Abang-Abang Sekalian! Mahasiswa Butuh Solidaritas Bukan Senioritas ala Kolonial

 

Perilaku senior kepada junior saat ospek. Ilustrasi: detak-unsyiah.com

Ditulis Oleh: Darman Lasaidi*

KASUS kekerasan di dunia pendidikan seperti tak ada habisnya. Kali ini sebelas mahasiswa baru di salah satu kampus kesehatan di Makassar jadi korban. Mereka dicekokin miras dan dianiaya senior dan alumni.

Kejadian macam itu bukan kali pertama. Tahun lalu, viral video mahasiswa berambut gondrong duduk di kursi sambil mengintimidasi mahasiswa baru di Ternate, Maluku Utara. Dua kali tamparan mendarat ke pipi kiri dan kanan mahasiswa itu. Endingnya, kasus diselesaikan dengan permintaan maaf.

Pelaku menyertakan kalimat “sudah jadi budaya”—untuk mengafirmasi tindakan yang dia lakukan. Dia memberi isyarat kalau “praktik kekerasan” di dunia kampus adalah warisan sejak lama. Entah, rujukannya darimana, tapi pola macam ini tentu saja warisan kolonial.

Kasus macam ini sering terjadi, tapi sulit ditindak. Harus viral dulu baru minta maaf, atau berakhir secara kekeluargaan.

Ada anggapan kolot yang mengakar dalam pikiran mahasiswa: “junior harus turuti perintah senior”. Ini racun lama, yang sulit sekali dilenyapkan. Kultur kuno, tapi dipandang “perlu dijaga”. Brengs*k!

Label “senioritas” kepada mahasiswa yang lebih dulu masuk kampus seolah-olah punya privilege melakukan tindakan tidak wajar kepada ‘junior’ atau mahasiswa baru. Kalau kita membuka jejak digital, kekerasan “senior” terhadap “junior” sering terjadi hingga menelan korban jiwa.

Gilang Endi (20 tahun), mahasiswa di Universitas Negeri Semarang (UNS) misalnya, harus meregang nyawa saat ikut pendidikan latihan dasar (Diksar) Resimen Mahasiswa (Menwa).

Praktik ini sangat tidak manusiawi, tapi dilanggengkan terus menerus. Pertanyaan mendasarnya, apakah tindakan ini harus dilakukan di dunia akademis? Siapa yang berkepentingan atasnya? Atau jangan-jangan ini hanya luka lama dan bara dendam masa lalu yang diteruskan? 

Sangat aneh, dan tidak ada manfaatnya!

Hal yang pasti dari perlakuan ini, mengisaratkan bobroknya budaya senioritas, dan makin memberikan gambaran buruk dunia pendidikan yang sudah buruk.

Alasan-alasan klasik macam budaya, mendidik, memperkuat mentalitas dan mempererat solidaritas tidak bisa dibenarkan lagi. Perilaku abang-abangan dan segala tindak-lakunya harus lenyapkan. 

Jika senioritas digaungkan dan kekerasan terpatrih, apa jadinya institusi pendidikan ini?

Belajar bersama kawan, bukan main kekerasan, abang-abang sekalian!

Mendidik tidak harus dengan kekerasan. Saya pernah berada disituasi mahasiswa baru yang alami kekerasan: tamparan, jalan jongkok, merayap dalam selokan, hingga melakukan sikap taubat ala militer. Apa yang ada dalam kepala saya? tertanam sikap balas dendam.

Namun saya merasa tindakan kekerasan untuk mendidik tidak lagi relevan. Kuno. 

Yang ada, hanya ciptakan traumatik dan tidak percaya diri karena merasa terkucil di hadapan senior. Malas berorganisasi karena tertaman di pikiran, akan ada perlakuan yang sama dari senior. 

Saya putuskan tidak bersikap senioritas, apalagi melakukan kekerasan kepada mahasiswa baru. Selain berharap budaya ini dihilangkan dan terputus, pun memilih merangkul mereka sebagai teman untuk belajar bersama. 

Saya percaya mentalitas dan solidaritas bisa didapat dari belajar. Kesadaran akan penindasan dan kesewenang-wenangan penguasa membuat kita memiliki pemahaman yang sama, melawan!

Menghargai memang penting, namun bukan lahir karena takut akan stigma ‘buruk’ senior yang selama ini dibangun; seenaknya sendiri pada junior, merasa berkuasa, dan merasa paling tahu. 

Saya pernah ikuti pendidikan politik organisasi. Tak ada kekerasan, tak ada senioritas, tak ada anggota organisasi itu yang datang memerintah, membentak, memaksa untuk tunduk dan menghamba. Bahkan peserta merasa menyenangkan. Tak ada yang ingin dipanggil kakak, abang atau senior. Jadi tak ada sekat pemisah.

Setelah kegiatan itu, apa yang terjadi? Kami masih terus bersolidaritas antar sesama. Solidaritas itu untuk seluruh kaum tertindas. Urusan mentalitas, militansi dalam perjuangan, tak ada yang perlu diragukan. Bahkan ada yang rela mengorbankan banyak hal. Lagi-lagi kesadaran itu didapat dari belajar.

Lalu apa yang bisa di dapat dari cara mendidik dengan kekerasan? meregenerasi pelaku kekerasan! Itu yang terjadi hingga budaya ini masih terus bertahan dan awet hingga hari ini.

Sebenarnya, sikap senioritas di kampus hanya akan buat orang sungkan, segan yang melahirkan kesenjangan dalam relasi senior dan junior. Ada sekat pemisah yang membuat mahasiswa baru [junior] menjaga jarak. 

Dalam berorganisasi, sikap ini buat yang muda tunduk dan patuh pada yang tua. Dalam diskusi, junior enggan berdebat dengan senior karena takut. Sering perdebatan berkesudahan “adik! saya di kampus lebih dulu, jadi saya paham apa yang adik pikirkan” atau  “Sudah adik jangan membatah dan melawan saya lebih senior dan tahu.”

Sungguh menjengkelkan bukan?  tradisi kolot macam ini hanya akan membuat stagnan dan tidak berkembang. Kalau menganggap senior sebagai mahasiswa dan setara, maka lebih bebas dalam berdiskusi. Tidak mengenal junior atau senior, lebih bisa berdialektika.

Tugas mahasiswa

Budaya mahasiswa itu pergerakan. Aktifitas mahasiswa bukan sekadar berangkat ke kampus, kuliah, dan pulang ke kos atau perpeloncoan. Mahasiswa punya peran penting sebagai pengidap pengetahuan. Mempreteli kebijakan Perguruan Tinggi yang timpang, melawan kapitalisasi pendididkan dan berbagai problem di kampus. 

Di sisi lain, dengan jargon agen of change mahasiswa harus jadi motor penggerak perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan pengetahuan, ide, dan keterampilan yang dimiliki, jadi lokomotif kemajuan dan garda depan memantik perlawanan terhadap penindasan.

Perubahan tidak turun dari langit atau masalah selesai dengan berdiam diri. Dalam sejarah, melalui pengalaman berjuang secara kolektif, perubahan baru dapat dicapai.

Jadi, untuk senior-senior dan abang-abang di kampus yang masih melakukan kekerasan, dan perpeloncoan. Dengar! Kampus itu ‘rumah’ belajar, wadah ilmiah, bukan markas militer yang sewaktu-waktu ajak perang dengan mahasiswa baru (junior).

Di antara mahasiswa baru itu, ada anak petani, nelayan dan buruh yang terus ditindas dan dihisap oleh kapitalis. Butuh perjuangan ekstra untuk kuliah, apa lagi sistem pendidikan kita yang makin mahal. Merek butuh solidaritas bukan senioritas!

Mahasiswa baru harus dirangkul. Belajar bersama dengan cara-cara yang manusiawi. Bentuk penyadaran biar melihat realitas objektif yang terjadi. Mereka harus mampu menempatkan materil perlawanan, dan mengetahui herarkis musuh rakyat, dari yang paling tinggi hingga antek-anteknya. Apa lagi mahasiswa memiliki massa yang besar di kampus.

Ingat! dahulu masyarakat dipukul, dijajah, ditembak terus-menerus yang akhirnya belajar. Mereka sadar kalaut itu kekerasan. Mereka mulai membangun solidaritas untuk melawan dan memberontak terhadap kolonial. Bukan menganggap itu budaya yang harus dipertahankan.

Abang-abang sekalian. Biasakan kritis dong pada ketidakadilan, protes pada kebijakan yang timpang, melawan kezoliman kekuasaan, bukan jadi senioritas ala kolonial kepada sesama mahasiswa.

Mengakhiri tulisan ini, pesan saya untuk para senior di seluruh kampus: “Mengapa harus main kekerasan di awal perkenalan? kalau kita bisa mengukir kenangan manis di awal pertemuan?”[]


*Penulis merupakan mahasiswa Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Khairun dan Pimpinan Redaksi LPM Aspirasi.

Editor: Rabul Sawal*

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama