Aliansi Mei Berlawan Kota Ternate: 1 Mei Bagi Orang Papua Jadi Awal Mula Aneksasi Papua

 

Perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) saat melakukan orasi di depan pasar Barito, kota Ternate. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi.


LPM Aspirasi--Demonstrasi memperingati Hari Buruh Internasional atau MayDay yang digelar di Kota Ternate tidak sekadar menyuarakan isu buruh. Massa juga memperingati 1 Mei sebagai hari aneksasi Papua ke dalam Indonesia.

Aksi ini digelar pada Kamis (1/5/2025). Mereka menilai 1 Mei merupakan awal mula  konflik yang masif dan berkepanjangan di tanah Papua. 

Jhon Pravda, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menjelaskan tiap 1 Mei di Papua selalu memunculkan situasi panas. Bagi orang Papua 1 Mei dianggap sebagai hari aneksasi negara Indonesia mencaplok Papua Barat sebagai sebuah negara merdeka. Sementara Pemerintah Indonesia mengklaim 1 Mei sebagai hari integrasi Papua masuk kedalam NKRI.

Menurut Jhon, literasi orang Papua mencatat sejak 62 tahun lalu peralihan Papua oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA/PBB) kepada Indonesia 1 Mei 1963 sebagai upaya melegalkan aktivitas Indonesia mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) hingga 1969. 

Langkah PPB melalui UNTEA ini lalu dijadikan peluang untuk memaksimalkan berbagai upaya politik, dalam memuluskan keinginannya menguasai Papua, yang waktu itu disebut Irian Barat dan atau Nederlands New Guinea. 

“Apa yang dilakukan oleh Indonesia? pertama, Indonesia melanggar perjanjian New York 15 Agustus 1962 atau New York Agreement, terutama ketentuan menyangkut bentuk pelaksanaan Pepera yang mewajibkan referendum secara luas, dan mengikutsertakan seluruh rakyat,” ungkapnya.

Jhon bilang dari situ Indonesia mulai merepresif semua gerakan-gerakan protes damai rakyat secara biadap, baik dengan menangkap, memenjarahkan, bahkan tidak sedikit yang dilaporkan terbunuh.

Sementara itu, Nabo, mahasiswa asal Papua bilang peristiwa 1 Mei 1963 tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan rentetan skenaro besar penguasaan wilayah papua oleh Indonesia. Peristiwa TRIKORA 19 Desember 1961 merupakan agresi pertama pemerintah Indonesia menguasai papua, berturut-turut peristiwa integrasi 1 Mei 1963 dan peristiwa PEPERA 1969. 

“Hasil Pepera kemudian mengunci mati seluruh skenario penguasaan tersebut dan Papua menjadi milik Negara Republik Indonesia yang sulit ditawar-tawar lagi,” tandasnya.

Meskipun demikian rakyat papua, ungpak Nabo terus menentang terhadap berbagai tindakan kecurangan politik penguasaan wilayah yang dilakukan negara Indonesia termasuk 1 Mei 1963. Rakyat menilai, proses integrasi dilakukan secara paksa dan sepihak tanpa dilibatkan orang papua. Karena itu diprotes orang papua setiap momentum 1 Mei dengan aksi peringatan hari aneksasi papua.

“Situasi memanas itu terus belangsung hingga hari ini, sudah ratusan, bahkan ribuan orang Papua mati akibat konflik berkepanjangan di tanah Papua,” tandasnya.

Nabo, yang juga tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua, mengatakan sampai hari ini pendekatan yang di pakai Indonesia untuk menyelesaikan konflik di papua selalu dengan pendekatan militer yang berakhir pada pelangaran hak asasi manusia.

Bagi Nabo, penyelesaian konflik di Papua menggunakan pendekatan militer bukan sebuah solusi, justru konflik itu lebih meningkat. Pemerintah Indonesia harus mencari solusi yang demokratis untuk situasi Papua. 

“Konflik Papua tidak bisa diselesaikan dengan cara militeristik, harus cari solusi yang lebih manusiawi, dan demokratis,” terangnya.

Reporter: Syahrullah Muin

Editor: Susi H. Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama