Massa Peringati HUT Papua Merdeka Dihadang dan Dilarang Gelar Aksi

 

Massa Aliansi Mahasiswa Papua dan FRI-WP dihadang aparat di Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan Jumat (1/12/2023) Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi 


LPM Aspirasi -- Peringatan HUT Papua merdeka digelar mahasiswa diberbagai daerah di Indonesia. Tidak terkecuali Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kota Ternate dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) wilayah Maluku Utara. Mereka merencanakan turun aksi pada (1/12/2023) di depan pasar Barito, Kota Ternate. 

Massa menilai bangsa Papua telah mendeklarasikan kemerdekaan pada 1 Desember 1961 silam. Akan tetapi, pemerintah Republik Indonesia tidak mau mengakuinya karena menganggap Papua Barat sebagai negara boneka bentukan Belanda. Pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno kemudian melakukan aneksasi ke wilayah Papua Barat melalui program Trikora pada 19 Desember 1961. 

Aksi yang direncanakan itu akhirnya batal digelar. Pasalnya massa dihadang sebelum berangkat ke lokasi.

"Kami di hadang bahkan saat belum memulai aksi. Penghadangan ini bentuk dan cerminan nyata dari pembungkaman ruang demokrasi terhadap orang asli papua,” ungkap Nando, Koordinator aksi.

Dia bilang, sejarah telah membuktikan rakyat Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya dan keberadaan Indonesia di sana ilegal karena melalui proses aneksasi.

Truk yang akan digunakan massa ke lokasi aksi, sopir ditahan dan kunci disita (1/12/2023) Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi.


Massa Dihadang

Aksi yang direncanakan pada jam 9.00 WIT itu, batal digelar. Massa yang baru akan berangkat ke lokasi menggunakan truk dihadang sejumlah TNI dan Polisi di depan SMA N 3, Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan.

Nando, Koordinator aksi mengatakan beberapa saat setelah kendaraan pengangkut massa keluar dari titik kumpul, langsung di hadang dan disabotase aparat yang berseragam lengkap berjumlah sekitar 7 orang.

 “Kami dihadang aparat dan banyak sekali Polisi berpakaian preman. Seorang anggota TNI menghadang truk dan tidak mengantar massa ke lokasi, bahkan sopir ditahan dan kunci truknya diambil,” terangnya.

Dia menambahkan, mereka sempat melakukan upaya persuasif agar tetap bisa melakukan aksi, namun upaya itu tetap tak diindahkan. Aparat tetap bersikeras menahan massa untuk tidak bergerak ke titik aksi.

“Mereka juga memprovokasi warga untuk bentrokan dengan masa aksi. Mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan kawan-kawan lalu memilih jalur mundur ke kampus Unkhair,” terang Nando.

 Massa aksi diikuti aparat ke kampus dan diancam akan ada penyisiran massa ke kosan.


Tak sampai disitu, saat mereka duduk di kampus aparat masih terus mengikuti dan mengambil foto. Massa aksi yang mengetahui hal itu, mengejar dan meminta aparat untuk menghapus foto namun tidak digubris.

“Setelah itu dari pihak aparat memanggil kawan Lipantara untuk menanyakannya sekaligus mengancam akan menyisir massa ke kosan karena dituduh telah menahan anggota mereka,” jelas mahasiswa salah satu kampus di Ternate itu. 

Tolak Otsus dan Berikan Solusi Demokratis bagi Papua Barat

Ronald, mahasiswa asal Papua menuturkan klaim pemerintah atas penerapan Otonomi Khusus bagi Papua berhasil adalah keliru. 

"Sebagian dari UU Otsus belum pernah diterapkan atau diterapkan secara tidak lengkap atau tidak efektif," kata Agus, seperti dalam propaganda aksi.

Penerapan yang dipilih-pilih ini bisa dilihat dari, misalnya, terang Ronald, kegagalan pemerintah membentuk Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkap masa lalu, kegagalan dalam pembentukan partai politik lokal, atau pelarangan pemerintah lokal memakai lambang Papua Barat, Bintang Kejora, karena diasosiasikan dengan nasionalisme Papua Barat.

Bagi orang Papua, UU Otsus punya tiga arti penting, diantaranya; pertama, disahkan menjelang berakhirnya era Kebangkitan Politik Papua (The Papuan Spring) dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. UU ini menjanjikan perbaikan kondisi ekonomi dan kedaulatan rakyat West Papua, mengobati luka lama akibat penindasan panjang, serta melegalisasi partai politik lokal. 

“Namun beberapa hari sebelum UU itu disahkan, pimpinan politik West Papua Theys Eluay dibunuh oleh Kopassus. Era Kebangkitan Politik Papua pun diakhiri dengan penuh kekerasan oleh aparat Indonesia pada 2003. Jadi jangan heran, bayangan kelam menghantui hari kelahiran UU Otsus.”

Kedua, UU Otsus diterapkan tanpa memerhatikan mekanisme demokrasi yang sejati. Lembaga-lembaga pemerintahan lokal yang dilahirkan Otsus kerap jadi sasaran intervensi dan pengawasan agar tidak melibatkan kandidat-kandidat pro-kemerdekaan. 

Karenanya, lembaga-lembaga seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dianggap sebagian besar rakyat tidak sepenuhnya representatif mewakili rakyat West Papua.

Ketiga, Implementasi UU Otsus selalu fokus pada program-program pembangunan. Sedangkan faktanya, proyek-proyek pembangunan lebih sering jadi sasaran penyelewengan dana. 

Alih-alih hendak mengikutsertakan orang asli West Papua dalam proses pembangunan yang inklusif, sejak Oktober 2020 Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2020 yang mengambil alih kuasa atas proyek-proyek pembangunan ke tangan pemerintah pusat.

Respon pemerintah Indonesia terhadap berbagai penolakan selalu sama. Selain kembali mengubur janji percepatan dan penambahan proyek pembangunan, pemerintah juga melakukan pembungkaman dengan cara pembubaran, penangkapan, dan kriminalisasi.

“Maka jelas bahwa yang dibutuhkan rakyat Papua itu adalah penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis,” tandas Ronald.

Ronald menilai pemerintah Indonesia tidak membawa kesejahteraan dan hanya menambah penderitaan rakyat West Papua.

“Teror, intimidasi, diskriminasi rasialis, penangkapan, penculikan, penahanan, penembakan, pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi sampai sekarang,” ungkapnya.

Berbagai operasi militer di West Papua, kata dia, telah menelan banyak korban. Penutupan akses jurnalis, pembatasan internet, dan penyebaran disinformasi dilakukan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di West Papua. 

“Wilayah West Papua dibagi-bagi melalui Otonomi Khusus dan DOB yang hanyalah gula-gula yang tak menjawab persoalan keadilan bagi bangsa West Papua. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia,” tegas mahasiswa Papua itu.

Aparat didampingi sekuriti kampus saat introgasi mahasiswa

Tuntutan Massa Aksi

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap politik kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk segera:

1. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua

2. Cabut dan Tolak Otonomi Khusus dan DOB 

3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua

4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua

5. Hentikan segala bentuk diskriminasi, intimidasi dan kriminalisasi terhadap Haris, Fatia, Agus Kossay, Beni Murib serta seluruh pejuang demokrasi dan kemerdekaan Papua

6. Bebaskan seluruh tahanan politik West Papua tanpa syarat

8. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan Migas di timika

10. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM

11. Hentikan rasialisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

12. Hentikan Operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh wilayah West Papua lainnya

13. Cabut dan tolak Omnibus law, RUU KUHP, UU ITE, seluruh kebijakan colonial yang tidak memihak rakyat

14. Mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan kolonial Israel

15. Stop Adu Domba dan Pecah Belah Rakyat dan Gerakan Pembebasan Papua!


Reporter: Sukriyanto Safar

Editor: Darman Lasaidi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama