Dengan Menjadi Jurnalis, Kita Membela Hak Perempuan

Ilustrasi/LPM Aspirasi

Ditulis oleh: Nurdafni K. Hamisi*

KETERLIBATAN perempuan dalam dunia kejurnalistikan sudah berlangsung lama. Sebelum kemerdekaan, perempuan sudah ambil bagian. Roehana Koedoes atau Ruhana Kudus misalnya, satu dari sekian perempuan yang mempelopori profesi juru tulis di Indonesia. Selain menulis, dia juga dirikan surat kabar bernama Soenting Melajoe untuk wadahi pemikiran perempuan dan perjuangkan nasib kaumnya.

Namun, rasanya perjuangan Ruhana masih harus terus berlangsung hingga saat ini. Itu karena sistem patriarki—sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi—masih langgeng di Indonesia.

Sistem ini pula yang memandang perempuan secara fisik, lemah dan tidak bisa melakukan pekerjaan profesional, dan dalam masyarakat seakan dinomorduakan. Imbasnya, perempuan mengalami masalah kesejahteraan dan keadilan secara sosial.

Kondisi yang timpang ini juga menjangkiti profesi jurnalistik. Dimana, dalam jurnalistik, perempuan juga mengalami nasib suram: jarang diberi tempat dan ruang strategis di dalam keredaksian. Pekerjaan jurnalis pun seolah-olah maskulin. Maskulinitas ini pula yang juga memengaruhi jumlah jurnalis perempuan di media.

Pemetaan yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia (2012) menunjukkan, hanya enam persen yang duduk sebagai petinggi redaksi. Artinya, 94 mayoritas jurnalis perempuan bukan bekerja sebagai pengambil keputusan redaksional. Data menunjukkan dari 10 jurnalis, hanya ada dua sampai tiga jurnalis perempuan, atau dari 1.000 jurnalis, hanya ada 200-300 jurnalis perempuan.

Ada lima persoalan yang terjadi secara khusus yang dialami perempuan, yakni: pertama, mengalami beban ganda, mengurus rumah tangga dan urusan kantor; kedua, upah rendah dibanding laki-laki; ketiga, sering mengalami pelecehan seksual dari narasumber laki-laki; keempat, tidak mendapatkan penilaian yang baik saat sedang hamil, dan; kelima, selalu dituntut terlihat cantik dan rapi.

Ketimpangan sosial ini bertali satu dengan kekerasan terhadap jurnalis perempuan saat hendak melakukan peliputan. Dari riset yang dilakukan theconversation.com selama Agustus-Oktober 2021 memperlihatkan sebanyak 1.077 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan. Data ini didapat dari pengambilan responden sebanyak 1.256 jurnalis perempuan di 191 kota dan kabupaten di Indonesia. Hanya 179 responden yang tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali.

Kekerasan yang paling banyak dialami oleh responden, sebut riset, komentar negatif terkait tubuh atau body shaming secara lisan atau tatap muka sebanyak 59 persen. Sementara  kekerasan di ranah digital lebih banyak dialami jurnalis perempuan dibandingkan kekerasan di ranah fisik, meskipun perbedaannya sangat tipis. Ini karena pembatasan kegiatan di ruang publik akibat digitalisasi dan pandemi COVID-19.

Berdasarkan pernyataan para responden dan informan riset, kekerasan bisa terjadi karena alasan profesional atau terkait liputan. Alasan lain terkait seks dan gender [semata karena mereka perempuan] dan gabungan keduanya. Alasan profesional ini biasanya terkait dengan topik liputan yang “sensitif” dan melibatkan penguasa, lingkungan, polemik keagamaan, dan gender atau seksualitas (LGBTIQ).

Di tahun 2020 lalu, AJI Indonesia melakukan survei pada 34 jurnalis. Hasilnya 25 jurnalis perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan seksual dalam dunia kerja dan 63%  tidak melaporkan kasusnya.

Di era digital saat ini, perempuan juga mengalami kekerasan secara online, mulai dari cyberstalking [Penguntitan di dunia maya] kampanye pencemaran nama baik, doxing [meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik] sextortion [Pemerasan Seksual Online] dan trolling [aksi posting berupa tulisan atau gambar dengan tujuan menghasut atau memprovokasi] serta distribusi non-konsensual yaitu penyebaran konten intim dengan tujuan balas dendam (revenge porn).

Data lain menunjukan adanya kekerasan terhadap jurnalis perempuan meski ini secara khusus merupakan bagian dari fenomena gunung es. Hal ini membuat perempuan enggan menjadi jurnalis.

Kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan jauh lebih besar dari yang diberitakan, namun kebanyakan kasus tersebut tidak dilaporkan dan terdokumentasi dengan berbagai alasan. Ketiadaan perlindungan hukum pada kasus kekerasan seksual ataupun relasi kuasa yang timpang dengan pelakunya, mengakibatkan tingginya impunitas dan potensi keberulangan yang terus terjadi.

Saya kira ini perlu upaya dari berbagai sektor. Mulai dari pemahaman ketidak adilan gender, upaya penyadaran tentang kesetaraan gender yang tidak terbatas pada liputan-liputan bagi jurnalis, asosiasi jurnalis, organisasi media, dan asosiasi perusahaan media, dalam menghadapi peningkatan kekerasan terhadap jurnalis perempuan Indonesia, melainkan perlu adanya penyadaran.

Sebagai seorang perempuan, yang berkecimpun di lembaga pers mahasiswa, saya menyadari bahwa peran pers cukup penting, terutama bagi perempuan, sehingga, pendidikan seksualitas dan keadilan gender perlu mendapat perhatian di semua intitusi pendidikan dan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem bermedia—termasuk di pers mahasiswa tempat saya belajar.

Kekerasan terhadap jurnalis (perempuan dan laki-laki) harus diperangi bersama, dan tidak ada toleransi bagi yang melakukannya. Kita semua punya peran penting, mendukung dan berupaya mencegah kekerasan tersebut.

Sangat penting untuk belajar dari pengalaman atau faktor penyebab minimnya jurnalis perempuan. Dari situasi itu kita bisa melihat apa yang harus dilakukan. Bagi pers umum maupun pers mahasiswa seperti saya, harus mulai menerapkan sistem egaliter dalam menjalankan roda organisasi atau lembaga persnya.

Seorang jurnalis perempuan dituntut untuk merangkul dan mengorganisir perempuan lainnya untuk berani berusara, salah satu caranya dengan menjadi seorang jurnalis. Dengan begini kita, sebagai perempuan, juga berperan aktif menyuarakan apa yang menjadi hak kita.

Secara emosional, perempuan mampu memahami permasalahan perempuan lainnya, bahkan hingga ke tahap solusi penyelesaian masalah. Kebanyakan mahasiswa perempuan, menyatakan takut menjadi seorang jurnalis karena menganggap jurnalis adalah profesi yang sangat beresiko. Ada pula anggapan proses dalam dunia kepenulisan tidaklah sederhana.

Dari sini, seorang perempuan yang sudah bergelut dalam dunia jurnalistik harus mampu memberikan pemahaman, selalu merangkul serta menemani perempuan lainnya yang ingin berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Tujuannya untuk melahirkan tulisan-tulisan "suara perempuan" melalui reproduksi pikiran yang terarah, serta menjadi salah satu instrument perubahan untuk tetap berdiri bersuara, dan bersanding untuk menyuarakan keresahannya.

Seperti apa yang sudah dilakukan Ruhana Kudus, melalui tulisan, dan menjadi seorang jurnalis, dia ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menyuarakan dan memperjuangkan nasib kaumnya: perempuan.[]

*Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun. Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Aspirasi.


Editor: Rabul Sawal

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama