Lima Rumah Warga Kalumata Digusur, Korban: Akan Terus Protes

Proses penggusuran lima rumah warga di Kalumata pada Senin (6/5/2024). Foto: Sukriyanto Safar/ LPM Aspirasi.

LPM Aspirasi -- Keluarga almarhum Buka harus menerima kenyataan pahit. Rumah mereka di jalan Melati Sasa, depan Tugu Makugawene, Kelurahan Kalumata, Ternate Selatan, digusur Pengadilan Negeri (PN) Ternate pada Senin (6/5/2024). Hal itu berdasarkan surat nomor 1013/ PAN.PN.W28-U2/ HK2.4/ IV/2024 tetang eksekusi rumah warga dengan nomor perkara perdata 34/Pdt.G/2017/PN. 

Eksekusi dimulai sekira jam 8.00 WIT. Massa Aliansi Kalumata Tolak Penggusuran sempat menghadang, namun barikade mahasiswa dan warga dibubarkan secara paksa oleh pihak Kepolisian.

Massa Aliansi Tolak Penggusuran saat barikade penggusuran. Foto: Sukriyanto Safar/ LPM Aspirasi.

Isra Muhdar, kordinator aksi mengatakan upaya untuk menghadang eksekusi rumah warga karena tenggak waktu surat pemberitahuan penggusuran dan waktu eksekusi sangat mepet. Harusnya pihak pengadilan memberikan waktu untuk warga.

“Mereka beri surat tanggal tiga lalu, hari ini langsung digusur, ini terlalu mepet untuk mengosongkan rumah, pengadilan harusnya mempertimbangkan hal ini,” ungkapnya. 

Selain itu, kata Isra, penggusuran harusnya ditunda pengadilan, sebab mereka harus mempertimbangkan pelaporan pemalsuan dokumen ke Reskrimum oleh keluarga alm. Buka terhadap Juharno yang bisa membatalkan sertifikat hak milik (SHM) yang sementara ini sedang berjalan. 

Isra bilang, keluarga alm. Buka telah melaporkan Juharno atas dugaan manipulasi identitas dan manipulasi administrasi oleh Juharno ke Reskrimum semenjak tahun 2018, namun semenjak pelaporan masuk hingga sekarang justru korban tidak pernah mendapatkan kepastian hukum dari proses pelaporan tersebut.

Sementara itu, Kadar Noh, Humas Pengadilan Negeri Ternate mengatakan sebelum dieksekusi sudah ada upaya untuk meringankan korban. Misalkan dilakukan anmening atau teguran, bisa juga negosiasi, namun pihak tereksekusi tidak mau atau tidak mau membayar, sehingga dilakukanlah kontatering.

Kata dia, eksekusi yang dimaksud ialah menyerahkan yang selama ini dikuasai oleh mereka ke Juharno yang sah secara hukum. Jadi itu semata-mata memberikan kepastian kepada pemenang terhadap pencari keadilan khususnya siapa yang menang dalam perkara perdata.

“Yang namanya eksekusi kan pihak pemohon tidak mau memberikan objeknya sehingga harus dipaksa untuk keluar,” terangnya. 

Sejumlah aparat kepolisian terlihat berada di depan rumah warga yang digusur. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi.

Tanah yang disengketakan ini diklaim sebagai tanah adat yang diberikan Iskandar M. Djabir Sjah, Sultan Ternate sebagai penghargaan kepada Almarhum Buka karena pengabdiannya terhadap Kesultanan Ternate. Kala itu Buka menjabat sebagai Jogugu Loloda (Perdana menteri atau mangkubumi loloda) Kesultanan Ternate.

Pemberian itu melalui surat Cucatu (semacam dokumen hak atas tanah) pemberian almarhum Sultan Iskandar M. Djabir Sjah. Karena waktu yang lama, surat Cucatu itu telah hilang. Karenanya pada tahun 1996 dibuatkan lagi oleh Sultan Mudaffar Sjah sebagai Sultan yang berkuasa kala itu. Surat tersebut dibubuhi tanda tangan Sultan Mudaffar Sjah dan stempel sah Kesultanan Ternate pada tanggal 19 Oktober 1996.

Sengketa ini bermula pada tahun 70'an. Tanah yang telah ditempati keluarga Almarhum Buka, diklaim Letnan Kolonel Juharno sebagai tanah miliknya. 

Juharno mengklaim dapat tanah itu yang berasal dari tanah negara Swapraja/Eigendom. Ini dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM). Berdasarkan keterangan warga, surat itu didapat setelah Juharno memanipulasi identitas sebagai petani. Akhirnya dapat diproses melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur nomor 89/HM/PL7Trt/78 tertanggal 1 Desember 1978 a.n Juharno yang diserahkan kepada Dandim 1501 Maluku Utara untuk anggota Perwira ABRI yang betugas di Maluku Utara kala itu. Alhasil terbit SHM nomor 229 atas nama Juharno.

Proses penggusuran rumah warga. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi.

Sengketa ini kembali mencuat setelah Julianto Hari Nugroho, anak dari Juharno datang dan mengklaim tanah itu milik keluarganya. Ia meminta ganti rugi kepada warga yang menempati lahan tersebut. Upaya itu di tolak warga yang bersikukuh tanah itu milik orang tua mereka yang dihibahkan Kesultanan Ternate. Akibat penolakan itu, Julianto Hari Nugroho kemudian menempuh jalur hukum dengan melakukan tuntutan ke PN Ternate terhadap ahli waris Buka, namun usaha itu ditolak pengadilan.

Setelah tuntutan Julianto dinyatakan Niet Ontvankelijke verklaard atau yang biasa disebut sebagai putusan NO (Gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil). Setahun kemudian, pada 2017 Juharno kembali menuntut ahli waris Alm. Buka.

Dalam tuntutan kali ini, Juharno menyertakan surat dari Kesultanan Ternate, yang dibumbui tanda tangan Sultan Mudaffar Sjah pada tanggal 14 Agustus 1997. Isi surat ini terkait pembatalan surat sebelumnya yang dikeluarkan Kesultanan Ternate untuk Alm. Buka. Namun surat itu diduga palsu. Mulai dari format kepenulisan, penyebutan tempat dan nama yang tidak sesuai, yakni nama penerima hibah yaitu Alm. Buka. Surat pembatalan itu malah ditujukan kepada Anwar POM.

Farida, korban penggusuran mengatakan mereka akan terus memprotes dan mengawal kasus ini sampai selesai. Sementara kasus pelaporan terhadap Juharno dengan dugaan pemalsuan surat Kesultanan Ternate sedang berjalan.

Tong (kita) akan terus kawal, tong akan minta ganti rugi kalau kasus pidana selesai karena ini sementara berjalan,” ungkapnya.

Dia bilang, kasus pidana ini tertunda sehingga tidak masuk dalam tahap penyelidikan karena bukti-bukti yang diminta dari penyidik tidak diberikan dari pihak Juharno. 

“Mereka tidak mendatangkan form asli dari surat dari kesultanan, tetapi hanya mendatangkan kwitansi saja," terangnya. 

Ia menambahkan, semenjak pelaporan masuk hingga sekarang justru korban tidak pernah mendapatkan kepastian hukum dari proses pelaporan tersebut. 

“Sekarang ini belum masuk tahap penyelidikan, sudah lima bulan. Katanya masi mencari naskah asli surat pemalsuan dari juharno,” ungkapnya.


Reporter: Sukriyanto Safar

Editor: Susi H Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama