Aksi Tolak Pemilu 2024: Serukan Bangun Partai Alternatif dan Perjuangkan Demokrasi Sejati

Massa aksi di depan pasar Barito, Gamalama, Ternate Tengah, pada Jumat (9/2/2024) Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi.


LPM Aspirasi -- Sejumlah mahasiswa menggelar aksi pada Jumat (9/2/2024) kemarin. Mereka berjalan dari Pasar barito, Gamalama, hingga Taman Nukila, Jalan Sultan M. Iskandar Djabir Sjah, Ternate Tengah, Kota Ternate.

Massa berjalan dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Lawan Pemilu 2024, Lawan Militerisme dan Sisa Orde Baru, Lanjutkan Konsolidasi Politik Alternatif”. Mereka juga membawa berbagai poster tuntutan sembari terus meneriakkan “Tolak Pemilu Borjuis”.

Para demonstran ini menilai Pemilu 2024 sebagai ajang politik kaum borjuis dan bagian dari suprastruktur borjuis untuk melanggengkan dominasi dan hegemoninya terhadap kelas pekerja dan rakyat tertindas lainnya.

“Penolakan Pemilu 2024 bukan karena kami anti pada pemilu, partai dan parlemen, hanya saja pemilu 2024 merupakan agenda borjuis nasional dan internasional,” ungkap Abdul Asis Robo, Koordinator aksi.

Kata dia, sudah jamak diketahui kalau ketiga pasangan calon presiden kali ini dibekingi pengusaha. Seperti yang dirilis oleh media beberapa waktu lalu. 

“Hal ini menunjukkan Pemilu 2024 berpotensi dikendalikan para pemodal. Ini yang jadi alasan kami menolak pemilu kali ini,” ujarnya.

Stabilitas Politik Ancaman untuk Rakyat

Abdul bilang ketiga kandidat juga dibekingi para purnawirawan jendral. Kehadiran mereka jelas mengancam. Pasalnya kaum borjuasi nasional dan purnawirawan jenderal tersebut bersandar kepada faksi-faksi borjuis internasional Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, dan Eropa. 

“Tidak ada borjuis nasional yang dapat berdiri sendiri tanpa menjadi bagian jejaring modal internasional. Itulah mengapa jargon nasionalisme yang dikumandangkan ketiga calon pada tiap debatnya hanya bualan semata untuk mendapatkan suara bukan untuk melawan imperialis,” terangnya.

Bagi borjuasi internasional, menurut Abdul, selama kepentingan mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta tingkat akumulasi modal bisa berlangsung dalam grafik yang menanjak akan didukung.

“Siapapun yang bisa menghadirkan stabilitas politik akan menguntungkan stabilitas ekonomi kapitalis internasional akan mereka pertahankan,” tandasnya.

Stabilitas politik, baginya sangat berbeda di mata rakyat dan di mata elit. Di mata rakyat stabilitas politik merupakan ancaman bagi kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi dan kebebasan untuk berlawan. 

“Sementara di mata kaum borjuis stabilitas politik jadi keuntungan atau kebebasan untuk menghisap. Karena itu, ketiga calon pada dasarnya sama,” terang mahasiswa salah satu kampus di Ternate itu.

Mencermati fakta-fakta itu, Abdul dan teman-temannya menilai tidak ada satupun calon presiden dan wakil presiden yang bisa benar- benar berpihak kepada kepentingan rakyat banyak dan demokrasi yang sejati. Begitu pula dengan partai-partai pengusungnya.

Memperjuangkan Demokrasi Sejati

Massa juga mengkritisi sistem demokrasi parlemen saat ini. Menurut mereka, secara objektif, sistem demokrasi parlementer di Indonesia masih sarat dengan pembatasan. 

Aturan ambang batas elektoral dan presidensial (electoral and presidential threshold), yang hanya memberi kesempatan kontestasi pada para konglomerat dan partai borjuis. 

“Sehingga rakyat sulit untuk mengusung bakal calonnya sendiri. Selain itu, partai politik (Parpol) yang hadir bukan membawa kepentingan rakyat” ujar Nando, salah seorang massa aksi. 

Sebab itu, Nando berharap rakyat Indonesia secara umum dan Kota Ternate untuk sadar dan tidak menitipkan nasib pada partai politik borjuis.

“Rakyat harus membangun organisasi alternatif. Misalnya partai alternatif sebagai partai tandingan dari partai-partai yang ada untuk memperjuangkan nasibnya, termaksud demokrasi sejati,” ungkap dia.

Demokrasi sejati, Kata Nando, tidak hanya berlaku di medan politik, tetapi juga di ruang-ruang sosial dan ekonomi.

“Demokrasi partisipatoris yang memberi kelas pekerja kontrol demokratis dan kontrol kolektif yang efektif atas alat produksi, alokasi sumber daya, tempat kerja, lembaga-lembaga sosial, dan lembaga -lembaga negara yang penting,” ujar Nando.

Demokrasi ini, baginya, bisa menjamin pertanggungjawaban delegasi terhadap konstituennya dengan cara mengakui hak untuk menarik kembali (right to recall), majelis rakyat berkala, perluasan konstitusional hak-hak demokrasi rakyat dan demokrasi lembaga peradilan.

“Demokrasi yang kami tuju bukan demokrasi yang memapankan dan melanggengkan kapitalisme,” tutupnya.


Reporter: Sukriyanto Safar

Editor: Susi H Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama