Pesta di Kota dan Tangis Dalia di Hutan

Sumber gambar: Twitter Adlun Fiqri


Dalia yang Ketakutan

Kita sedang membayangkan, siang dan malam, panas dan hujan, anak itu akan berlari ketakutan entah ke mana. Saat orang-orang di kotanya sedang ‘mabuk’ dangdut, melepaskan kebahagiaan mereka ke langit, sedang juga menyaksikan pantat para artis, dan meniup terompet peringatan kebahagiaan (pesta), mungkin telapak kaki sang mata mungil itu sedang disayat batu tajam dan hampir diterkam binatang buas. Ketakutan itu tentu datang dari penjahat lingkungan yang mengeruk habis tanah dan hutan orang Tobelo Dalam, Ake Jira, rumah Dalia melerai masa-masa gembiranya.

Kita juga sedang membayangkan, di tengah perayaan pesta yang sangat megah itu, mungkin juga perlu kita tanyakan, berapa kali anak usia gembira ini sudah meniup lilin kecil ulang tahunnya, atau memang tradisi semacam itu belum pernah ia nikmati selama ini. Kita harus peduli. Kita sedang membayangkan, dalam tidurnya yang mesti lelap, pisau traktor raksasa bernama buldoser sewaktu-waktu datang menggores dinding rumah dan memusnahkan tempat tinggalnya. Begitulah kehidupan Dalia, bersama keluargnya, yang sekarang terusir di tanahnya sendiri, di hutan Halmahera.

Aulia D’ Academi, Fanny Fabiola, Doddy Latuharhary dan Yoppy Latul adalah sederet nama-nama artis yang diturunkan untuk menghibur masyarakat Halmahera Tengah (Halteng) di puncak penutupan ulang tahun ke-29 negeri fagogoru ini (lentera.co.id). Perayaan disemaraki dengan ceremony dan perhelatan karnaval kebudayaan yang mendatangkan ribuan pengunjung.

Pemuncak hari lahir ini ditandai dengan dilepaskannya ratusan balon udarah dengan riang gembira, menabur sampah ke langit, canda-tawa dan ketakjuban, baik oleh para stakeholder, maupun masyarakat sipil yang menyaksikan ragam atraksi kebudayaan itu. Di tengah sorakan gembira masyarakat Halteng, bahkan mungkin sorakan pesta se-antero Pulau Halmahera, juga provinsi Maluku Utara pada umumnya, di belantara hutan di dara (arah pedalaman dan tebing), sekitar 30 kilometer dari jarak pantai, Dalia hanya bisa mengenang keindahan tempat tinggalnya yang sudah dikapling Perusahaan.

Pesta di Kota, Rongrong dari Hutan

Sesaat setelah Pandopo Falcilino digerumuti pesta perayaan dan pengunjungnya merasa kelelahan, atraksi penyaksian itu segera dipindahkan ke dimensi media sosial. Ruang di mana ‘Paradigma’ kebudayaan sedang bermain. Gulungan-gulungan cuitan di Facebook melucut pesat pada linimasa orang-orang dengan tagar ‘BarondaHalteng’. Semuanya bernada gembira, ada yang marah pada dirinya sendiri karena tak sempat menyaksikan para artis ‘menggoyang’ suaranya.

Mereka bukan kelabakan, hanya semata ingin mengenalkan. Kita menyaksikan, ratusan pejabat daerah dengan dandanan yang sangat elegan menempatkan diri pada hajat sekali setahun tersebut. Semiotika pesta seolah membalalak mata kita, mulai dari tata rias panggung, arena pandopo, dan kelompok tarian dengan harga seragam dan kosmetik yang mungkin melampaui satu buah asrama mahasiswa.

Menyambangi riuhnya pesta itu, ada metafora yang semoga dapat kita pahami bersama: “Pada sebuah malam penjamuan, meja itu penuh dengan makanan lezat. Sebuah meja yang sarat dengan hiasan. Semua orang menghampiri meja dan mencicipi segala makanan yang tak ada habis-habisnya. Namun di bawa meja, justru terdapat pemandangan menjijikan, kotor dan bauh busuk. Berkeliaranlah tikus-tikus dan kecoak. Tak seorangpun mengetahuinya atau sekadar bertanya, ada apa di balik pesta makanan itu”.

Barangkali, saat pesta ulang tahun disemarakkan, di tengah keramaian itu, memang tak ada seorangpun yang bertanya “Sudah makankah engkau, Dalia?”. Atau dengan kesungguhan naluri seninya, peserta pertunjukan dapat mementaskan teaterikal bertema ‘Pembantaian Besar-besaran Terhadap Orang-orang Ake Jira’. Mungkin harus begitu. “Pecundang!” adalah kalimat bagi mereka yang cuma membiarkan masalah pemusnahan ini berlanjut.

Dalia sedang merongrong pesakitan dari arah hutan. Selain membayangkan tempat bermainnya, Dalia mungkin menengadah ke langit, melihat bintang-bintang, dan berdoa agar Tuhan mengutuk mereka yang memberanguskan kebahagiannya. Sebagaimana anak kecil pada umumnya, ia juga berhak memberontak. Walau harus pada keheningan malam.

Dua fenomena di atas (pesta dan penderitaan) adalah bagian dari akumulasi protes yang disuarakan Aliansi Masyarakat Ake Jira Halmahera (AMARAH) Maluku Utara, sebuah front yang menghimpun sejumlah LSM, organisasi sipil, gerakan, dan intra kampus yang masif menyuarakan kepentingan Dalia dan sanak keluarganya (lpmmantra.com). Gempuran protes pembatalan Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjadi tuntutan utama saat demonstrasi dilangsungkan pada beberapa titik keramaian di Pusat Kota Ternate. Dan lagi-lagi, suara itu tak cukup mengetuk hati Pemerintah kita. Haruskah ada artis yang menyanyikan lagu penderitaan Ake Jira? tentu saja, jika ada, mereka akan mendengarnya.

Ake Jira: Nama Indah yang Dimusnahkan

Dalam kosmologi orang Tobelo Dalam (TD) di Ake Jira, hutan bukan sekadar lahan berburu dan meramu, lebih dari itu, kelompok ini telah mengafirmasikan hutan sebagai ruang hidup yang absolut. Sebagaimana kita, yang mengafirmasikan kota sebagai pusat keramaian. Begitu juga cinta, sebagai patron yang tak bisa dielakkan. Bentang Pulau Halmahera yang panjang melahirkan nama-nama kampung dengan sejarahnya masing-masing. Nama-nama (istilah) kampung dan pesona alamnya, jelas mengetuk hati wisatawan untuk berduyun-duyun mengunjunginya. Itulah mengapa, di usianya yang ke-29, Halteng mengajak semua orang untuk mengunjungi dirinya dengan semboyan: #BarondaHalteng.

Sementara, Ake Jira, mungkin memiliki mitologi yang lebih eksotik untuk didengar. Yang tak kalah menarik, salah seorang anggota kelompok ini memiliki nama yang unik, yakni Ngigoro Dulada, yang dalam bahasa mereka berarti ‘Pinggir kali’. Sinergitas alam dan manusia membaur dalam penamaan yang serumpun. Tapi, kejahatan oligarki setempat justru ingin menguburnya.

Mongabay (19/10/2019) mengabarkan kekhawatiran Dalia dan keluarganya yang harus angkat kaki dari rumah mereka sendiri. Traktor raksasa diperintah untuk membabat hunian mereka. Namun, meski dengan jumlah sedikit, orang-orang TD justru melawannya dengan kepalan tangan. 10 September 2019 lalu, perlawanan coba digalak setelah kelompok tersebut meminta bantuan ke daerah pesisir di Halteng, seperti di desa Dokulamo, Lelilef Kobe, dan masyarakat di Trans Kulo Jaya, SP3, SP2 Wojirana. Miris, ajakan perlawanan itu tak seindah yang mereka bayangkan. Bak monster yang menghadang, aparat keamanan dan sejumlah karyawan perusahaan (PT Weda Bay Nickel) bersikeras memporak-poranda Ake Jira, rumah bermain Dalia.

Sekarang, angin dari Halmahera Tengah memberi kabar, bahwa Dalia dan keluarganya telah pergi meninggalkan tanah leluhur mereka. Dan kita, yang terlalu hidup lama di Kota, hanya bisa membayangkan, betapa langkah kaki bocah itu saat berlari. Dalam sebuah renungan, kita percaya, Dalia akan melontarkan beberapa pertanyaan kepada Ibunya:

“Bu, kita mau ke mana?”

“Bu, mengapa orang-orang itu menggusur rumah kita?”

“Bu, apa kabar ayah di sana? (Bokum yang dipenjara)”

Di Kampung Kuala Koh, Malaysia, ada kisah pembantaian 15 orang suku Bateq karena habitat mereka dimusnahkan. Hari ini, kita akan menyaksikan adegan itu di Hutan Halmahera. Pemusnahan lahan dan nama Ake Jira adalah adegan kekalahan pemerintah, rakyat sipil, aktivis humanis yang tinggal diam, dan kita yang tak pernah menyadari tragedi kemanusiaan ini.


Penulis: Rian Hidayat Husni, Mahasiswa Sastra Indonesia Unkhair & Pimpinan Redaksi LPM Mantra

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama