![]() |
Massa Komite Mei Berlawan saat melakukan orasi di depan Pasar Barito, Ternate Tangah. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi -- Komite Aksi Mei Berlawan memperingati 27 tahun runtuhnya rezim Soeharto pada Kamis (21/5/2025) di depan Pasar Barito, Gamalama, Kota Ternate. Dalam peringatan yang lebih dikenal dengan sebutan Reformasi itu, massa bentangkan spanduk bertuliskan Lawan Kapitalisme Dan Tolak Kebangkitan Orde Baru.
Momentum yang digadang-gadang jadi babak baru perjalanan Indonesia itu dinilai gagal. Soeharto lengser, namun akar penindasan rakyat tidak tersentuh. Sistem ekonomi-kapitalisme terus ada, dan penindasan rakyat terus berlangsung hingga hari ini.
Fajrianto, koordinator aksi mengatakan setelah Soeharto runtuh yang menggantikannya di tampuk kekuasaan itu sisa-sisa orde baru seperti elite politik borjuasi, jenderal sisa-sisa orde baru, dan juga para pemilik modal.
“Ini yang semakin mempertegas kalau orde baru dalam wajah baru akan segera lahir kembali apalagi di bawah rezim Prabowo hari ini yang juga sebagai jenderal sisa orde baru,“ terangnya.
Dia bilang reformasi 1998 tidak menghancurkan sistem kapitalisme. Hal itu yang menyebabkan ketertindasan rakyat masih berlangsung.
Menurutnya, sistem kapitalisme yang sebabkan upah buruh murah, perampasan ruang hidup demi proyek strategis pemerintah, pendidikan mahal, kesehatan mahal, pembungkaman ruang demokrasi yang masih terjadi di segala sektor dan masih banyak lagi.
Hal ini, kata Fajrianto juga jadi pemicu ketakutan terhadap bangkitnya orde baru yang kian nyata. Apalagi di tangan rezim Prabowo serta disahkannya Undang-Undang TNI.
"Apalagi dengan disahkannya UU TNI sebagai produk hukum dari rezim hari ini semakin memperkuat rezim orde baru dalam wajah baru semakin nyata” ujarnya.
Fajrianto bilang UU TNI yang baru disahkan terkesan punya kesamaan dengan aturan Dwifungsi Abri di masa orde baru. Contohnya militer sudah punya peran di ranah pertahanan dan keamanan, tapi masih di tambah dengan sektor yang seharusnya di isi rakyat sipil. Peran ganda ini secara ekonomi-politik bisa membatasi sipil untuk mengisi jabatan strategis yang seharusnya.
Ketakutan akan kembalinya Dwifungsi Abri, bagi Fajrianto tidak bisa sekadar memaki sembari mengumpat, melainkan butuh perlawanan. Namun melawan tidak bisa dilakukan perseorangan melainkan butuh persatuan yang besar didasari dengan teori dan praktik yang matang. Karena dengan persatuan yang besar ini upaya untuk membangun kekuatan politik alternatif bisa diwujudkan.
“Alat politik yang akan melawan Kapitalisme dan juga kebangkitan orde baru, kekuatan politik ini juga menjadi pondasi untuk merebut kekuasaan dari para pemodal, sisa orde baru, elite politik borjuasi dan akan menjalankan kebijakan-kebijakan pro rakyat,” tegasnya.
Abdul Gafur, salah satu massa aksi mengatakan pemerintahan dibawah Rezim Soeharto yang menyebabkan pembantaian, penculikan, pembunuhan, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela tidak bisa dijadikan pahlawan.
“Aksi kali ini juga sekaligus menolak Soeharto menjadi Pahlawan!” ucapnya.
Selain aksi kampanye memperingati 27 tahun runtuhnya Soeharto, Aliansi Mei Berlawan juga turut bersolidaritas dan mengecam penangkapan 11 masyarakat adat Maba sangaji oleh pihak kepolisian.
Mereka juga menyerukan kepada Polda Maluku Utara untuk segera membebaskan 11 masyarakat adat yang di tahan di Ditreskrimum Polda Maluku Utara tanpa syarat.
Reporter Magang: Gerrard Montolalu
Editor: Susi H. Bangsa