Aksi Kamisan Ternate: 3 Tahun Kematian Pendeta Yeremia

Massa aksi saat memegang beberapa poster aksi Kamisan pada Rabu, (21/9/2023). Foto: Ajim Umar.


LPM Aspirasi-- “Hidup Korban... Jangan Diam... Lawan...!!!,” kata salah satu orator, meneriakan jargon yang biasa dilontarkan massa Aksi Kamisan, di Depan Kantor Walikota Ternate, Jalan Pahlawan Revolusi, Muhajirin, Ternate Tengah, pada Kamis (21/9/2023). Aksi kali ini bertepatan dengan momentum “September Hitam”.

Jargon itu kemudian diikut teriakkan oleh puluhan massa yang turut ikut menggelar aksi kamisan.

Sekira pukul 16.00 WIT, puluhan massa aksi telah berkumpul di depan kantor walikota.  Seperti biasa, setiap Kamis, mereka mengenakan atribut serba hitam, mulai dari pakaian, hingga payung.

Bukan tanpa alasan, mengenakan pakaian serba hitam sebagai bentuk duka cita atas berbagai pelanggarah Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dalam September Hitam: Pembunuhan Munir,  tragedi Semanggi II, Reformasi Dikorupsi,  Tragedi Tanjung Priok, Penembakan Pendeta Yeremia, Pembunuhan Salim Kancil, dan Tragedi 1965. 

Mereka punya tuntutan negara melalui pemerintahannya harus mengusut tuntas kasus pelanggaran berat HAM itu. Ini untuk memberikan keadilan serta kepedulian terhadap isu pelanggaran HAM di Indonesia.

Massa aksi berada di seberang kantor Walikota Ternate . Foto: Ajim Umar.

Aksi kamisan kali ini mengangkat isu pembunuhan Yeremia Zanambia, seorang pendeta dari Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua pada 19 September 2020 silam.

3 Tahun Meninggalnya Pendeta Yeremia

Pendeta Yeremia Zanambia merupakan sosok  yang kerap mengkritisi kehadiran militer di Distrik Hitadipa. Meski begitu dia tetap sosok tempat masyarakat berteduh.

Ia tewas tepat di kandang babi miliknya. Hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Komnas HAM menyatakan pendeta Yeremia diduga ditembak oleh aparat. Menurut mereka penembak diduga oleh anggota TNI sekaligus wakil komandan Rayo Militer Hitadipa, Alpius Hasim Madi.

Pelaku penembakan diadili di Pengadilan Militer III-19 Jayapura. Pelaku atas nama Saiful Anwar, Alex Ading dan Moh, Andil Hasan Basri dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama dan divonis penjara masing-masing satu tahun. Semua pelaku masih anggota TNI.  Para pelaku yang diadili ini jelas berbeda dengan temuan TGPF bentukan komnas HAM.

Ronaldo Kinho, Salah satu massa Aksi Kamisan mengatakan, berdasarkan hasil gabungan dari tim pencari fakta dan saksi di lapangan, bahwa pelaku pembunuhan adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Namun Negara terkesan menutupi siapa pelaku tersebut,” ungkap Ronaldo, yang juga mahasiswa asal Papua itu.

Ronaldo bilang negara harus mengusut tuntas kasus penembakan pendeta Yeremia yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penembakan ini jelas menunjukkan kegagalan negara untuk menghadirkan perdamaian di Papua.

“Sudah sering kasus penembakan di luar hukum di sana. Kapan kita orang Papua bisa bebas untuk hidup damai?,” ungkap Ronaldo yang juga mahasiswa asal Papua itu.

Kata Ronaldo, negara harus menghentikan pembunuhan di luar hukum yang sewenang-wenang di Papua. Selain itu harus ada penyelidikan menyeluruh, independen dan tidak berpihak. 

Salah satu massa aksi memegang poster pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Foto: Ajim Umar.


Ronaldo mengutip data Amnesty Internasional Indonesia. Ia bilang sejak 2018 sampai 2022 itu ada sekira 66 kasus pembunuhan di luar hukum di tanah Papua yang melibatkan aparat keamanan termasuk TNI, Polri dan petugas lembaga pemasyarakatan yang setidaknya ada 108 korban.

“Maka penyelidikan menyeluruh, adil dan netral harus segera dilakukan untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya,” tegasnya.


Reporter: Ajim Umar

Editor: Susi H Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama