May Day Berbuah Represif dan Penangkapan Terhadap Buruh PT. IWIP

Aksi buruh PT. IWIP pada 1 Mei 2020 (Foto/FPBH)

LPMKULTURA.COM – Gelombang aksi massa ribuan buruh PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT. IWIP) yang menuntut kesejahteraan dan perbaikan kondisi kerja di tengah pandemi Covid-19, pada 1 Mei 2020 lalu, bersamaan dengan peringatan solidaritas Hari Buruh Internasional berakhir dengan represifitas dan penangkapan.


Saat ini, sudah 11 orang buruh yang ditangkap dan diamankan ke Polda Maluku Utara dengan tuduhan melakukan ‘penjarahan’ dan provokasi saat aksi Mayday sehingga terjadi ricuh dan beberapa fasilitas perusahaan tambang itu rusak. Sebelumnya, 8 orang buruh lebih dulu dibawa ke Polda Malut, satu hari setelah aksi, dan disusul 3 orang pada Selasa (4/5/2020) kemarin.

Sejumlah media bahkan memplintir aksi tersebut dengan headline ‘buruh bakar pabrik’, yang justru keterangannya hanya diambil dari pihak kepolisian tanpa verifikasi lebih lanjut dengan buruh. Belakangan, keterangan dari Forum Perjuangan Buruh Halteng (FPBH) bahwa yang dibakar massa aksi adalah kantin bekas (warung makan) tak berpenghuni.

Menurut salah satu kordinator FPBH, FU (inisial) aksi yang berujung ricuh tersebut diakibatkan karena akumulasi kekecewaan buruh terhadap managemen perusahaan yang enggan menemui massa buruh untuk berdialog secara terbuka terkait berbagai persoalan yang terjadi di dalam pabrik. Salah satu poin yang buat buruh resah juga karena kebijakan sewenang-wenang perusahaan terkait upah buruh yang turun 60% dari Upah Minimum Provinsi (UMP).

Penurunan upah tersebut terkait dengan sistem jeda yang diberlakukan perusahaan di masa wabah global. Dalam system jeda yang tertuang di memo perusahaan, menyebut, buruh yang cuti, apabila masuk kembali, upahnya tidak dibayar.  

“Termasuk yang izin sakit, izin resmi, izin menikah atau izin keluarga meninggal bahkan izin pokok, masuk itu tidak dibayar. Itu berdasarkan memo dari perusahaan,” ujarnya saat dihubungi lpmkultura, Rabu (6/5/2020).

Mogok Dalam Selimut Elit Serikat SPSI

Pasalnya, kata dia, masalah mengenai upah buruh yang turun 60% dari UMP tersebut tengah diperjuangkan oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT. IWIP hingga melakukan bipartit sebanyak tiga kali, namun perindungan tersebut berakhir tidak ada jalan keluar atau gagal alias deadlock.  SPSI lantas melayangkan surat pemogokan, minimal 7 hari menuju pemogokan. Berdasarkan Pasal 137 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”.

Namun, sialnya, mogok yang sudah dinantikan kaum buruh tersebut ternyata ‘dimanfaatkan’ segelintir elit serikat SPSI dan melakukan negosiasi dari belakang dengan pengusaha PT. IWIP. Walhasil, upah buruh dipangkas dari 100% UMP menjadi 60% tanpa diketahui buruh secara keseluruhan.

“Jadi buruh hanya tahu akan ada pemogokan, ternyata tidak jadi.”

Sebagian buruh yang memahami persoalan upah yang dipangkas pengusaha itu menilai, upah 60% tersebut paling rendah dan jauh dari kesejahteraan. “Patokan buruh kan disitu. Jadi wajar buruh marah, apalagi ditengah pandemi,” katanya lagi.

Akumulasi Kekecewaan Buruh

Selain persoalan upah, buruh juga kerap diintimidasi. Husen Mahmud, salah satunya korban yang baru beberapa waktu lalu kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena mengekspresikan keresahan kawan-kawannya disebuah unggahan video yang dia upload di media sosialnya. Unggahan itu dia ceritakan bagaiamana kondisi pabrik yang memperlakukan pekerja sewenang-wenang dan meminta kepada bupati dan gubernur untuk menggunakan kekuasaan mereka melindungi buruh yang posisinya lemah.

Ini berkaitan dengan aksi yang sebelumnya digelar pada 4 April 2020 dengan tuntutan yang sama. Permintaan buruh adalah perusahaan meliburkan buruh dan meminta hak-hak mereka terpenuhi selama pandemi. Namun, perusahaan industry ekstraktif tersebut tetap beraktifitas seperti biasa. Bekerja normal dengan kondisi kerja yang tidak memungkinan.

Bagi sebagian buruh, pengusaha harusnya mengikuti imbauan pemerintah dan protocol kesehatan untuk memutus mata rantai wabah: tidak berkerumunan dan jaga jarak. Di pabrik tersebut, yang terjadi sebaliknya.

“Ini kemudian menjadi akumulasi keresahan buruh di tanggal 1 Mei tepat hari buruh sedunia.” Apalagi, tambahnya, buruh meminta berbicara dengan managemen HRD perusahaan, Rosalina Sangadji, namun  tidak hadir, meminta polisi memanggil lagi, namun tetap nihil ditambah ada provokasi dari pihak sekuriti yang melempar batu lebih dulu.

“Jadi massa yang sudah resah dan jenuh, kemudian melihat salah satu warung bekas warga yang sudah tidak terpakai kemudian dibakar, dan warung itu posisinya di samping men Get, dekat  pintu gerbang masuk perusahaan,” pungkas salah seorang buruh yang enggan namanya dipublis.

Kata dia, tidak ada buruh yang lakukan provokasi. Tuduhan penjaharan pun keliru, harusnya dilihat sebagai kekecewaan buruh terhadap perusahaan, bukan hanya satu masalah saja.

Kecaman Terhadap Kriminalisasi

Puluhan lembaga/organisasi dan individu yang mengatasnamakan Jaringan Solidaritas Rakyat Bergerak mengecam tindakan kriminalisasi terhadap buruh yang melakukan aksi tepat pada 1 Mei lalu.

“Tindakan yang dilakukan buruh disebabkan karena sudah sangat lama PT. IWIP merampas hak-hak buruh dan tidak punya itikad baik dalam memenuhi tuntutan buruh, padahal sudah beberapa kali buruh protes atas kebijakan PT. IWIP, ditambah pihak PT. IWIP tidak mau menempuh jalur dialog bersama buruh yang dirugikan,” sebut dalam keterangan pers yang diterima redaksi lpmkultura.com, Rabu (6/5/2020)


Jaringan Solidaritas Rakyat ini menyoroti beberapa hal, pertama mengecam provokasi yang dilakukan security saat berlangsungnya aksi, kedua mengecam pemberitaan media terkait ‘buruh bakar pabrik’  yang justru menggiring opini publik dan memperkuat kriminalisasi terhadap massa aksi buruh. Ketiga, mengecam pembelokan narasi organisasi mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ternate yang bertentangan dengan tuntutan Forum Perjuangan Buruh Halteng (FPBH) yakni, ‘stop diskriminasi terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA). HMI Cabang Ternate dalam salah satu poster justru dengan tagar usir 46 Tenaga Kerja Asing (TKA). Dan keempat, mengecam “massa titipan” yang ‘mengcounter’ aksi FPBH. Saat berjalannya aksi, ada sekelompok buruh yang diduga bukan massa aksi FPBH membentangkan spanduk tertulis "pekerja tambang Weda mendukung sepenuhnya kehadiran PT. IWIP di wilayah Kab. Halteng tetap beroperasi".

“Tindakan ini adalah mobilisasi yang dilakukan oleh SPSI (serikat buruh yang sudah lama berada dalam PT. IWIP), karena di hari yang sama, SPSI melaksanakan kegiatan memperingati Hari Buruh Internasional dengan berdoa bersama,” kata Jaringan Solidaritas Rakyat itu.

Jaringan Solidaritas Rakyat juga mendesak kepada Polda Maluku Utara agar buruh yang ditangkap untuk segera dibebaskan dan meminta agar tuntutan FPBH terpenuhi, salah satunya PT. IWIP harus melakukan Lockdown perusahaan selama masa pandemik COVID-19, serta bayar upah pokok 100%.

PT. IWIP Biang Kerusakan dan Penjarahan Terhadap Alam

FPBH menilai, kriminalisasi terhadap buruh dan dikenai pidana karena dituduhkan melakukan ‘penjarahan’ justru tidak seberapa dengan perampasan dan penjarahan kekayaan alam dan perusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan pertambangan tersebut.

“Yang dilakukan oleh PT. IWIP justru lebih parah, lebih merugikan rakyat secara keseluruhan, dibadingkan apa yang dilakukan oleh buruh,” ujar salah seorang kordinator FPBH melalui sambungan telepon

Mereka meminta agar pihak kepolisian menimbang dengan secara hukum bahwa yang harus disalahkan dalam hal kriminalisasi harusnya perusahaan, bukan kepada buruh yang dalam kondisi lemah, dan turut terkena dampak.

Reporter: Ajun

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama