Pendidikan Itu Melawan!

Ilustrasi pendidikan mahal (Harian Analisa)

Oleh: Nurkholis Lamaau*

SALAH SATU komponen penting dalam membangun kualitas manusia adalah pendidikan. Jelas pendidikan dapat dipandang sebagai titik paling menentukan dalam proses pembangunan. 

Tak bisa dinafikkan bahwa di era industrialisasi ini, gejala hilangnya dimensi melawan kian mengemuka. Potensi yang seharusnya muncul ketika terjadi ketidakadilan dan ketimpangan, seakan lenyap.

Perubahan ini memperlihatkan kepada kita, betapa politik energi nasional sudah menjadi hamba bagi politik energi global. Ironisnya, kita menjadi objek energi politik tersebut.

Problem kemudian muncul ketika pembangunan atas nama pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Karena ini kelak akan menjadi bom waktu. 

Sebab, konsep pembangunan ekonomi nasional selalu menjadi objek regulasi politik ekonomi modern Barat yang begitu kental dalam tubuh kekuasaan. Kita sebut saja, sistem kortopokrasi.

Dilematis memang. Sebab, pendidikan kita dituntut menjadi instrumen yang harus memperdayakan, membebaskan, serta mengangkat harkat dan martabat ke taraf yang lebih humanis. Tapi di satu sisi, dipaksa menjawab tantangan modernisme. 

Ini membuat kita terpasung sebagai manusia yang penuh fitrah: pikiran, budi, kehendak, emosi, bakat, talenta, kreativitas, dan kebebasan.

Pemasungan terhadap diri sebagai dampak industrialisasi mengakibatkan nilai-nilai kemanusiaan kita dijual. Bisa dilihat bahwa pendidikan kita hari ini demi memenuhi tuntutan lapangan kerja. 

Manusia dipandang hanya dari dimensi kerja semata. Hubungan dengan sesama hanya ditentukan oleh relasi ini, yang pada akhirnya menutup pertumbuhan dan perkembangan dimensi lain yang dimiliki. 

Pola pendidikan yang diperhadapkan dengan industrialisasi di bawah genggaman kaum aristokrat, tanpa disadari, ikut merampas kebebasan memilih sekaligus menyandera imajinasi, agar kita dapat mengkondisikan diri dan pikiran untuk disesuaikan dengan selera lapangan kerja, yang mengikuti kehendak global. 

Ini membuat sekolah atau perguruan tinggi tak ada bedanya dengan pabrik robot yang memproduksi benda mati tanpa imajinasi. 

Tentu, ini bertentangan dengan esensi pendidikan yang membebaskan dan memartabatkan manusia secara utuh, baik dalam proses maupun tujuan pendidikannya.

Herbert Marcuse menyebut, manusia modern yang merupakan produk dari pendidikan yang hanya memenuhi tuntuan lapangan kerja, sebagai manusia berotak administrasi total, atau dalam istilah Immanuel Kant sebagai "manusia berasio perkakas."

Artinya, subjek rasio hanya menjalankan instrumen pengetahuan yang diciptakan di hadapannya tanpa mampu mengendalikan, mengkritisi, atau mengembangkannya.

Tak heran jika pakar pendidikan Winarno Surakhmad berpendapat, "bangsa yang hanya menerima pemikiran bangsa lain, sejatinya sudah mati sebelum musnah sebagai bangsa."

Artinya, kondisi pendidikan tanpa gagasan perlawanan akan berpengaruh pada ketimbangan. Sebab, pendidikan sendiri hanya menyatu dalam misteri dunia teknologi yang sangat teknis, dengan simbol - simbol esoteriknya sendiri. 

Pada akhirnya, dunia pendidikan kita lebih diurus oleh para birokrat dan manager pendidikan, ketimbang para pemikir yang perspektifnya lebih luas dan berpandangan jauh ke depan. Sebagai akibat, muncul penindasan pada sistem sosial kita.

Tentu semua hanya dapat diruntuhkan dan dilawan dengan memperdayakan pendidikan yang tidak hanya larut dalam membangun kenyataan di ruang sosial, tapi juga mampu mengkritisinya.

Saya tidak bermaksud mengampanyekan anti sosial. Tapi ketika kita hidup dalam sistem pengetahuan dan sosial yang tidak seimbang, di situ kita harus mampu mengubah serta mengembangkan potensi dan dimensi diri dengan kebebasan yang utuh, melalui pendidikan kritis yang transformatif.

Tentu semua akan terwujud jika lembaga pendidikan kita tidak melakukan pembajakan terhadap tumbuhnya subjek manusia utuh, dengan potensi yang dimiliki masing-masing individu.

Kita harus tetap melakukan perlawanan. Kita masih memiliki skill-skill penafsiran rasional yang berasal dari warisan pendidikan yang humanistik.

Manusia merupakan subjek untuk melakukan investigasi dan analisis dengan misi utamanya adalah memahami, mengritisi, mempengaruhi, dan menilai berbagai persoalan. 

Pemikiran kritis tidak tunduk pada kekuasaan yang masih mengandalkan lobi-melobi dalam menjaring sejumlah pasukan muda yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat.[]

*Penulis merupakan wartawan dan redaktur Halloternate.com


Redaksi LPM Aspirasi menerima kontribusi berupa artikel yang dapat dikirimkan kontributor, syarat dan ketentuannya bisa baca disini



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama