Membicarakan Arah Gerakan Perempuan dalam Konsolidasi Menuju IWD 2024

Suasana diskusi di taman Fakultas Ilmu Budaya pada (4/3/2024) Foto: Komite Aksi


LPM Aspirasi-- Sejumlah organisasi mahasiswa mengadakan diskusi publik pada Selasa (4/3/2024) di taman Soe Hook Gie, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun (Unkhair) Ternate. Mereka mengusung tajuk “Apa yang Harus Dilakukan Gerakan Perempuan Kedepan?”. Agenda ini dalam rangka konsolidasi menuju peringatan hari perempuan sedunia atau International Women's Day (IWD) pada 8 Maret 2024 nanti.

Turut hadir sebagai pembicara, Qalbe Abdullah, dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Saiful, dari Sekolah Critis (SC), Ali, perwakilan Forum Sekolah bersama (Sekber), dan Widi, dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan).

Qalbe Abdullah, pembicara pertama memaparkan sejarah singkat international women's day. Kata dia, IWD berdasarkan tulisan Temma Kaplan dalam “On the Socialist Origins of International Women's Day”, dimuat oleh Feminist Studies (1985), mengungkapkan, riwayat perayaan Hari Perempuan Sedunia berawal pada 8 Maret 1857.

“Saat itu, menurut Kaplan, terjadi protes dari wanita buruh yang bekerja di pabrik tekstil di New York. Tindakan semena-mena dan upah rendah menjadi alasan aksi tersebut,” ungkapnya.

Namun, belum ada dampak lanjutan yang signifikan setelah unjuk rasa itu. Tepat 50 tahun berselang, tanggal 8 Maret 1907, seperti yang tertulis dalam buku The Feminism Book: Big Ideas Simply Explained (2019), dikabarkan telah terjadi aksi demonstrasi yang melibatkan lebih dari 15 ribu perempuan buruh pabrik tekstil di New York.

Dua tahun kemudian, kata Qalbe, digelar unjuk rasa besar-besaran oleh Socialist Party of America (SPA) atau Partai Sosialis Amerika di New York pada 8 Maret 1909. Kaum buruh perempuan yang digalang partai ini menuntut hak berpendapat dan berpolitik.

Tanggal 26 dan 27 Agustus 1910, diselenggarakan International Socialist Women's Conferences atau Konferensi Perempuan Sosialis Internasional di Kopenhagen, Denmark, yang dihadiri perwakilan dari puluhan negara di dunia.

Sosialis Jerman bernama Luise Zietz mengusulkan agar Hari Perempuan Sedunia segera dikukuhkan. Dikutip dari International Socialist Conferences of Women Workers (1984) karya Alexandra Kollontai, usulan ini disetujui sebagian besar peserta, namun belum diputuskan tanggal peringatannya.

Lalu pada, tanggal 8 Maret 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai memperingatinya walaupun belum ditetapkan secara resmi. Peresmian tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia terjadi dua tahun kemudian, tanggal 8 Maret 1977, dan terus diperingati hingga saat ini.

Qalbe bilang, di Indonesia, hari perempuan sedunia pertama kali peringati di Solo pada tahun 1917 oleh perempuan sayap merah. Salah satu tokohnya Umi Sardjono yang kemudian menjadi ketua dewan pimpinan pusat Gerwani.

“Namun yang kita lihat IWD mengalami kemunduran, alami modifikasi, hingga menghilangkan aspek ekonomi politik. Jadi IWD mengalami pendangkalan dan proses aportisasi yang luar biasa,” terang Qalbe.

Gerakan Perempuan di Indonesia

“Gerakan perempuan di Indonesia, tumbuh pada awal abad 20 ketika sekolah modern didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan organisasi modern didirikan oleh Kaoem Bumiputera,” ungkap Ali, pembicara dari Forum Sekolah Bersama (Sekber).

Ali bilang, pembukaan sekolah-sekolah untuk kaum pribumi dilakukan berdasarkan Kebijakan “etis” Belanda, namun jika ditelisik, pembukaan sekolah perempuan pada awalnya berada di kota yang merupakan pusat industrialisasi perkebunan kolonial.

“Hal itu ada hubungannya dengan kebutuhan pemerintah kolonial terhadap pekerja kerani (juru catat) di perkebunan atau perkantoran usaha perkebunan,” tandas Ali.

Di samping itu, Ali mengatakan, ada berhubugan pula dengan kebutuhan menyetak “nyonya-nyonya” Boemipoetera seperti “mevrouw-mevrouw” Belanda, yang pandai merajut, menyelenggarakan upacara makan, berdandan modern, bisa baca tulis dan sedikit bahasa Belanda untuk membangun keluarga “Boemipoetra Kolonial” (Holy Family).

“Tetapi, pada perkembangannya, setelah melek huruf dan bahasa, para perempuan ini jauh melebihi harapan pemerintah kolonial. Mereka menjadi kritis dan melakukan perlawanan pertama terhadap adat kawin-cerai yang merendahkan kedudukan perempuan dalam keluarga,” kata Ali.

Gerakan perempuan mengkristal dikalangan aktivis organisasi perempuan setelah Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928. Pada saat itu, seorang aktivis perempuan, yakni Siti Soendari (seorang wartawan dan pendiri buletin perempuan Swara Pacitan), mendapat kesempatan untuk berpidato di Kongres Soempah Pemoeda tersebut.

Dua bulan sesudah peristiwa ini, organisasi-organisasi perempuan di Hindia Belanda menyelenggarakan Kongres Perempuan I, pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Tema sentral pembahasan pada saat itu ialah mengonsolidasi perjuangan khusus perempuan pada perjuangan yang lebih besar, yaitu memerdekakan Indonesia.

Meski tidak meninggalkan agenda khusus memperjuangkan “hak perempuan” dalam perkawinan (melawan perkawinan dini, hak bercerai dan poligami) untuk menjadi kebijakan pemerintah kolonial.

Ali menuturkan terkait isu hak dipilih (women’s suffrage) sendiri muncul saat Kongres Perempuan ketiga di Bandung pada Juli 1938. Keputusan Kongres menghasilkan amanat untuk memperjuangkan Hak Dipilih bagi perempuan pribumi sebagai langkah perjuangan pergerakan perempuan pada masa itu.

“Tetapi kebijakan Hak Dipilih bagi perempuan pribumi baru diberikan pemerintah kolonial pada suatu malam ketika Perang Pasifik terjadi, yakni pada 1942,” terangnya.

Gerakan perempuan lalu alami kemuduran. Era penghancuran gerakan perempuan Indonesia, yang titik awalnya dilakukan melalui penghancuran terhadap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) melalui kampanye media massa antara 10 Oktober 1965 – 12 Oktober 1965.

Gerakan Perempuan kedepannya

Widi, pembicara dari Pembebasan Kolektif Ternate mengatakan hal mendasar dari perjuangan pembebasan perempuan dengan membongkar akar penindasannya.

“Penindasan perempuan berakar dari tatanan masyarakat kelas yang tidak sekadar mendomestifikasi perempuan tetapi juga membentuk seksisme,” ungkapnya.

Dalam tatanan masyarakat kelas terkini yakni kapitalisme, kelas penindas yang berkuasa berkepentingan mengontrol tubuh perempuan untuk mereproduksi tenaga kerja dengan domestifikasi dan kerja perempuan yang tak berbayar, upah lebih rendah bagi buruh perempuan, serta komodifikasi tubuh perempuan dan eksploitasi seksual.

Widi bilang, sebab itu penindasan perempuan tidak terjadi secara alamiah, tetapi memiliki akar dan basis material, serta meskipun ada perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya, landasan objektif untuk mengubahnya harus ditemukan dengan mendorong dan mengarahkan perjuangan pembebasan perempuan mengakhiri kapitalisme serta tatanan masyarakat kelas itu sendiri.

Tatanan masyarakat kapitalisme, katanya, berkepentingan memperkaya diri sendiri serta melanggengkan hegemoni kekuasaannya. Sehingga bangunan seksisme itu terus dipertahankan, dijalankan secara terorganisir dan masif lewat keluarga, agama, pendidikan menurut norma borjuis sekaligus oleh negara maupun media kapitalis.

“Penindasan terhadap perempuan yang terorganisir dan masif itu karenanya harus dilawan secara teroganisir dan masif juga,” tegas mahasiswa salah satu kampus di Ternate itu.

Karena itu, Widi dan teman-temannya menyerukan kekuatan kaum perempuan harus kembali diletakkan ke dalam kolektivismeannya. Bukan dalam posisi sebagai korban. Bukan sebagai individu yang merayakan identitasnya karena dengan mudah dikooptasi kapitalisme sebagai sasaran komodifikasi maupun konsumerisme.

Melainkan sebagai kolektif, terutama sebagai working women alias perempuan buruh atau rakyat-pekerja. Karena kelas merupakan dasar penindasan dalam masyarakat, maka ketika kelas pekerja baik laki-laki maupun perempuan bersama-sama melawan segala aspek kapitalisme, mereka akan mampu merobohkan seksisme yang selama ini memecah-belah mereka.

“Perjuangan perempuan juga tidak bisa melepas pisahkan diri dari perjuangan progresif lainnya,” ungkap dia.

Seperti gerakan progresif lainnya, Widi merasa begitu juga gerakan pembebasan perempuan independen tidak akan bisa berhasil jika hanya sendirian. Hanya dengan penggabungan tujuan dan tuntutan-tuntutan dengan perjuangan klas pekerja dan gerakan progresif yang lainnya akan menjadi kekuatan penuh untuk mencapai pembebasan perempuan.

“Sebab tidak ada pembebasan perempuan tanpa pembebasan nasional dan tidak ada pembebasan nasional tanpa pembebasan perempuan," tutupnya.

Reporter: Yulinar Sapsuha
Editor: Susi H Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama