Sikap Bersama: Kecaman untuk Maryo, Ali, dan Rifki

Ilustrasi: money.id

LPMKULTURA.COM - Di tengah gerakan melawan kekerasan seksual serta perjuangan memberikan perlindungan bagi korban dan penyintas kekerasan seksual, tiga oknum aktivis mahasiswa, masing-masing Maryo Batali, Ali Basalim Taufi dan Rifki R. Kasabit justru menjadi benalu dalam perjuangan tersebut.

Alih-alih memberikan empati dan solidaritas untuk perjuangan korban dan penyintas kekerasan seksual, ketiga pemuda ini justru merendahkan perjuangan melawan kekerasan seksual dan melakukan pelecehan seksual secara verbal.

Berawal dari Maryo yang mengunggah foto dengan memperlihatkan suasana ia dan beberapa kawannya tengah berdiskusi, foto tersebut diunggah dengan keterangan (caption):

“Lebih baik terjerat dalam kasus pemerkosaan dari pada memecahkan NKRI..,
Demokrasi tak pernah gagal.”

Unggahan ini mendapatkan banyak kritikan dari sejumlah aktivis dan penyintas kekerasan seksual. Alih-alih meminta maaf, Maryo justru menanggapi kritikan-kritikan tersebut sebagai hal yang ‘dungu’ dan ‘sok tahu’.

Maryo lalu mengajak beberapa akvitis Women’s March Ternate (WMT) untuk bertemu dalam sebuah forum yang ia dan kawan-kawannya sebut sebagai Forum Klarifikasi. Sebelum forum klarifikasi dimulai, salah satu kawannya telah melakukan kekerasan terhadap seorang mahasiswa yang membagikan status berisi kritikan oleh koordinator Women’s March Ternate di Facebook.

Forum ini menghadirkan banyak kawan-kawan Maryo yang tidak diduga oleh  aktivis WMT yang datang. Bukannya penjelasan dan permohonan maaf, Maryo, Ali, dan Rifki justru melakukan pelecehan verbal terhadap beberapa aktivis WMT yang hadir dalam forum tersebut. Forum menjadi tidak demokratis dan berakhir dengan tidak adanya solusi.

Maryo berjanji menghapus postingan tersebut, tapi tanpa penyesalan ataupun permintaan maaf kepada korban dan penyintas kekerasan seksual.

Ali  Basalim Taufi dalam forum tersebut semakin menguatkan cara pandang rape culture yang mereka yakini. Ia dengan penuh kepercayaan diri dan tanpa rasa bersalah menyampaikan bahwa “perkosaan adalah kebutuhan”.

Rifki R Kasibit dalam forum itu menuding RJ (aktivis WMT) sebagai orang yang suka menonton film porno yang diikuti oleh gelak tawa forum misoginis tersebut. Rifki juga menyebut YP dan EAH yang tidak hadir dalam forum itu ‘sok suci’.

Tidak sampai di situ, Rifki juga meminta RJ untuk menghapus postingannya yang mengkritisi unggahan Maryo. Dia merasa tersinggung karena dalam postingan terdapat gambar dirinya. Unggahan RJ tersebut merupakan hasil screenshoot dari postingan Maryo yang oleh RJ ditambahi keterangan beserta tagar “#AWASSENIORSANGE #AWASAKTIVISCABUL”. Bukannya meminta pertanggungjawaban Maryo sebagai pengunggah foto tersebut, Rifki justru membandingkan unggahan RJ dengan memberi contoh:  “misalnya, saya posting ngana (kamu) pe foto dan tulis penggemar seks, pasti ngana juga rasa tersinggung”.

.

gambar: lpmmantra.com


Apa yang diklaim Rifki sebagai contoh, justru merupakan bentuk ancaman sekaligus pelecehan seksual terhadap RJ. Sebab postingan RJ yang mencantumkan tagar di atas dengan maksud sebagai pengelompokkan isu melawan oknum pelaku kekerasan seksual yang belakangan ini sering dikampanyekan oleh berbagai media dan gerakan feminis se-Indonesia.

Melihat gagalnya forum klarifikasi dan tidak ada niat baik dari Maryo dkk, atas sikap merendahkan perjuangan untuk memberikan perlindungan bagi korban dan penyintas kekerasan seksual, maka WMT pada tanggal 05 Desember 2019 mengeluarkan Pernyataan Sikap yang diunggah di lpmmantra.com dengan judul: Viral Unggahan Sepelekan Kasus Perkosaan, Women's March Ternate Buat Pernyataan Sikap

Sikap tersebut kemudian direspons oleh Maryo dan Rifki dengan klarifikasi: Dianggap Keliru, Pernyataan Sikap Women's March Ternate Diklarifikasi

Dalam berita tersebut, klarifikasi oleh Maryo dan Rifki justru menguatkan apa yang menjadi kritikan WMT.
”Saya pe maksud soal ‘sok suci’ itu mengarah pada pengertian tentang jangan menganggap diri suci dalam memperjuangkan kasus-kasus (seksual), bukan bilang pe dorang (mereka),” ujar Rifki kepada lpmmantra.com melalui telpon, Jumat (6/12/2019).

Pernyataan ini mengandung ambiguitas. Di satu sisi, Rifki bermaksud mengklarifikasi kalimat ‘sok suci’ yang ditujukannya kepada YP dan EAH bukan sebagai maksud melecehkan, melainkan dalam konteks perjuangan melawan kekerasan seksual. Namun di sisi lain, Rifki mengklaim bahwa pernyataan itu tidak ditujukan pada mereka, lantas pernyataan itu ditujukan kepada siapa? Sementara dalam forum tersebut, Rifky dengan jelas menyebut nama YP dan EAH.

Kami mencoba memahami pernyataan Rifki bahwa ‘sok suci’ yang dimaksud bukan dalam konteks tidak lagi ‘perawan’, walaupun kami sendiri tidak pernah mengartikan kalimat tersebut demikian.

Selain karena keperawanan (hymen) adalah mitos kesucian bagi perempuan, kami juga paham yang dimaksud Rifki adalah ‘sok suci’ dalam berjuang melawan kekerasan seksual, sebab dalam forum klarifikasi, Rifki bertindak sebagai auditor yang berusaha mengevaluasi kerja-kerja pendampingan kasus kekerasan seksual yang telah dilakukan oleh WMT. Rifki mendesak RJ untuk menyebutkan pendampingan kasus kekerasan seksual oleh WMT yang telah diselesaikan.

Kami menolak memberikan laporan hasil kerja perjuangan kami dalam mengadvokasi kasus-kasus kekerasan seksual selama ini kepada Rifki dkk dalam forum tersebut. Karena kami tidak punya kewajiban melakukan itu dan bukan hak mereka untuk mengevaluasi ataupun memberikan penghakiman terhadap kinerja kami selama ini.

Rifki merasa berhak mengadili kami ‘sok suci’ karena keterbatasan pengetahuannya seputar kerja WMT dalam mengadvokasi kasus kekerasan seksual. Rifki merasa berhak manghakimi kami ‘sok suci’ karena kami memilih melawan mereka yang melakukan rape culture dalam gerakan aktivisme, sementara kasus-kasus lain yang dia ketahui (dan tidak terlaporkan pada kami) tidak teradvokasi.

Sementara itu, Maryo mengklarifikasi pernyataannya sebagai berikut :

“Saya bermaksud menganalogikan kekerasan pemerkosaan, karena saya anggap dari banyak kasus, pemerkosaanlah yang paling berat, selain itu, karena mencintai NKRI, jadi saya bilang ‘lebih baik terjerat kasus pemerkosaan dari pada memecahkan NKRI,” ungkap Maryo meluruskan pernyataannya.

Pernyataan yang diklaim sebagai klarifikasi ini justru tidak mengklarifikasi apapun, selain menegaskan kembali status Facebooknya yang menganggap pemerkosaan lebih baik daripada disintegrasi negara. Karena perkosaan merupakan kejahatan berat, maka tidak layak dianggap lebih baik dari disintegrasi negara. Mencintai NKRI tidak berarti lebih baik memperkosa atau diperkosa. Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak patut diperbandingkan dengan konsepsi ideologi nasionalisme.

Sekali lagi, narasi-narasi rape culture semacam ini telah menegasikan pengalaman dan traumatik psikologi korban perkosaan perkosaan yang harus dibawanya hingga mati. Ideologi nasionalisme Maryo tidak mampu menalarkan pengalaman korban kekerasan seksual.

Ia juga menambahkan agar unggahan tersebut tidak diasumsikan secara “negatif”.

“Saya mengharapkan kepada teman-teman perempuan agar tidak menilai bahasa tersebut secara multitafsir, karena saya tidak bermaksud menyinggung kekerasan pemerkosaan secara praktiknya, melainkan perbandingan hukumnya,” tutupnya.

Sekali lagi, unggahan tersebut tidak menimbulkan multitafsir sebagaimana yang diasumsikan oleh Maryo. Kami paham itu hanya teks, tapi teks itu lahir dari pemikiran, yang artinya pemikiran Maryo itu telah menjustifikasi eksistensi rape culture.

Secara terminologi, yang dimaksud dengan perbandingan hukum adalah studi prinsip hukum dengan metode perbandingan sistem hukum, bukan perbandingan kasus. Kami memaklumi perbandingan hukum yang dimaksud Maryo adalah perbandingan kasus. Setiap kejahatan tidak bisa dianggap lebih baik dari kejahatan lain. Perkosaan tidak pernah lebih baik dari memecah-belah NKRI hanya karena Anda mencintai NKRI lebih dari apapun.

Baik Maryo maupun Rifki kemudian masih tidak memahami bahwa apa yang telah dituturkannya di awal, atau dalam forum klarifikasi hingga di media, masih tetap sama, tidak menghormati dan berempati pada perjuangan melawan kekerasan seksual. Padahal, sepanjang 2019 korban kekerasan seksual terus berjatuhan di Maluku Utara. Tercatat oleh WMT, sejak Agustus hingga pertengahan Oktober saja, terdapat 21 kasus kekerasan seksual.

Mereka tidak bisa memahami bahwa para korban mengalami trauma seumur hidup, yang tidak bisa disepelekan dengan narasi perbandingan kasuistik semacam itu.

Sebagian korban harus kehilangan hak-hak politiknya sebagai warga NKRI yang Maryo cintai ini akibat victim blaming setelah menjadi korban perkosaan. Bahkan KK (17) harus meregang nyawa setelah diperkosa oleh Ronal.

Mendaku diri sebagai aktivis mahasiswa, bahkan menduduki posisi strategis dalam organisasi, tapi masih berusaha merasionalisasi rape culture serta tidak menghormati perjuangan para korban dan penyintas kekerasan seksual adalah sebuah kemunduran. Jika tidak dikritik dan didiamkan, maka budaya perkosaan ini akan semakin beregenerasi dalam gerakan mahasiswa.

Kami sadar bahwa perjuangan melawan kekerasan seksual di tengah kultur dominan yang masih melestarikan rape culture sebagai normalitas dari ekspresi kejantanan, adalah sesuatu yang hampir sangat mustahil. Namun demikian, kami terus berupaya melakukan kampanye melawan kekerasan seksual guna menghancurkan paradigma rape culture semacam itu serta menggalang solidaritas dari teman-teman perempuan dan laki-laki yang masih menggunakan empatinya dalam membangun gerakan pro demokrasi di Indonesia.

Untuk itu, kami (lembaga dan individu) di bawah ini :

1. Women’s March Ternate
2. Women’s March Jakarta
3. Women’s March Aceh
4. Women’s March Blitar
5. API KARTINI
6. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta
7. Perkawanan Perempuan Menulis
8. FAJARU Maluku Utara
9. Linda Christanty (Jakarta)
10. Marsinah Dhede (Ternate)
11. Fen Budiman (Jakarta)
12. Reinka Elena Aqilla (Jakarta)
13. Hasmarani Nento (Ternate)
14. Masfa Malan (Ternate)
15. Nurdewa Safar (Ternate)
16. Maharani Caroline (Ternate)
17. M. Rifaldi Fara (Ternate)
18. M. Zul Reza Muntaha (Sofifi)
19. Nofi Hayatuddin (Tidore)
20. Nirmala Fatati (Ternate)
21. Suryanti Taha (Ternate)
22. Sansuri Djamal (Ternate)
23. Fadel Muhamad (Ternate)
24. Suryadi Sahabu (Ternate)
25. Aisya (Tidore)
26. LPM Kultura (Ternate)
27. Serikandi Ternate
28. Srikandi Makassar
29. P2TP2A Provinsi Maluku Utara
30. Women's March Yogyakarta
31. Women's March Serang
32. KAPAK - FMK Palu
33. Perempuan Normarae - FMK Palu
34. Cakrawala Mahasiswa Yogyakarta
35. Kelompok Belajar Anak Muda Samarinda (Kaltim)
36. Yulhia Pihang (Ternate)
37. Forum Anak Marimoi (Formama) Halbar
38. Rasna Jubair (Ternate)
39. Musrin Salahudin (Ternate)
40. Fisnawati Duwila (Ternate)
41. Erni Abdul Haji (Ternate)
42. Meilani Saesyarina (Ternate)
43. Astuti N. Kilwouw (Ternate)
44. Thaty Balasteng (Ternate)
45. LSM Daurmala
46. Komunitas Nyinga Laha
47. Alerta Kota Ternate
48. Komunitas Pendidikan dan Gender (KPG) Ternate
49. M. Afandi (Ternate)
50. Widia Hasdin (Ternate)
51. Gamaria Mansur (Ternate)
52. Sherly Bantu, SH (Sula)
53. Lita Mamonto (Ternate)
54. Pradewi Tri Chatami (Jakarta, editor Marjin Kiri)
55. Rara Laki (Palu, Fellowship Researcher Sajogyo Institute)
56. Front Mahasiswa Kerakyatan (FMK) Makassar
57. Risna Hasanudin (Komunitas Rumah Noken)
58. Marni Sulastri, SH (Kabar Bumi Sumbawa Barat)
59. Lisa Mulyani Kilwow, SH (Ternate)
60. Susana Corry Rotinsulu (Halmahera Timur)
61. Agustien Yustina (Perempuan Tatto Indonesia - Yogyakarta)
62. Mega Rianita (Kolektif Warrior/Arumdalu House)
63.


Menyatakan sikap :

1. Mengecam kekerasan verbal yang dilakukan oleh Maryo Batali terhadap semua korban dan penyintas kekerasan seksual di akun Facebooknya;
2. Mengecam kekerasan verbal yang dilakukan oleh Ali Basalim Taufi terhadap semua korban dan penyintas kekerasan seksual di dalam forum klarifikasi;
3. Mengecam pelecehan verbal yang dilakukan Rifki R. Kasibit terhadap RJ, YP, dan EAH di dalam forum klarifikasi.
4. Mengecam tindak kekerasan yang dilakukan terhadap salah seorang mahasiswa sesaat sebelum forum klarifikasi dimulai.
5. Mengecam segala tindakan represi dan intimidasi yang dilakukan oleh Maryo Batali bersama segerombolan teman-temannya terhadap teman-teman perempuan dan laki-laki yang hadir dalam forum klarifikasi;
6. Mendesak para pelaku untuk meminta maaf secara terbuka di media sosial dan secara langsung di dalam sebuah forum yang demokratis;
7. Mendesak organisasi dan lembaga pendidikan yang menaungi para pelaku untuk memberikan sanksi agar menjadi efek jera bagi perilaku rape culture.

Perkosaan bukanlah bahan lelucon. Mari berikan empati dan solidaritas untuk korban kekerasan seksual. Jangan berikan ruang bagi hidupnya kultur perkosaan di mana pun.
Salam Setara!

(Siaran pers ini merupakan pernyataan sikap yang diterima redaksi, pihak pengirim saat ini sedang mencari dukungan untuk menyelesaikan kasus 'pelecehan seksual' secara verbal. Kiriman ini juga sewaktu-waktu akan diperbahrui bila ada lembaga atau individu yang mau mencantumkan namanya kedalam form dukungan ini)

1 Komentar

  1. Sherly bantu,SH kab.pulau taliabu.
    Mengecam keras terhadap kejahatan dan kekerasan sexual dalam bentuk apapun.dan tak ada dalil apapun yang harus di benarkan tentang perkosaan.semua pelaku harus bertanggung jawab atas apa yg telah di lakukan.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama