Kisah Hidup Transpuan, Hadapi Stigma, Alami Pelecehan, Hingga Kekerasan

Ilustrasi: Rifal Muchlis

“Tetepsles perceyess ridis meskespens deyenes gitubes jamkes (Tetaplah percaya diri, meskipun dunia begitu kejam).”

Penggalan kalimat itu jadi pegangan MA (20), trans perempuan (transpuan) asal Kelurahan Dufa-Dufa, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, saat ditemui kru LPM Mantra, Universitas Khairun Ternate pada Sabtu (5/11/2022). MA bercerita perjalanan hidup selama ekspresikan dirinya sebagai transpuan.

Sejak duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia mulai identifikasi diri. MA merasa lebih feminim. Saat itu, ia bergabung dalam komunitas dance. Dari situ juga MA mulai serius menekuni hobinya itu. Keputusan menekuni seni tari dapat dukungan penuh dari ayah dan ibunya. Bahkan mereka kerap datang memberi dukungan saat MA tampil dalam suatu kegiatan. Biar begitu ia ditentang kakaknya yang seorang Polisi. 

“Penampilan ini hanya sebatas dance saja, selain itu tidak, karena kakak seorang anggota polisi dan yang pastinya dia akan merasa malu memperkenalkan saya ke teman-temannya,” kata MA mengingat masa lalunya.

Saat masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) MA sering merias wajah laiknya perempuan. Ekspresi itu sering dapat ejekan dari orang-orang terdekat. Salah satu tetangga rumah bahkan pernah menegur orangtua MA. Mereka meminta agar MA dilarang untuk tak lagi berdandan seperti perempuan. 

MA bersyukur, ayah dan ibunya tak pernah memukul atau memarahi dirinya. Hanya saja ia beberapa kali dapat nasihat agar tak bertingkah seperti perempuan. Dia pikir orang tua yang memukuli anak karena ekspresinya sama halnya tidak sayang anak. 

“Pasti kalau ada anak yang terjun ke dunia, maaf dalam tanda kutip belajar-belajar jadi banci, pasti orang tuanya marah hingga memukul. Kalau orang tuanya begitu, pasti tak sayang ke anak, berarti mereka yang tidak kalesang (peduli) anak,” ujar dia.

MA bukan tanpa hambatan, ia pernah nelangsa. Ayahnya sering lihat komentar ejekan di Facebook saat foto dan video menarinya di post. Ayahnya pernah mengajak MA bicara. Kalimat yang paling diingat dari obrolan itu saat ayahnya bilang “Jika ayah tak lagi menegur kamu, tandanya ayah lelah dengan pilihan kamu.” MA sedih karena ekspresi dirinya membuat sang ayah terluka.

Situasi itu, buat MA terpaksa bertindak maskulin saat ada kerabat ayahnya yang datang kerumah. Semua itu agar orang tuanya tak malu di hadapan para tamu. Padahal bagi MA, bersikap sopan santun tak hanya dimiliki satu gender.

“Saya tertekan ketika teman-teman mama datang ke rumah. Saya mesti ubah diri seperti laki-laki, supaya mereka tidak malu. Tapi, setahu saya, tidak ada yang salah dalam menjadi trans perempuan, apalagi soal penampilan. Yang bikin kita aman dari pandangan orang-orang itu hanya sikap. Penting bikin tabiat baik-baik saja,” kata MA tersenyum.

Kini orang tua MA mulai memahami. Dia tak lagi dilarang untuk ekspresikan dirinya. MA hanya diminta agar tetap jaga diri. Dia diingatkan tak berbuat sesuatu yang mencemari nama baik keluarga. MA hanya bilang dia telah dewasa dan paham tanpa perlu diingatkan berulangkali.

Pernah satu waktu, saat duduk di ruang tamu, keluarganya membahas ekspresi gender yang MA tunjukkan. Saat itu,  kakak MA sempat menolak dan memberi nasihat.

“Abang bukan larang ngana (kamu) karena kemayu tapi abang cuman minta jaga pergaulan saja”, kata MA menirukan perkataan sang kakak. Ia mengaku sangat lega dengan pernyataan sang kakak dan ia merasa diterima secara utuh oleh keluarganya.

Cerita lika-liku Transpuan juga dikisahkan Barianata (22) asal Kota Tidore Kepulauan. Hari itu, transpuan yang akrab disapa Berbie terlihat gugup saat menceritakan kisahnya pada Sabtu (5/11/2022).

Saat masih kecil, ia sering bermain boneka Barbie pemberian mamanya. Barianata senang dengan hal itu, ditambah mamanya memperlakukan Berbie seperti anak perempuan. Di sekolah Berbie dilarang bekerja berat seperti anak laki-laki di sekitarnya. Bahkan saat ada kerja bakti di sekolah, ia tak diperbolehkan membawa parang —dalam kultur masyarakat Indonesia diidentikan sebagai alat kerja laki-laki. Ia justru diminta membawa sapu seperti teman perempuannya. 

“Setiap kerja bakti di sekolah, karena mama saya juga kepala sekolah jadi dia bilang ke guru-guru kalau saya harus bawa sapu dan tidak boleh bawa parang, tidak boleh kerja berat. Saya menyapu, mengepel dalam ruangan,” kata dia.

Stigma, Pelecehan hingga Kekerasan

Sudah bukan rahasia umum. Ekspresi macam Barbie sering dapat stigma hingga pelecehan. Hal itu juga dialami Berbie. Ia mengaku pernah dapat pelecehan seksual, baik secara fisik maupun verbal saat masih Sekolah Dasar, bahkan hingga SMP. Waktu bepergian dengan mamanya, ia dipanggil pria tak dikenal yang meminta nomor ponsel.

Dia mengaku beberapa kali disentuh oleh orang asing tanpa persetujuannya. Hal itu buat Berbie trauma. Ia jarang keluar rumah, bahkan batasi komunikasi dengan orang lain selain keluarganya.

Kita (saya) dari SD sampai SMP pernah dilecehkan dengan orang secara fisik dan verbal, mereka cium juga. Makanya kita sampai trauma, pemalu, introvert, insecure. Satu kali kita bajalan  deng mama, tiba-tiba ada laki-laki yang panggil  minta nomor,” kata dia.

Seperti MA, Barbie juga bersyukur ekspresi gendernya tak ditentang keluarga. Juga saat tahu ia kenakan gaun dan wig milik sepupunya. Berbie bahkan dibebaskan keluarganya untuk memakai pakaian perempuan dan berdandan. Situasi itu berlanjut hingga Berbie kuliah. Ia hanya diminta ayahnya agar jadi anak yang berprestasi. Dengan begitu orang lain akan respect pada Barbie.

“Papa pe mau bagitu, harus jadi anak berprestasi supaya dapat respect dari orang. Misalnya ikut-ikut lomba. Sampai di semester lima setiap ada lomba saya ikut. Tapi lama-kelamaan rasa tra nyaman. Kita kabur dari rumah dan cuti selama dua semester, langsung tunjukkan kita yang sebenarnya,” ungkapnya.

Semasa pelarian dan cuti kuliah, Berbie akui banyak merenung. Ia akhirnya kembali ke kampus lanjutkan studi. Ia merasa punya tanggung jawab, apalagi orantuanya telah banyak berkorban untuk biaya kuliah. 

“Habis itu, semester tujuh saya lanjut kuliah. Saya bapikir begini, saya harus punya kerja, apalagi orangtua sudah susah payah sekolahkan saya lagi,” kata Berbie.

Berbie ungkapkan alasan ia tak didiskriminasi dalam rumah. Berbie jujur untuk ekspresikan diri. Di sisi lain tingkah humor yang sering ia tunjukkan membuat keluarganya tak banyak mempermasalahkan jati diri Berbie.

“Mungkin dari perlakuan dan pembawaan saya yang humoris, buat mereka nyaman dan seperti sefrekuensi, ‘dia ini lucu-lucu jadi asik’. Dengan kekurangan bisa tertutupi dengan humoris itu,” kata dia.

Nasib berbeda di alami Dipa (24) transpuan asal Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Ia meneteskan air mata saat menceritakan perjalanan hidupnya pada Sabtu (5/11/2022).

“Awal mula itu masih Taman Kanak-kanak (TK), sikap bencong tidak membuat keluarga marah, bahkan saat masih kecil juga, dibelikan mainan barbie.  Padahal tidak minta untuk dibeli”, ungkap Dipa saat ditemui di rumah kakaknya di Kelurahan Dowora, Kota Tidore Kepulauan.

Nama Dipa merupakan pemberian mamanya. Kata itu dari tokoh fiktif serial film India Diva. Ia bercerita mamanya sangat menyukai film India. Dari situ mama mulai panggil dia dengan nama Diva. Namun Diva lalu diganti Dipa yang diambil dari nama panjang Sudipa. Alasannya nama Diva merupakan nama untuk anak perempuan, Sementara Dipa lahir dengan kelamin laki-laki.

Sikap feminim yang Dipa tunjukkan sejak kecil tak lantas buat dia bedakan pertemanan. Dipa bermain dengan anak perempuan dan laki-laki. Sejak SD Dipa mulai suka menari, namun Dipa dapat larangan dari keluargannya.

“Dipa SD, ikut menyanyi sambil joget-joget, dance, menari, itu semua hal biasa di mata keluarga. Tapi saudara dari papa dan mama bilang pukul dia (Dipa) tu, kase laki-laki normal dia,” ungkapnya.

Ketika kecil sering dapat tindakan kekerasan dari orangtua dan keluarganya. Ia pernah dipukul hingga memar karena sikap feminimnya.

“Dipa pernah dipukul sendok adonan nasi kuning, sampai terbelah dua dan dipukul lagi, bahkan sampai memar-memar di area kaki, tangan, dan badan. Mereka seakan-akan tidak menerima kondisi Dipa,” ia bercerita sambil menitihkan air mata.

Saat duduk di bangku SMP, ia pun mulai menggunakan pakaian perempuan dan laki-laki secara bergantian. Dia mulai kebingunan dengan jati dirinya dan mulai mencari jawaban melalui obrolan dengan ayahnya. 

Awalnya dia bingung tentang orientasi seksual, lalu belajar di internet dan mulai memahami. Ia kini tak lagi ragu ekspresikan dirinya. Ia tak takut kena pukul lagi. Sikap itu buat keluarganya mulai menerima pilihan Dipa. Apalagi saat dia mulai aktif membantu kerja-kerja domestik.

“SD kelas enam itu Dipa memasak, menyapu, mencuci pakaian keluarga dan lain sebagainya. Makanya dari situ Dipa sudah tra dapat marah, walaupun sifat feminin masih terus dilakukan sampai SMP dan SMA,” kata dia.

Pencerahan Ruang Keluarga Trangender

“Sebuah keluarga yakni orangtua seharusnya menerima apapun kondisi sang anak, termasuk jika anak adalah seorang transgender,” ungkap Namira Banda, Dosen Psikologi, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, saat dihubungi via WhatsApp pada Rabu (23/111/2022).

Menurutnya transgender bukan masalah dalam hubungan keluarga. Tak seharunya anak transgender dapat bulian dan dianggap asing. Tak seharusnya mereka disiksa dengan kata-kata cacian, apalagi sampai mengusir keluar dari rumah. Transgender juga manusia dan punya hak sosial. Anak transgender tak dapat memilih keluarga yang melahirkan dia sehingga seharusnya mereka diterima apa adanya. 

“Keluarga seharusnya menerima anggota transgender, karena transgender juga merupakan manusia seperti layaknya manusia pada umumnya yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hidup bermasyarakat dan bersosial,” tegas Namira.

Sementara itu, laporan Magdalene.co, pada Kamis (18/7/2019) tentang Penerimaan Keluarga Penting Bagi Transpuan. Anastasia Satriyo, Psikolog klinis anak menjabarkan pemahaman identitas gender dan ilmu agama yang masih heteronormatif sebabkan banyak orang tua merasa kaget dan terpukul saat punya anak yang berperilaku berbeda dari jenis kelamin bawaan mereka.

 “Jadi waktu itu saya kedatangan pasien, orang tua dengan anak laki-lakinya yang berumur lima tahun. Saya tanya keluhannya apa, orang tuanya bilang anaknya merasa dirinya perempuan. Dari beberapa riset sebelumnya, memang dari umur tiga sampai empat tahun anak sudah membentuk identitas gendernya, walaupun belum tetap,” ungkap Anastasia.

Dalam laporan itu, Anastasia juga menjelaskan persiapan menjadi orang tua dalam edukasi pranikah harusnya sampai pembahasan ekspektasi keadaan anak dan menerima kondisi anak, salah satunya ketika dapat anak yang ekspresi gendernya berbeda.

“Janganlah lagi bilang, ‘nanti saja dipikirkan’. Edukasi tentang rencana memiliki anak sangat perlu untuk yang ingin menikah. Dari sini kita belajar untuk menerima apa pun keadaanya sang anak termasuk ketika sang anak merasa bahwa ia transgender,” ujar Dosen Psikolog, Universitas Atma Jaya Jakarta itu.


Penulis: Isbullah J Bangsa

Produksi ini menjadi bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa: Menciptakan Ruang Aman Gender dan Seksualitas di Maluku Utara Lewat Jurnalisme Keberagaman yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama