalu vokal menyuarakan revisi Undang-undang Narkotika karena hal ini.
Pendekatan yang kedua adalah Restorative Justice. Di mana dengan persyaratan tertentu yang bisa dipenuhi maka penyelesaian perkara pidana tidak perlu diproses lebih lanjut ke meja hijau. Kejaksaan Agung sendiri pada tahun 2023 tercatat telah menyetujui 2.407 perkara pidana untuk diselesaikan dengan pendekatan restoratif.
Sementara itu Polri di tahun yang sama juga menyelesaikan 18.175 perkara melalui mekanisme keadilan restoratif. Kita dapat membayangkan jika angka perkara pidana tersebut kemudian berlanjut ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara tentu akan berpotensi memperpanjang cacatan kelam overcrowded di dalam lapas.
Optimalisasi Kebijakan
Langkah langsung eksekutif untuk mengurangi beban lapas yang telah dilakukan adalah Amnesti/Grasi masal bagi beberapa perkara, dengan mempertimbangkan syarat-syarat terhadap individu agar kebijakan ini tepat pada sasarannya. Amnesti dan grasi masal adalah langkah progresif yang berani, sebagai jalan keluar jangka pendek, ini merupakan kebijakan yang harus disepakati dan didukung oleh semua pihak termaksud konsekuensinya. Ekseutif order dan presepsi masyarakat juga penting dipertimbangkan untuk hal ini.
Berikutnya, KUHP harus mengutamakan pidana non pemenjaraan, saat ini masih 66% ancaman pidana KUHP terbaru diancam dengan pidanan penjara, artinya masih ada muatan overkriminalisasi. Tindak pidana tanpa korban (victimles crime), pidana yang menyerang ruang privat dan ekpresi warga negara seharusnya tidak diatur dengan pendekatan penjara.
Langkah yang lain adalah merevisi KUHAP dengan menjamin mekanisme uji dan kontrol pembatasan kewenangan penahanan oleh aparat penegak hukum. Penahanan harus diputuskan oleh hakim bukan aparat penegak hukum. Kemudian memperbanyak alternatif penahanan non lembaga seperti tahanan kota dan tahanan rumah serta maksimalkan efektifitas penangguhan penahanan.
Pada level perubahan legislasi berikutnya adalah Pemerintah bersama dengan DPR, perlu untuk pertama, merevisi Undang-undang Narkotika dengan menjamin dekriminalisasi bagi pengguna narkotika. Pendekatan kesehatan melalui rehabilitasin dapat diberikan intervensi atas dasar asesmen kesehatan. Dalam draft RUU Narkotika, rehabilitasi justru menjadi kewenangan Polisi dan BNN, harusnya intervensi dilakukan berbasis kesehatan, berikan kewenangan asesmen dekriminalisasi pada pihak kesehatan, Indonesia memiliki puskesmas sebagai sistem yang terbilang sudah matang.
Untuk tindak pidana paling banyak lainnya, semisal pencurian dan penganiyayaan (tidak untuk kekerasan seksual) dapat dilakukan pendekatan penanganan kasus dengan mengharusutamakan peran korban atau restorative justice, dengan mengutamakan penggunaan ganti rugi kepada korban yang selaras dengan pertanggung jawaban pelaku. Bisa dengan memperbanyak penggunaan Pasan 14c KUHP tentang pidana bersyarat berupa penggantian kerugian dengan masa percobaan.
Di sisi lain, perlu juga ditekankan bahwa regulasi yang di implementasikan nantinya dapat berjalan dengan baik dan efektif, Negara perlu mempertimbankan alternatif sanksi pidana lain yang sesuai terhadap pelaku kejahatan. Upaya semacam inilah yang harus dikedepankan dalam sistem peradilan pidana terpadu. Pedomannya sederhana: jangan sekedar menghukum pelaku dan menyelesaikan gejala, tetapi juga fokuskan pada pemulihan kembali dan menyelesaikan sumber masalah dari akarnya.
Terakhir saya mengutip Bryan Stevenson “Sistem yang hanya menghukum tanpa memulihkan adalah penjara bagi kemanusiaan.”
***
Penulis merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pandangan institusi di mana penulis bekerja
Catatan: Tulisan penulis merupakan tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi LPM Aspirasi.