Pandemi dan Cerita-Cerita Awal Belajar Online

Ilustrasi google


Susi H. Bangsa*

Pelajar dan mahasiswa di pulau-pulau kecil di Halmahera membutuhkan akses internet yang baik dan mudah, agar proses belajar online di masa pandemi bisa lebih menyenangkan tanpa tekanan.

Saat pandemi corona mulai menjalar dan melanda Indonesia awal Maret tahun lalu, saya tengah berada di kampung. Situasinya menegangkan. Saya malah tahu info ini dari seorang teman yang datang dari Ternate. Warga di kampung sudah duluan tahu dua hari sebelumnya.

Kampung saya memang sulit mengakses jaringan internet. Informasi penting hanya bisa diketahui melalui siaran televisi. Bentar-bentar dari mulut ke mulut. 

Saat itu, kebanyakan orang tua panik. Mereka khawatir anaknya yang sekolah atau kuliah di kota bakal tertular. Seolah-olah kota memang jadi sumber masalah dari segala kerakusan, termasuk virus ini.

Mereka sibuk menelpon sana-sini. Meminta anak-anak mereka agar sesegera mungkin pulang ke kampung. 

Seminggu kemudian saya pergi ke Ternate karena harus kuliah. Bapak ibu was-was. Tapi saya meyakinkan mereka bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Situasi ‘kota pendidikan’ di Maluku Utara ini terlihat biasa. Warga jualan di pasar. Orang masih lalu-lalang sana sini. Tukan ojek sibuk mencari penumpang. Angkutan umum melawat kesana-kemari. Bedanya, hampir semua menggunakan masker.

Ini amatan saya yang bisa salah bisa benar. 

Polisi diturunkan ke tempat-tempat ramai menertibkan yang melanggar protokol kesehatan. Tempat ramai kadang tidak dizinkan (beda halnya dengan kampanye politik). Demonstrasi mahasiswa paling rentan dibubarkan. 

Virus bernama familiar COVID-19 (coronavirus disease 19) ini memang melabrak Indonesia melalui dua orang warga Depok, Jawa Barat yang tertular dari Jepang. Warga dibikin panik tapi pemerintah Indonesia malah sibuk mengurus wisata dan mengebut sahkan Undang-Undang Cipta Kerja (yang sekarang sudah sah dan sudah dijalankan).

Awal-awal itu saya tidak habis pikir. Virus masih sedikit tapi orang panik bukan main. Mirisnya, setelah mulai membengkak sampai tak terkendali sekarang, malah tampak biasa saja. 

Pemerintah acuh tak acuh. Menteri Kesehatan Terawan (sebelum diganti) pernah menghilang saat-saat warga butuh penjelasannya. 

Kenyataan bahwa pemerintah melepas tangan ditengah carut-marut kondisi ekonomi warga memang tampak. Pengabaian ini cermin paling buruk pemerintahan Indonesia di tangan Jokowi. 

Melonjak

Sampai kini, 19 April 2021, kasus positif COVID-19 mencapai puncak tertinggi sebanyak 1.609.300 atau 1,6 juta lebih orang terpapar. Bisa dibayangkan, hampir 1/3 warga Indonesia yang harus hidup dalam ketakutan. Dan sebanyak 147.780.699 kasus di dunia berdasarkan data Worldometers dikutip dari tirto.id, per 26 April. Amerika masih terbanyak disusul India.

Ini belum termasuk yang sudah meninggal dunia karena wabah global. 

Bagaimana di daerah saya yang berpulau-pulau ini? Sampai 21 April lalu, di Provinsi Maluku Utara,tercatat ada 4.398 orang positif. Isu lockdown (menutup semua akses masuk) hanya isapan jempol. Mula-mula pembatasan sosial skala besar, sayangnya itu tidak berlangsung lama.

Walau begitu, berita hoax tentang COVID-19 muncul dimana-mana. Stigma menyebar. Ketakutan meluas. Media sosial turut andil memengarui ini. Sampai tidak terpikir, ada kepentingan politik besar yang mengendalikan. Ini kecurigaan saya setelah melihat situasi di Indonesia belakangan ini. Mulai dari pengesahan Omnibus Law, pembubaran dan kriminalisasi terhadap demonstrasi, RUU PKS enggan disahkan, bahkan sampai pada pelemahan komisi anti rasuah alias KPK.

Saya memang merasakan semua dampak itu. Termasuk saat proses belajar mengajar di kampus. Tugas menumpuk. Sampai-sampai hampir bikin saya drop. Belum lagi jarang bertemu kerabat dekat. Sanak saudara, dan lain-lainnya.

Di kampus, hingga kini masih aktif belajar secara online. Walau kadang-kadang masuk ke ruang belajar. Sekolah-sekolah juga ditutup. Unseco, organisasi Perserikatan bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan dan budaya menyebut, ada 39 negara yang menutup sekolah dengan total jumlah pelajar yang terpengaruh mencapai 421.388.462 anak.

Data yang saya kutip dari kompas.com ini juga memaparkan total pelajar yang berpotensi beresiko dari pendidikan pra-sekolah dasar hingga menegah atas sebanyak 577.305.660.  Sementara, jumlah pelajar yang berpotensi berisiko dari pendidikan tinggi sebanyak 86.034.287 orang.

Ini bukan angka sedikit. Kita tengah menghadapi ancaman serius. 

Awal Mula, Sulitnya Belajar Online dari Rumah

Situasi tegang (tidak setegang nonton film drakor). Pemerintah mengumumkan agar tetap dirumah, keluar menggunakan masker, pulang-pergi cuci tangan. Kalau ada gejala tetap proteksi diri. Ini diulang-ulang. Tapi ya begitu, tidak seindah hipnotis buku Garis Waktu karya Fiersa Besari.

Belakangan ini orang-orang mulai curiga kepada pemerintah. Mungkin ketidakbecusan mereka mengurus virus dan mempertanggungjawabkan semua ini.

Saya memang sejak awal sudah mulai menaruh curiga. Virus semematikan ini tapi harus menunggu para dosen rapat dulu untuk memutuskan libur atau tidak. Padahal awal Maret tahun lalu, hampir semua sekolah dan perguruan tinggi bagian pulau Jawa sudah diliburkan dalam sementara waktu sembari mencari alternatifnya.

Saya was-was. Kalau-kalau sampai belajar secara online diterapkan, bakal banyak pelajar dan mahasiswa (termasuk saya) yang sulit mengakses ke internet. Ternyata ini terbukti dikemudian hari. Ada teman cerita dia jarang aktif kuliah online karena tidak punya quota internet. Yang lain harus telat ikut. Tugas jarang dikerjakan. Banyak hal. Baru belakangan diberi quota tiap bulan dari program Kemendikbud.

Saya sendiri mengalami kesulitan saat balik lagi ke kampung, karena disana tidak ada jaringan internet. Agar bisa ikut kuliah online, saya bersama teman yang lain harus ke kampung tetangga yang punya jaringan internet. Jaraknya lumayan. Butuh 30 menit menggunakan kendaraan motor baru bisa sampai. Itu pun harus duduk di pesisir pantai agar jaringannya lebih normal.

Ini ketimpangan yang cukup nyata antar desa dan kota. Kebutuhan akan memperoleh informasi dan kualitas pendidikan yang baik hanya angan-angan bagi pelajar di desa. 

Bisa lihat bagaimana pelajar-pelajar di bagian Kao Barat, Halmahera Utara Maret lalu harus jalan kaki sejauh satu kilo meter untuk melaksanakan ujian sekolah di bawah pohon kelapa. Pelajar Madrasah Aliyah Nurul Yaqin di Supu, Loloda Utara, pun demikian. 

Tentu saja wilayah di pulau-pulau kecil dan daratan Pulau Halmahera lainnya pasti merasakan hal serupa, termasuk di kampung saya bagian Oba Selatan, Tidore Kepulauan.  Mau menyesuaikan perkembangan digital diera modern, tapi tidak ada pemerataan dalam hal ini.

Barangkali pelajar di pusat kota tidak perlu repot soal jaringan internet, tapi seorang teman cerita ada tetangganya yang anaknya menangis dan tidak mau ke sekolah karena tidak punya ponsel untuk ikut belajar. Orang tuanya harus bekerja keras bahkan sampai pinjam uang untuk beli ponsel yang harganya sampai jutaan rupiah. 

Di kampung lain lagi. Sebagian pelajar tidak punya ponsel, jaringan internet tidak ada, dan dituntut sekolah online. Bagaimana ceritanya? Miris sekali.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadim Makarim tahun lalu memang sudah merilis suatu kebijakan soal proses belajar online. Isinya guru tidak boleh mengajar kurikulum yang bikin siswa terbeban. Kebijakan lain, ada tiga opsi kurikulum selama pandemi: sekolah tetap mengacu kurikulum nasional; sekolah memakai kurikulum darurat; dan sekolah menyederhanakan kurikulum secara mandiri. 

Dengan kata lain, selama proses belajar daring, sekolah bisa menerapkan kurikulum adaptif.

Namun demikian, mengutip tirto.id dalam praktiknya, masih ada guru atau sekolah tetap mengejar ketuntasan kurikulum nasional, sehingga dalam kelas daring memberikan tugas terus-menerus kepada siswa.

Perkampungan di bagian timur Indonesia memang identik dengan daerah tertinggal. Tidak saja soal pembangunannya, tapi kualitas pendidikannya. Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyebut sebanyak 84 persen dari sebaran daerah tertinggal berada di timur Indonesia.

Saya kira, kalau program belajar online ini terus dilakukan, pemerintah harusnya jangan sekadar mengapresiasi sekolah yang bisa ujian online atau mahasiswa yang harus duduk di pesisir pantai untuk bisa akses internet.  Itu malah jadi jargon klasik yang justru mencederai hak-hak warga. 

Pelajar dan mahasiswa tentu saja mengalami tekanan secara psikologi. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti, mengatakan, munculnya kondisi itu diduga akibat keegoisan sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum. Banyak siswa merasa terbebani hingga mengalami tekanan secara psikologi, tidak naik kelas, bahkan sampai putus sekolah.

Saya kira pelajar di desa-desa butuh belajar nyaman tanpa tekanan. Mahasiswa juga demikian, butuh belajar yang mudah dan akses internet yang memadai. Semua itu tugas pemerintah untuk memfasilitasinya.

Apakah kita harus menunggu masa pandemi selesai baru merencanakan bagaimana cara agar akses internet di desa terjamin?. Saya kira bila pandemic berakhir, pemerintah mungkin sudah lupa apa hal yang perlu di perbaiki. Apa hal yang harusnya menjadi prioritas. Namun, mungkinkah bisa berakhir bila pemerintah tidak benar-benar serius mengurus pandemi ini?

Belum sempat masalah-masalah ini diselesaikan, sudah sibuk mencari celah untuk janji-janji baru yang akan busuk di telan waktu.[]

Susi H. Bangsa adalah mahasiswa jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun. Tulisan ini merupakan keikutsertaan Susi dalam Lomba Menulis Esai 2021 yang diadakan oleh LPM Aspirasi dan mendapat juara 1.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama