Bencana Ekologi di Maluku Utara Akibat Ekspansi Kapitalisme yang Begitu Masif

Diskusi publik yang di gelar Front Nahdlyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) di Graha IKA PMII Malut. FOTO/Ajun

lpmkultura.com -- Front Nahdlyin untuk Kedaulan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Ternate mendiskusikan "posisi Nahdlatul Ulama (NU) dalam merespon perampasan ruang hidup dan krisis di Maluku Utara", pada Senin (14/9/2020) malam lalu, bertempat di Graha IKA PMII Malut, Jati, Ternate Tengah.

Diskusi ini sebagai respon menjelang Hari Tani Nasional pada 24 September mendatang. Juga sebagai upaya menyikapi situasi nasional dan mempersiapkan konsolidasi gerakan rakyat, mahasiswa, pemuda dan perempuan untuk melawan perampasan ruang hidup yang semakin masif terjadi di bumi Kie Raha ini.

Diskusi dihadiri oleh sejumlah pemantik, diantaranya Nujura Kuto dari Fatayat NU Kota, Iksan Togol Sekertaris PKC PMII Malut, Yahya Mahmud dari pegiat lingkungan dan Upiawan Umar sebagai Kordinator FNKSDA Ternate.

Walau dari kalangan NU Kota tak sempat hadir sebagai pembicara, diskusi tetap berlangsung hingga selesai sekira pukul 01.00 tengah malam. Kami belum tahu, seberapa jauh posisi NU dalam merespon beragam persoalan rakyat terutama soal-soal perampasan ruang hidup yang kerap disuarakan kaum muda nahdlyin ini.

Upiawan, sebagai koodinator cabang Ternate di jejaring lintas aktivis berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU) yang peduli terhadap persoalan-persoalan agraria dan sumberdaya di Indonesia itu, memaparkan panjang lebar perihal ekspolitasi dan kerusakan lingkungan hidup di Maluku Utara dalam diskusi tersebut.

Dia menyebut, perampasan ruang hidup terjadi akibat dari sistem kapitalisme yang menjadikan alam dan manusia sebagai objek eksploitasi tanpa memikirkan masa depan bumi maupun masa depan planet. 

"Kalau di lihat dari krisis iklim maupun krisis planet yang dihadapkan oleh umat manusia saat ini, bahwa kita harus mentransformasikan struktur kehidupan masyarakat sistem ekonomi politiknya harus diubah. Ini merupakan sistem kapitalisme yang tidak merubah masa depan," kata Upi, saapan akrab mahasiswa akhir studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate ini. 

Dia melihat, bencana banjir bandang yang terjadi di Maluku Utara beberapa waktu lalu yang menerjang wilayah Halmahera Tengah terutama di areal perusahaan tambang PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) sebagai cerminan bahwa di wilayah kepulauan ini akan memasuki fase krisis iklim. 


Selain itu, beberapa sumber utama juga menyebutkan bahwa kerusakan air laut telah meningkat akibat dari krisis iklim secara global. Selain krisis perhubungan masyarakat juga di perhadapkan dengan krisis pangan.

"Penyebab dari krisis lingkungan perampasan ruang hidup dan krisis pangan ini merupakan dampak dari kepentingan oligarki dan pemain pemain bisnis nasional yang menanamkan saham di Maluku Utara, juga pebisnis global," terangnya.

Ekspansi industri ekstraktif menurutnya terjadi sejak zaman Soeharto. Lalu semakin dimasifkan di era SBY dan dimasifkan melalui program di masa kepemimpinan Jokowi di dua periodenya.

"Logika yang di bangun adalah mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan kedaulatan masyarakat atas nama tanah, tanpa memikirkan ongkos lingkungan yang semakin rusak, praktek praktek perampasan ruang hidup semakin brutal."

Melihat adanya ratusan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah Sulawesi dan Maluku Utara, terutama yang terkonsentrasi di Maluku Utara sekitar 313 izin pertambangan, Upi curiga kebanyakan produksi nikel sebagai prasyarat pemindahan ibu kota yang baru yang di canangkan pemerintah. 

Menurutnya, nikel itu akan dijadikan bahan dasar mengalihkan tranportasi berbahan bakar bensin menjadi transportasi berbahan bakar tenaga listrik. Salah satu sumber materialnya bersumber dari nikel, dan wilayah Halmahera Tengah dan Pulau Obi, Halmahera Selatan dikonsentrasikan sebagai satu agenda kepentingan modal dan agenda kepentingan negara.


Bagi dia, industri ekstraktif sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Masyarakat tidak akan bisa hidup tanpa tanah dan sumber air. Mereka tidak bakal memenuhi kebutuhan makan dan minum lagi jika sumber itu dirampas. "Ini menyangkut hajat hidup warga negara."

"Sudah seharusnya praktek ekonomi politik yang berbasis industri ekstraktif ini dihilangkan, seluruh tambang-tambang harus di tutup dan reboisasi lingkungan harus di lakukan, struktur politik Indonesia harus ditransformasi, sistem ekonomi politik harus dirombak dan beralih ke sistem yang lebih pro terhadap rakyat," tandasnya.

Sebagai tindak lanjut, akan ada agenda advokasi dan investigasi bersama dengan kawan-kawan gerakan yang berada di Maluku Utara dalam waktu dekat. 

Reporter: Amran Tawary
Editor: Ajun

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama