Mahasiswa di Ternate Kecam Penganiayaan Warga Sipil di Papua, Desak Pelaku Diadili

AMP dan FRI-WP saat melakukan pernyataan sikap, pada Jumat (22/3/2024) Foto: Dokumentasi AMP


LPM Aspirasi -- kekerasan terhadap orang Papua kembali terjadi. Kali ini, beredar video penganiayaan yang diduga dilakukan anggota TNI kepada warga sipil Papua.

Ada dua penggalan video yang beredar. Video pertama yang viral di media sosial pada 22 Maret 2024 itu memperlihatkan aksi penyayatan ke punggung seorang warga Papua yang direndam di dalam drum sembari tangan terikat. Sesekali, tangan si pelaku menusuk-menusuk punggung pria itu dengan ujung pisaunya.

Sementara dalam video lain, ada sekira lima orang pria yang mengeliling tong berisi warga Papua itu. Pria berkaos hijau lalu melayangkan pukulan ke arah bagian belakang kepala pria dalam tong. Tak hanya dengan kepalan tangan, dia menghantam pria itu dengan sikut. Tindakannya diikuti pria lain yang, dari sepakan kakinya, tampak mengenakan celana loreng.

Satu persatu, pria di sekeliling tong menghujani pria itu dengan pukulan dan tendangan. Aksi sempat mereda ketika seorang pria berkaos abu-abu tampak menenangkan rekan-rekannya.

Terlihat punggung korban alami luka, akibat sayatan pisan dan wajahnya lebam, bengkak dan luka akibat pukulan dan tendangan. Hidungnya pun mengeluarkan darah. Bahkan air di dalam drum memerah akibat kucuran darah korban. 

Tindakan itu kemudian mendapat kecaman dari berbagai pihak. Termaksud Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Ternate dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Wilayah Maluku Utara. Melalui pernyataan sikap pada Minggu (24/3/2024) mereka mendesak agar pelaku kekerasan ditangkap dan diadili, serta menarik anggota militer baik organik maupun non-organik dari bumi cendrawasih.

Alex Peter, anggota Front Rakyat Indonesia untuk West Papua mengatakan peristiwa ini menambah rentetan kekerasan yang selama ini terjadi kepada orang Papua. Pelaku kekerasan harus segera ditangkap dan diadili.

“Pelaku harus ditangkap dan diadili. Penyiksaan tidak dibenarkan dengan alasan apapun,” ungkapnya.

Alex bilang, kejadian macam ini terus terjadi akibat pendekatan militer dalam menangani konflik Papua.

“Jika terus menggunakan pendekatan militeristik, kekerasan politik dan pelanggaran HAM akan terus berlangsung di Papua," katanya.

Alex menilai pendekatan militer yang diterapkan terlihat dari upaya pemerintah yang terus mengirim pasukan TNI organik dan non-organik dari luar Papua. Alih-alih menyelesaikan konflik, pengiriman itu justru menimbulkan berbagai kekerasan politik di Papua.

“Pemerintah harus menarik TNI baik organik maupun non organik di tanah papua, karena keberadaan TNI hanya menambah kekerasan dan eskalasi pelanggaran HAM,” tandasnya.

Penyiksaan tersebut, bagi Alex merupakan tindakan yang keji dan sangat tidak berperikemanusiaan serta tidak dibenarkan dengan dalih dan alasan apapun. Penyelidikan secara menyeluruh dan independen harus segera dilakukan. 

Deki Bunai, Ketua AMP Komite Kota Ternate bilang kejahatan kemanusian dengan pelanggaran hak-hak politik, hak asasi manusia di Papua menjadi catatan kelam, dan telah menjadi ingatan kolektif bagi rakyat Papua secara turun temurun. Ingatan kolektif inilah yang menjadi pemicu ketidakstabilan di Papua. 

“Kekerasan seperti tak ada habisnya untuk kita orang Papua. Sejak aneksasi hingga hari ini banyak korban berjatuhan akibat agresi militer di Papua,” ungkapnya.

Negara melalui pemerintahannya, presiden berganti presiden, secara terus menerus mengabaikan hak-hak orang asli Papua. Sebaliknya melakukan pelanggaran HAM secara terus menerus.

“Pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan penghilangan nyawa rakyat Papua secara paksa, massif dilakukan hingga hari ini,” ungkap mahasiswa salah satu kampus di Ternate itu.

Menurut dia, negara harus berani mengambil opsi lain dalam upaya menyelesaikan konflik Papua, misalnya yang telah menjadi aspirasi rakyat sejak awal aneksasi yaitu Penentuan Nasib sendiri melalui mekanisme Referendum atau kongkritnya dapat melalui pengakuan kedaulatan Papua melalu deklarasi 1 Desember 1961 yang dirusak Soekarno melalui Trikora.


Reporter: Sukriyanto Safar

Editor: Susi H Bangsa


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama