Menilik Tarian Ladi Denda: Warisan Budaya Topo, Tidore yang Tidak Bias Gender

Gambar. Tangkapan layar Djamilah Hamzah (73 Tahun) yang sedang menarikan tarian Ladi Denda.  Sumber Youtube Nofia Endang (https://youtu.be/uYReJIVijTs)


Nofia Endang Fatmiatun*

Tarian Ladi Denda, di Topo, Tidore Selatan, merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Tarian ini menempatkan perempuan sebagai pemegang peran utamanya.

Awal tahun 2020 lalu saya mengunjungi rumah Djamila Hamzah, warga Topo, Kecamatan Tidore Selatan. Kampung yang terletak tepat di bawah kaki gunung Kie Matubu, nama puncak Tidore ini sangat lekat dengan “bawang merah topo”. Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) di Topo, memang jadi variates lokal. Punya nilai historis juga lekat sekali dengan warga setempat dan jadi simbol ‘kebanggaan’.  

Disisi lain, kampung ini punya satu budaya khas tarian yang menarik, egaliter, punya nilai historis, dan menurut saya berbasis gender. Namanya "Dendang Dilale" atau "Ladi Denda". Ini sebuah tarian yang khas di kelurahan Topo, Tidore Selatan. 

Pada tulisan ini, saya coba ulas sedikit dari panjangnya kisah dari warisan ini. Saya mewawancarai Djamila dan sejumlah pegiat tarian ini. Mendengar cerita mereka dari dekat. 

Tarian ini, ketika menari, butuh minimal empat orang. Dua laki-laki dan dua perempuan. Kostum untuk perempuan cukup Basusu Bulo, pakaian khas perempuan Tidore zaman dahulu, biasa juga dipakai dalam tarian-tarian adat lain, dan pakai lenso kecil sebagai hias mengayun tangan. Sementara lelaki pakai takoa bulo, semacam busana muslim warna putih dan besu, penutup kepala yang terbuat dari kain batik. 

Alat-alat yang dibutuhkan cukup sederhana. Pakai tifa dan rebana. Semua ini dilakoni kaum perempuan. Termasuk, syair-syairnya. 

Tarian ini sudah jarang sekali didendangkan. Usia macam saya kebanyakan tidak lagi terbiasa, bahkan nyaris tidak tahu. Hanya orang-orang yang sudah lansia macam Djamila saja. Umur Djamila sudah 73 tahun. Tapi dia ingat betul bagaimana memeragakan dendang ini dan melantunkan syairnya.  

Djamila menjelaskan, nama tarian Dendang Dilale itu dari syair-syairnya yang dilantunkan sembari diikuti dengan berdendang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bernyanyi untuk bersenang-senang. Seperti kutipan awal tarian ini dinyanyikan:

Haiya dendang e dendang bolo
Bolo e he he he he he he he
E e e dendang ladi dendang

Usai menyanyikan kalimat diatas, dibarengi beberapa pantun sebagai borero atau pesan yang syarat makna hidup. Misalnya dua pantun dibawah ini yang Djamila sebutkan.

Masi Bira Ma Bari Bira (Tanam Padi makan padi)
Bira Ma Rehe Capu Mahi (Di dalam Padi bercampur kulitnya)
Ngona Ua Na Rehe Jira (Kamu sendiri banyak pikiran ; sakit)
Jira Jou Ma Gahi (Sakit itu kamu yang buat)

No Tola Sapi Hale Diahi (Kurban Sapi di atas tanah kudus)
Hate Goliho Mo Piga Suka (Bunga* sedang bermekaran)
Loa- loa badan Ma Birahi (Saat muda senang berfoya- foya)
Tagi Kolohi Ma Nyinga Duka (Saat Kembali, bersusahlah Hati)

Syair dua pantun ini pakai bahasa Tidore ‘zaman dulu’. Arti yang tertera saya terjemahkan sendiri. Kebetulan saya warga Topo juga. 

Sederhana sekali tapi memiliki makna yang dalam. Punya filosofi. Pantun pertama mengingatkan kita bahwa apa yang kita tanam itulah yang kemudian akan dipetik. Misalnya kata “bira” atau berarti padi yang mengibaratkan semakin bertambah ilmu, maka hati harus bersih agar terhindar dari segala penyakit. Pada pantun kedua, ia berpesan kepada kaum muda yang kini sekadar berfoya-foya maka di hari tua bakal menyesal. 

Djamila bilang, setiap pantun selalu memberi pesan moral dan punya filosofi historis tentang kehidupan.Tentu saja ini menarik, karena dalam tarian ini perempuan yang ambil bagian seluruhnya ditengah kultur masyarakat yang patriarkis. 

Tarian Ladi Denda, Menepis Patriarki 

Sejauh yang saya tahu, masyarakat di Tidore hingga kini kulturnya masih cukup patriarkis. Terlebih dalam banyak hal, termasuk ketika tarian. Barangkali ini secara umum terjadi, terutama di Maluku Utara. Tarian Kapita, Salai Jin, Soya-Soya dan seterusnya tentu saja dominannya laki-laki yang mengambil peran. 

Ini tidak terjadi di tarian Ladi Denda. Dalam tarian ini, yang dominan ialah perempuan. Dari memainkan tifa dan rebana. Lelaki berperan sekadar jadi pasangan saat menari, seperti yang saya sebut diatas.

Ladi Denda memang beda dengan tarian khas lain di kepulauan rempah-rempah ini. Ia berbeda dengan tarian macam Lalayon, maupun Dana-dana. Bila kedua tarian yang disebut belakangan menitikberatkan pada jinjitan kaki saat berdendang, Ladi Denda justru pada lekukan tangan. 

Melihat Ladi Denda Dari Generasi ke Generasi; “Madoto Ua”

Tarian Dendang Dilale atau Ladi Denda memang sudah cukup tua. Menurut Muhammad Saiq, mereka mewariskannya sejak awal republik Indonesia berdiri. Rekananya yang sepuh, banyak yang sudah meninggal dunia. M. Saiq sendiri sudah cukup tua. Ia berumur 84 tahun dan mengalami sendiri proses pelatihan tarian ini ketika itu.

Bagi dia, generasi kini, ataupun setelahnya tidak lagi dilatih dengan baik. Atau dalam bahasa Tidore ia sebut “madoto ua”. Bak pedang, tidak lagi terasah. Tetua di Topo ini menuturkan bahwa, untuk mewariskan tarian khas Topo ini, perlu kesadaran dari dalam diri sendiri.

M. Saiq sebut, Tarian Ladi Denda ini sudah eksis bahkan jauh sebelum Jepang menjajah Indonesia. Namun semacam terkungkung. Ia ingat betul ketika masih berusia remaja. Saat penjajah Jepang datangi rumah warga, pintu ditutup rapat, lampu loga-loga (macam lentera) dimatikan. 

Setelah Jepang di bom sekutu, Indonesia merdeka, tarian ini diperkenalkan kembali kepada anak muda. Setiap minggu satu kali menari Ladi Denda. Oleh anak muda, Saiq bilang metodenya “Lahi Jobo” atau undian untuk menentukan rumah siapa yang bakal jadi tempat latihan Ladi Denda.

Kini, selain tarian khas adat lain yang gencar diajarkan, Ladi Denda juga turut jadi tarian yang diajarkan. Namun hanya ibu-ibu rumah tangga yang banyak mengambil bagian. Kalau mau melestarikan tarian Ladi Denda, harus kepada semua lapisan. Baik anak SD, SMP hingga mahasiswa asal. Memasifkan sosialisasi dan melatih mereka. 

Tarian Ladi Denda memang makin tergerus oleh kultur yang dominan sekarang. Setiap kali acara, misalnya pernikahan, yang mendendangkan ini hanya tetua yang tahu dan ingat tarian ini. Lebih miris lagi generasi masa kini, yang disebut milenial-Z tidak tahu apapun tentang Ladi Denda. Namanya saja baru mereka dengar.

Ladi Denda, Dunia Tari yang Tidak Bias Gender

Seperti yang saya sebut bagian diawal, Ladi Denda punya satu ciri khas yang bisa dibilang egaliter dan berbasis gender. Ia mengungkap ‘kesetaraan gender’ dimana perempuan dalam tarian ini berperan cukup penting. Mengambil bagian memukul tifa dan rebana. Melantunkan syair-syair. Kemudian berdendang dengan para lelaki.

Secara tidak langsung, tarian ini bisa mematahkan stereotype (pelabelan) yang menganggap bahwa hanya laki-laki yang harus memainkan alat musik. Alat musik, barangkali yang selama ini kita tahu, untuk memainkannya butuh tenaga dan stamina kuat, dan itu identik dengan laki-laki, dalam Ladi Denda tidak demikian. Ia menunjukan bahwa perempuan juga bisa mengambil bagian ini.

Walau, tidak sepenuhnya meretakkan sistem patriarki yang menindas perempuan, tapi warisan tarian ini cukup mencerminkan kesetaraan dalam hal dunia tari lokal.

Memukul dan memainkan tifa-rebana memang butuh tenaga ekstra. Apalagi waktunya bisa berjam-jam tarian ini. Perempuan-perempuan di Topo, menunjukan bahwa mereka mampu mengembannya. 

Tarian ini membuktikan bahwa memainkan alat music dan punya bakat tentu saja tidak dilihat pada jenis kelamin. Artinya tarian Ladi Denda mengajarkan sebuah prinsip kesetaraan gender.

Banyak hal yang dapat dipetik dan cukup menarik diulas. Namun, keterbatasan data dan waktu, menjadi tantangan tersendiri. 

Saya melihat beberapa hal, terutama soal masih minimnya literature terkait yang meneliti tarian ini. Saya sudah berupaya mencari sumber data, namun minim sekali ditemukan (bila tidak bisa sebut tidak ada sama sekali).

Amin Faroq, Jojau Kesultanan Tidore mengatakan soal tarian Ladi Denda bakal banyak pendapat yang berbeda-beda. Apalagi Tidore punya ragam tarian dan budaya khas. Dia bilang, pihak kesultanan sendiri tidak mampu (atau dipaksa) agar mengarahkan perhatian penuh pada tarian ini. Butuh semua pihak, dari pemerintah daerah dan warga setempat untuk mengetahui warisan budaya mereka.

Semoga saja, tulisan ini jadi sebuah pintu bagi para pegiat budaya, termasuk antropolog dan sejarawan agar meneliti warisan yang arif ini.[]

Nofia Endang Fatmiatun adalah mahasiswa jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun. Tulisan ini merupakan keikutsertaan Nofia dalam Lomba Menulis Esai 2021 yang diadakan oleh LPM Aspirasi dan mendapat juara 2.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama