Menyoal Etika Lingkungan di Maluku Utara

Ilustrasi pixabay.com


Nurunnisa Hafel

“Keadilan lingkungan adalah gerakan untuk memastikan bahwa tidak ada masyarakat yang menderita beban lingkungan yang tidak proporsional atau berjalan tanpa menikmati manfaat lingkungan yang adil”. – Van Jones

Kata-kata seperti “etika”, “etis”, dan “moral” tidak hanya terdengar didalam ruang kuliah saja dan tidak menjadi monopoli kaum cendikiawan. Di luar kalangan intelektual pun sering digaungkan hal-hal yang seperti itu. 

Memang benar, jika di pasar atau di jalanan tentu kata-kata tersebut jarang sekali muncul baik secara lisan maupun tulisan. Tapi, pernahkah diperhatikan kerap kali dalam membaca kalimat-kalimat di majalah, koran-koran, atau bahkan buku hampir setiap kali ditemukan pengulangan kata-kata di atas seperti; “etika dan moral perlu ditegaskan kembali”, “ini adalah tidak etis”, dan juga pernah mendengar “moral pancasila”, “etika pembangunan”, dan yang sekarang cukup diperdebatkan adalah “etika lingkungan”.

Menurut K.Bertens dalam buku Etika: Seri Filsafat Atma Jaya 15, menyebut istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno;“ethos” yang memiliki arti ahlak, watak, perasaan, sikap, dan cara pikir. Etika merupakan ilmu tentang adat kebiasaan atau ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Kerap kali pidato-pidato para pejabat pemerintah yang sering memaparkan tentang etika serta moral, sering lupa tentang pemaknaan dari dua kata tersebut.

Lebel dan Pemaknaan Etika Terhadap Lingkungan 

Etika tidak hanya berlaku pada sesama manusia tapi yang non-manusia (lingkungan/alam) juga di berlakukan, dahulu orang belum mengenal yang namanya hak pada yang non-manusia seperti hak bunga mawar untuk mekar, hak binatang untuk hidup, hak sungai untuk berlekuk, hak gunung untuk tinggi, dan lain-lain. Justru mereka akan menganggap aneh jika yang non-manusia diberi status moral. Sekarang pertanyaan semakin kritis yakni “apa dasarnya yang non-manusia (lingkungan/alam, pohon dan lain-lain) harus punya status moral?”.

Etika lingkungan bukan sekadar perihal legally standing of enviroment (alam) melainkan, penerapan aksi yang nyata baik secara lisan ataupun tulisan yang harus dipatuhi dan dihormati bukan hanya menjadi formalitas sepintas. Kita juga sadar bahwa hampir semua yang ada di planet (bumi) ini merasakan berada dalam kondisi yang buruk.

Realita yang sering diwajarkan mulai mendarah daging dalam pemikiran manusia yang (antroposentris), apa contohnya? Sampah berserakan dimana-mana, hutan hujan tropis yang diekspoitasi habis-habis, pencemaran udara, pencemaran laut, penebangan liar dan masih banyak lagi. 

Dan muncul kontradiksi lagi dengan “lalu bagaimana dengan pesatnya perkembangan IPTEK?” Tentunya antara realita dan apa yang menjadi ekspektasi sangat bertolak belakang, bukan berarti manusia akan terus menebang untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun manusia yang lain, bukan juga terus memproduksi kendaraan yang berbahan bakar fosil, bukan juga menyebabkan kepunahan bagi spesies lain demi kebutuhan.

Dijelaskan juga didalam kajian ekofeminism yang dimana menawarkan sebuah bentuk nuansa kemanusiaan, yang tidak hanya menggaungkan manusia sebagai satu-satunya subjek yang harus dipertimbangkan melainkan pemberian kebebasan relasi manusia kepada mahluk hidup lainnya (alam). 

Bahkan poin ekofemisme juga adalah tentang “penuh perhatian terhadap lingkungan” yang artinya adalah memberikan cinta kasih bukan hanya kepada manusia melainkan kepada lingkungan hal ini dikarenakan perasaan dianggap berperan kepada sesuatu mahluk hidup yang didalamnya termasuk alam (dan se-isinya).

Potret Etika Lingkungan di Provinsi Maluku Utara

Melihat problematika lingkungan hidup yang sedikit menguras pola pikir kita. Realita yang banyak terjadi di desa-desa seperti tercemar air limbah hasil dari perusahaan pertambangan, belum lagi tanah, kondisi udara, serta sanitasi air baik air laut maupun yang yang berada disekitaran tambang dengan kondisi yang cukup kritis.

Menurut data BPS pada tahun 2018 ada sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) kepulauan yang dilaporkan dalam keadaan kritis yang diakibatkan kegiatan eksploitasi tambang di bagian hulu. Di tambah lagi masih ingatkah dengan pengesahan hasil revisi UU Minerba yang secara tidak langsung telah membuka peluang para aktor perusak lingkungan hidup kembali melakukan ekspolitasi besar-besaran. Tentunya, para pembuat kebijakan merupakan hasil produk pendidikan yang sedikit lupa tentang apa dan bagaimana dampak yang akan terjadi kedepannya.

Pemandangan indah, rindang pohon-pohon serta sejuk pulau-pulau hijau khusus pada bagian Halmahera yang pada sangat indah perlahan mulai luntur. Yang ada hanyalah lumpur yang berwarna kecoklatan yang nampak jelas jika dilihat dari langit (melalui satelit atau dron). 

Daerah yang seharusnya menjadi warisan budaya yang bisa saja didalamnya meliputi tumbuhan langkah, hewan unik lainnya serasa lenyap. Serta yang paling fundamental adalah hilangnya hak masyarakat adat atas ruang lingkup hidupnya yang harusnya dilestarikan tetapi justru sebaliknya.

Dampak dari Ketidakadilan pada Alam

Ketidak seimbangan antara yang manusia dengan non manusia di pengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal adalah tentang minimnya tingkat kesadaran setiap individu (manusia) dalam hal-hal sederhana yang tentunya dampaknya tidak sesederhana itu seperti membuang sampah pada tempatnya tidak membuang sampah dilautan, di sungai, di jalanan, atau boleh juga dengan menanam sampah-sampah organik yang bisa dijadikan sebagai pupuk serta pengurangan dalam menggunakan plastik. 

Sedangkan faktor eksternal adalah lebih mengarah kepada para pembuat kebijakan yang harusnya lebih konsisten terhadap kebijakan-kebijakan dan tentunya menguntungkan bukan hanya kepada manusia tetapi yang non-manusia. Keadilan kepada lingkungan bukan hanya dibuat didalam panjangnya tulisan-tulisan kebijakan melainkan tindakan yang progresif dan tidak pasif juga harus diterapkan. Legally Standing pada lingkungan akan mempengaruhi semua sektor-sektor baik mikro maupun makro.

Secara, inspeksi dalam diibaratkan seperti circle (Lingkaran) yang artinya sebuah siklus lingkaran dengan maksud “yang dilakukan adalah yang berdampak” dan sekarang realitanya seperti demikian. 

Dampak lain yang juga dirasakan adalah ruang tinggal fauna (hewan) baik di darat maupun di laut semakin menyempit tidak heran jika banyak hewan-hewan yang mulai akan masuk ke pemukiman warga, rusaknya ekosistem, dan tentunya kembali lagi merugikan manusia seperti ruang lingkup adat masyarakat yang harusnya dijadikan warisan budaya baik itu budaya lokal maupun nasional. 

Bahkan, perlahan akan membuat lengser para penduduk atau masyarakat yang notabenenya sebagai petani atau nelayan dikarenakan wilayah yang harusnya menjadi tempat mata pencaharian mereka (masyarakat), telah hilang dikarenakan ketidakadilanlah kepada lingkungan yang imbasnya juga tentu kepada manusia.

Meskipun mereka yang saat ini menjadi aktor perusak lingkungan juga merupakan produk dari pendidikan yang mungkin saja ada kaitannya dengan lingkungan hidup, memang telah menjadi fakta ironi bahwa bidang pendidikan, nilai-nilai etika sudah mulai terbaikan dengan kecenderungan bahwa pendidikan akan atau bisa melahirkan manusia-manusia yang cerdas namun, justru sebaliknya. 

Bahkan beberapa teman-teman yang peduli lingkungan bukanlah lahir dari produk pendidikan tetapi, hati nurani mereka yang tergerak melakukan bahwa lingkungan harus mendapatkan keadilan seperti Mama Aleta Baun dari NTT (Nusa Tenggara Timur) yang merupakan pembela lingkungan, Aktivis lingkungan Vhandana Shiva dari india dengan gerakan CHIPKO (memeluk pohon) dan masih banyak lagi para aktivis-aktivis lingkungan yang paham akan bagaimana etika kita terhadap sesuatu yang non-manusia (lingkungan) serta keadilan lingkungan yang harus tetap digaungkan.

Keadilan lingkungan akan jalan jika, sejalan dengan pemikiran masyarakat dan tidak ada tumpang tindih dengan sektor besar seperti sektor ekonomi maupun sektor politik yang menguras habis-habisan warisan budaya lokal yang ada di Maluku Utara. Semua adalah tentang sikap kita sebagai manusia terhadap yang non-manusia yang nanti dampaknya bukan hanya pada satu individu saja melainkan pada se-isi bumi. Dengan dampak yang perlahan-lahan mulai dirasakan.

Apa yang harusnya menjadi pengharapan harus menjadi mimpi yang diwujudkan bukan di angan-angankan. Kepada semuanya untuk selalu mengingat bahwa yang hidup adalah yang mempunyai perasaan, dan yang mempunyai perasaan bukan hanya manusia tetapi yang non-manusia  (alam/lingkungan).

Warisi mata airnya bukan air matanya. Tanam kembang bukan tambang. Hutan pohon bukan hutan beton. Hutan hujan tropis bukan hutan hujan tropis yang semakin menipis. Udara sejuk bukan udara busuk. Air jernih bukan air keruh. Tanah subur bukan tanah berlumpur. Ruang hidup semakin menutup dan etika lingkungan mulai di lupakan.

Nurunnisa Hafel adalah mahasiswa studi pendidikan Diploma III Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Ternate. Tulisan ini merupakan keikutsertaan dia dalam lomba Menulis Esai 2021 yang di gelar LPM Aspirasi dan mendapat juara 3. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama