Sejarah Kelam Indonesia Dalam September Hitam

 

Ilustrasi Istimewa (Recycle from AREA JULID)


Ditulis Oleh: Darman Lasaidi*

LPM Aspirasi -- Bulan September telah jadi saksi dari tragedi-tragedi yang menggoreskan luka mendalam dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Bebagai kalangan kemudian menyebutnya “September Hitam” sebagai akumulasi berbagai peristiwa kelam. Ini menjadi catatan pahit dibalik mimpi kemajuan dan keadilan; menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan memastikan keadilan bagi korban-korban yang terkena dampaknya.

September Hitam mencakup sejumlah peristiwa bersejarah yang menyiratkan pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk.
Banyak kasus pelanggaran kemanusiaan belum mendapatkan penyelesaian yang berkeadilan, dan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan yang menjunjung tinggi martabat korban dalam penanganannya.

Memang ada beberapa kasus sudah sampai tahap peradilan macam kasus Munir, namun sekadar mengungkap aktor di lapangan, tidak menyentuh dalang penggeraknya. 

Hal ini mengundang perhatian dan keprihatinan, serta menunjukkan pemerintah belum berkomitmen lebih jauh dalam upaya menghadapi isu pelanggaran HAM. Pun juga menyiratkan kepada kita jika pelanggaran HAM dapat terus terjadi tanpa konsekuensi yang serius.

Dalam sejarahnya, pada bulan September, di Indonesia terjadi banyak peristiwa pelanggaran HAM.  Kasus apa saja yang terjadi di bulan September dalam sejarah Indonesia?

Pembunuhan Munir Said Thalib (7 September 2004)

Pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis HAM sekaligus pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menjadi pembuka kasus HAM di kalender bulan September. Ia meninggal saat sedang dalam perjalanan menuju Belanda pada 7 September 2004.

Kala itu Munir bermaksud melanjutkan studi Pascasarjana nya di sana. Namun ia tewas sebelum mendarat di Amsterdam. Jenazah Munir sempat diautopsi pemerintah Belanda, sebelum kembali dibawa ke Indonesia dan dimakamkan pada 12 September 2004.

Munir dimakamkan di Kota Batu, Jawa Timur. Dua bulan paska kematian Munir, Institut Forensik Belanda (NFI) mengabarkan jika racun arsenik dalam jumlah dosis yang fatal ditemukan di tubuh sang aktivis HAM. Dari sanalah, mulai muncul kecurigaan Munir meninggal karena diracun di pesawat.

Pada 2004 Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengesahkan Tim Pencari Fakta (TPF) untuk kasus Munir. Sudah 19 tahun berlalu, tetapi konspirasi kasus pembunuhan Munir masih diselimuti misteri. Belum ada titik terang. Negara hanya menghukum pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektual.

Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984)

Tragedi Tanjung Priok bermula dari upaya-upaya penceramah di masjid dan musala di kawasan Tanjung Priok. Mereka kerap mengkritik Orde Baru (Orba) saat memberikan ceramah.

Merek mengkritisi berbagai kebijakan Orba, seperti penerapan asas tunggal Pancasila, pelarangan ceramah tanpa izin, pelarangan mengenakan kerudung bagi siswi SMA, dan sebagainya. Aktivitas itu kemudian memantik perhatian kalangan militer.

Pada 7 September 1984 Seorang anggota Babinsa mendatangi Mushola As-Sa'adah dan meminta untuk mencopot pamflet jadwal pengajian yang berisi tulisan problem Islam masa Orde Baru. Tindakan Babinsa itu melahirkan kemarahan masyarakat yang hadir dalam peristiwa tersebut.

Keesokan harinya, Pada 8 September 1984, Sertu Hermanu, seorang anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mendatangi Mushola As-Sa'adah. Ia meminta pengurus musala menyerahkan pamflet jadwal pengajian yang telah dicopot.

Aksi Hermanu itu jelas mengundang kemarahan masyarakat yang hadir, apalagi ia masuk musala tanpa melepas sepatu. Hermanu juga menyiramkan air got ke dinding Mushola As-Sa'adah serta menginjak-injak Al-Quran. Aksi tersebut langsung menyulut kemarahan masyarakat dan kemudian membakar motor miliknya.

Dua hari setelah kejadian itu, pada 10 September 1984 beberapa jamaah Mushola As-Sa'adah berpapasan dengan salah satu petugas koramil, rekan Sertu Hermanu dan terjadi adu mulut.

Cekcok itu sempat ditengahi oleh dua orang takmir Masjid Baitul Makmur. Mereka sempat merundingkan masalah di sekretariat masjid. Perundingan itu ternyata tidak kunjung membaik karena prajurit ABRI menolak menganggap masalahnya selesai.

Di samping itu, banyak orang telah berkumpul dan mendengar percakapan di dalam sekretariat. Massa kemudian kehilangan kesabaran. Mereka membakar sebuah motor milik seorang marinir. Atas pembakaran tersebut, kedua takmir masjid yang menengahi adu mulut tadi ditangkap bersama dua orang lainnya.

Pada 12 September 1984, sekira 1.500'an orang melakukan aksi demonstrasi. Dalam perjalanan menuju kantor Polsek dan Koramil, tepatnya di Jalan Protokol, massa dikepung kelompok militer dari dua arah, dan disambut tembakan senjata api secara membabi buta. Dalam sekejap, massa berhamburan dan bergeletakan di jalan. Tidak sampai di situ, aparat juga menembakkan bazoka.

Dalam peristiwa itu, sebanyak 24 orang tewas dan 55 korban lainnya luka-luka. Namun menurut investigasi Solidaritas Nasional atas peristiwa Tanjung Priok (Sontak) jumlah korban tewas mencapai 400 orang. Selain itu, 160 orang yang dicurigai berkaitan dengan peristiwa tersebut ditangkap oleh militer tanpa prosedur jelas dan tanpa surat perintah dari atasan.

Peristiwa Tanjung Priok jadi salah satu kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang berhasil dibawa ke proses pengadilan. Pengadilan HAM ad hoc tingkat pertama memutus terdakwa bersalah sebagai pelaku pelanggar HAM, sekaligus memerintahkan negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Namun para terdakwa melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dan berhasil lolos dari jeratan hukum pidana karena diputus bebas oleh pengadilan. Putusan bebas tersebut juga sekaligus menggugurkan kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban.

Penembakan Pendeta Yeremia (19 September 2020)

Pendeta Yeremia merupakan Pimpinan Umat Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) dari Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua. Ia dikenal sebagai sosok vokal dalam mengkritisi keberadaan militer di Hitadipa.

Pada 19 September 2020, istri Pendeta Yeremia menemukan Pendeta Yeremia tertelungkup di kandang babi miliknya dengan luka tembak dan luka tusuk.

Berdasarkan keterangan dan informasi yang diterima KontraS, penembakan terjadi pada hari Sabtu, 19 September di Distrik Hitadipa.

Peristiwa ini diduga bermula dari sangkaan bahwa pendeta atau warga Hitadipa adalah aktor tewasnya salah satu anggota TNI. Sangkaan tersebut mengakibatkan tewasnya satu orang pendeta akibat penembakan oleh TNI. Selain penembakan, diduga ada ancaman pengusiran secara paksa kepada masyarakat Hitadipa.

Reformasi Dikorupsi (24 September 2019)

Aksi reformasi di korupsi identik dengan tagar (#) ReformasiDikorupsi, RakyatBergerak, TuntaskanReformasi dimulai sejak 23 September 2019 di berbagai kota besar di Indonesia seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Ambon, Ternate, Samarinda, Banda Aceh, Palu dan Jakarta.

Aksi tersebut menuntut pembatalan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah.

Aksi-aksi itu berakhir dengan aksi brutal dan represif dari aparat dengan menembakkan gas air mata, meriam air, bahkan peluru karet. Menurut laporan kompas.com Di Jakarta sendiri ditemukan selongsong-selongsong gas air mata kadaluarsa. Tak hanya itu, para demonstran diburu hingga ke dalam rumah makan, stasiun, dan rumah ibadah.

Aksi nasional dengan 7 Desakan yang mempersatukan berbagai macam elemen mulai dari mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan pelajar dilawan dengan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan.

Dampak dari kebrutalan tersebut, 5 orang masa aksi meninggal dunia, diantaranya Immawan Randi dan Yusuf Kardawi (mahasiswa Universitas Halu Oleo) pemuda asal Tanah Abang, Maulana Suryadi, serta dua pelajar, Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra.

Tragedi Semanggi II (24-28 September 1999)

Kasus Semanggi II terjadi pada tanggal 24-28 September 1999. Kala itu, marak aksi-aksi mahasiswa menentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan cabut dwi fungsi ABRI.

Peristiwa ini, tercatat muncul di beberapa daerah seperti Lampung, Medan dan beberapa kota lainnya. Demonstrasi-demonstrasi direpresi ABRI. Sejumlah massa jadi korban, seperti Yap Yun Hap (FT UI), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M Nuh Ichsan, Salim Jumadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal (UNILA), Saidatul Fitria dan Meyer Ardiansyah (IBA Palembang). Tim Relawan Kemanusiaan mencatat 11 orang meninggal dan 217 orang alami luka-luka dalam peristiwa tersebut.

Berbagai rintangan dihadapi keluarga korban dalam mendapatkan keadilan. Salah satunya pernyataan Pansus (Panitia Khusus) DPR RI yang menyebut kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat dalam sidang DPR RI tahun 2001.

Rekomendasi itu  jelas mengesampingkan proses hukum Komnas HAM yang menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat. Alih-alih mengalami kejelasan perkembangan kasus, tercatat Jaksa Agung pernah mengemukakan jika Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM Berat.

Wafatnya Salim Kancil (29 September 2015)

Salim Kancil tumbang dihadapan tambang. Petani sekaligus aktivis lingkungan ini dibunuh. Sebelum pembunuhan, Salim sempat dianiaya oleh sekelompok preman karena menolak penambangan pasir ilegal di Lumajang, Jawa Timur.

Kelompok preman yang membunuh Salim Kancil diketahui sebagai orang suruhan dari Kepala Desa Selok Awar-Awar yang divonis 20 tahun penjara. Pelaku lapangan telah diadili, tetapi pelaku pidana pencucian uang dan pihak-pihak penerima manfaat, para pejabat, broker, dan pembeli pasir ilegal sama sekali tidak diangkat di persidangan.

Gerakan 30 September dan Tragedi 1965-1966 

Peristiwa 1965-1966 bermula dari sekelompok perwira menengah yang menamai diri Gerakan 30 September menculik enam perwira tinggi TNI: Jenderal Ahmad Yani, Letjen S. Parman, Letjen Haryono, Letjen Suprapto, Mayjen Pandjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Satu perwira lagi, Pierre Tendean, diciduk lantaran disangka Jenderal AH Nasution oleh tim eksekutor.

Dalam laman Tirto.id penculikan itu karena diduga akan ada kudeta terhadap rezim Sukarno. Kudeta ini disebut-sebut akan didukung Badan Intelijen Amerika (CIA) yang tak senang menyaksikan kedekatan Sukarno dan PKI. Setelah aksi penculikan dan pembunuhan, TNI mengumumkan PKI telah melakukan percobaan kudeta serta menciptakan pemberontakan berskala nasional. Selang beberapa hari setelahnya, TNI kembali menyebarkan kabar bahwa PKI dan para simpatisannya akan membantai umat Islam.

Propaganda itu telah memantik kemarahan masyarakat terhadap kelompok ‘ateis’ dan komunis memuncak. Lalu melebar ke dalam aksi-aksi kekerasan yang berujung pada berbagai kasus pembunuhan di beberapa daerah.

Diperkirakan lebih dari satu juta orang menjadi korban pembantaian, penahanan, pemerkosaan, penghilangan paksa, dan pembuangan. Meski Kejaksaan Agung didesak menindaklanjuti laporan Komnas HAM tahun 2012 tentang temuan bukti kejahatan, sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang signifikan.

Luka dan duka menghinggapi bulan September. September Hitam harusnya jadi momentum kita semua agar selalu bersuara. Momen ini juga dapat digunakan untuk mengingatkan negara atas kesalahan masa lalu dan bertanggung jawab terhadap mereka yang membutuhkan kepastian dan keadilan.

Penyelesaian kasus pelanggaran atas hak asasi manusia yang belum menemukan titik terang membuat kita sadar, sangat minim komitmen negara. September masih sangat hitam. Hal ini akan terus disuarakan. Sebab tragedi kemanusiaan tidak boleh dilupakan.

Dalam September Hitam, kita membutuhkan cahaya penerangan. Hal itu untuk  melindungi mereka yang takut dan trauma akan kegelapan.[]


Penulis merupakan Pimpinan Redaksi LPM Aspirasi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama