Melihat Dari Dekat Nelayan Maitara Menjaring Ikan di Laut Halmahera

Suasana di Pajeko saat awak sedang reaht jelang senja redup. Foto: Rajuan Jumat/LPM Aspirasi


Oleh: Rajuan Jumat*

LANGKAH kaki M. Hijrah setengah berlari ke luar dari rumah. Ia kelihatannya bergegas. Lelaki berusia 22 tahun itu menoleh ke arah saya yang lagi duduk santai di teras rumah. Dia lantas mengajak saya pergi memancing bersama nelayan yang lain dengan Pajeko di perairan laut Jailolo-Ibu, Halmahera Utara, pada 11 Januari 2022 lalu.

Hijrah warga Pulau Maitara bagian utara di Kecamatan Tidore Selatan, Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Saya mengenal dia waktu ikut program kuliah berkarya dan bermasyarakat (Kubermas) dari Universitas Khairun, pada Agustus-September tahun lalu. Tinggal di rumah mertuanya, Husen Adam. Hijrah juga tinggal disana Bersama istrinya, Nursin Adam, yang tak lain anak perempuan Husen.

Hari itu jarum jam sudah menunjuk pukul 15.00 waktu Indonesia Timur. Tiga jam lagi matahari akan tenggelam. Dengan cekat, saya bergegas ke kamar mengambil noken khas Papua dan membawa sebuah buku dari Tempo Media berjudul 200 Tahun Tambora. Barangkali punya waktu senggang di atas laut saya bisa baca.

Dari Pulau Maitara, kami naik speedboat ke pelabuhan Perikanan di Kota Ternate, karena Pajeko yang akan dipakai nelayan ada disana. Jarak dari Maitara ke Ternate hanya butuh beberapa menit sudah sampai. Kami kemudian berganti naik di Pajeko. Di bagian depan Pajeko, ada tumpukan pukat besar dan panjang. Fungsinya menangkap ikan, tapi dengan jumlah banyak.

Sesaat setelah beberapa menit, ternyata ada awak Pajeko yang bikin gohu dari ikan kembung. Gohu merupakan makanan khas Maluku yang terbuat dari ikan tanpa proses pemanasan. Ia dibikin dengan bumbu sederhana; rasa asam yang khas dari jeruk lemon cui, aromanya unik. Rasanya segar, apalagi di makan dengan sagu.

Faisal Karim, ajak saya makan gohu dan sagu bareng dengan awak Pajeko yang lain. Tanpa menunggu lama, saya langsung duduk sambil selundupkan tangan di baskom plastik yang berisi gohu.

Pajeko berjalan dengan kecepatan setengah di bawah langit mendung menuju daerah Jailolo-Ibu. Membela ombak dan angin yang berjalan searah dari utara. Sebagian para awak kapal yang sif malam pada rebahan di dek, dan yang lain tidur di kamar.

Awak yang lain tengah memasak di dapur, yang lain sibuk menjahit pukat yang sobek. Sementara, ada yang keliling bagi-bagi sebatang rokok ke kami.

Pajeko itu diberi nama KM Feybri Star dengan kapasitas 30 GT. Pemiliknya Hi Nurdin Adam, 52 tahun, warga Ngusu Lenge, di Maitara Tengah, Tidore Kepulauan. Adiknya, Husen Adam yang jadi kepala Pajeko.

Ada 26 awak yang jadi nahkoda Pajeko bermuatan sekitar 28 ton ini.

Husen berkata, pukat di Pajeko ini panjangnya mencapai 260 meter dengan empat varian mata pukat: satu-dua cm, satu setengah cm, dan satu seperempat cm.

“Jenis ikan yang ditangkap itu Cakalang, Madidihang, Komo, dan Sorihi. Kalau Tuna masuk juga dapat,” kata lelaki paru baya ini di sela-selah menikmari gohu sore itu.

“Ikan goros lewat dari satu senti bisa dapa. Kurang dari itu bisa lolos,” lanjutnya.

Saya sudah akrab dengan papa Husen, biasa saya menyapanya. Ia bapak angkat saya waktu Kubermas tahun lalu.

Sebelum pergi melaut, Husen bilang, terlebih dahulu minta surat izin berlayar atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) di kantor Syahbandar. Surat ini berlaku seminggu.

“Tapi karena tong pigi melaut tara sampe satu minggu langsung pulang. Jadi setiap mau pigi lagi tong harus minta surat ijin. Kadang dua hari atau tiga hari masa berlaku,” akunya.

“Ijin itu capat saja. Tergantung tanda tangan dari pihak Syahbandar.”

Husen bilang, ketika mengurus izin, pihak Syahbandar naik ke Pajeko mengecek perlengkapan. Baik itu pemadam kebakaran, bantal renang, dan dokumen berupa; kesehatan kapal, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIP), kelengkapan alat komunikasi, hingga dokumen kelaikan pengawakan kapal dengan jarak tempuh 60 mil.

Ketika Pajeko berjalan menyusuri laut Pulau Halmahera menuju perairan Kecamatan Ibu, Halmahera Barat. Foto: Rajuan Jumat/LPM Aspirasi

“Kalau so ada berarti aman sudah. So bisa barangkat,” ujarnya.

Dia cerita, pernah suatu kali Pajeko yang dia kepalai dibekuk pihak terkait gegara radio komunikasi milik mereka rusak dan tengah diperbaiki. Ia lalu di introgasi seharian di kantor Syahbandar.

Kisah lain yang dialami Husen juga soal wajib vaksin. Seyumnya lebar saat ceritakan kembali.

Surat izin berlayar tidak dikeluarkan petugas hanya karena kartu vaksinya lupa dibawa. Petugas tidak percaya kalau Husen sudah divaksin. Dia lalu menunjukkan KPT ke petugas dan mereka verifikasi di aplikasi pedulilindungi. Benar saja, nama Husen ada disana. Surat berlayar lantas dikeluarkan.

***

Sistem kerja di Pajeko ini terbilang adil. Yang tidak bekerja atau tidak ikut menangkap ikan sehari maka dikenakan sanksi: upah para awak dipotong 500 ribu rupiah. Uang pemotongan ini akan di simpan hingga tiba waktu gajian atau pica kongsi, uang yang dipungut dari sanksi akan di bagi rata dengan pekerja yang lain.

“Baik yang alpa bekerja maupun yang tidak alpa sama sekali. Samua dapa,” kata Paman Nyong, awak Pajeko lain saat saat tanya.

Paman Nyong kini berusia 31 tahun. Dia sudah bergelut pekerjaan nelayan sejak tahun 2004. Mulanya dia hanya seorang dibo-dibo di pasar, istilah untuk penjual ikan yang diambil dari orang lain. Namun, pekerjaan itu tidak berlangsung lama, dia kemudian ikut Pajeko.

“Dulu bolom Pajeko ini. Masih Pajeko mesin tempel 40 PK. Setelah pajeko ini datang, Bos pangge bagabung. Pokoknya Papa (Husen) di mana kita di situ,” kisahnya.

Kak Epo, keponakan Husen, juga cerita pengalamanya kalau dia telah ikut Pajeko sejak 2016 setelah lulus dari sekolah menengah atas (SMA).

Bagaimana rasanya waktu pertama kali ikut kapal tangkap ikan—dibanting ombak dan terombang-ambing di laut lepas?

“Biasa saja karena so pernah iko waktu masih sekolah. Isi waktu saat libur,” jawab Epo sambil memperbaiki ritsleting jaketnya.

Kami keasikan bercerita hingga senja benar-benar redup dan lautan tampak tenang. Pajeko mulai memasuki perairan laut depan Desa Todahe, Kabupate Halmahera Barat. Udara dingin mulai menusuk kulit yang hanya dilapisi kaos oblong dan celana panjang jeans. Sesekali, saya menggigil.

Saya terpaksa masuk dan berdiam diri di dalam ruang komando yang dinahkodai secara bergilir oleh awak Pajeko. Kemudi berganti dari tangan ke tangan nahkoda lain hingga kami tiba di daerah Ibu pada pukul 20.26 WIT. Sekira setengah jam kemudian, Pajeko sandar di dermaga Desa Bataka, di daerah Ibu bagian selatan, Halmahera Barat.

Di Bataka, kami jemput Mansur, seorang warga Desa Gamkonora, Ibu Selatan. Dia pemilik rumpon (salah satu jenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di laut). Lelaki berusia 38 tahun ini tahu betul daerah tangkapan disini. Termasuk rumpon-rumpon yang dia pasang di laut lepas.

Jarum jam di ponsel sudah di angka 21.50. Mereka perkirakan, dengan kecepatan Pajeko, kami akan tiba di rumpon pada jam satu tengah malam.

Saya lihat Mansur menyerahkan sehelai kertas yang tertulis huruf dan angka kepada Husen yang duduk di depan kemudi. Semacam petunjuk dengan alat navigasi Global positioning Sistem (GPS).

“Ini dia pe petunjuk. Samua so ada di sini,” kata Mansur.

“Kalau so ada petunjuk seperti ini, enak. So tara lagi raba-raba,” jawab Husen, sembari menyetel navigasi sesuai petunjuk yang tertera di kertas.

“Barang ini [GPS] kalau so tunjung tu so tara meleset,” tawa kecil di ruang  itu pecah.

Pajeko berjalan perlahan dari pelabuhan Bataka. Ia di setir Hijrah, menantu Husen. Sejarak 10 mil, kemudi pindah ke tangan Riski Adam, awal lain.

Di bawah silau bulan ke dua belas malam, Pajeko yang disetir Kocek, biasa orang menyapa Riski, terus melaju membelah malam dan ombak yang sekali datang mengetarkan lunas kapal.

Di atas meja ruang komando, ada beberapa batang rokok surya dan secangkir kopi kapal api yang temani Kocek menyetir. Lelaki berusia 22 tahun itu melihat sayup-sayup cahaya lampu di laut lepas dari kejahuhan, yang kadang muncul dan hilang. Ia menduga, itu lampu dari rumpon. Barangkali tersisa 5 mil lagi.

“Ini sudah?” tanya Kocek sambil menunjuk ke arah temaram lampu, yang sesekali redup.

“Barangkali ini sudah. Barang daerah sini so tarada lampu ni [selain itu],” sahut Mansur.

“Kemungkinan tageser kapa e. Arus kuat ni,” tambah Mansur memastikan kalau rumpon di depan sana betul-betul miliknya.

Di GPS, jaraknya tersisa 2 mil lagi.

Pukul 23.37 WIT, Pajoko kami sandar di rumpon itu. Ini tiba lebih awal dari target sebelumnya. Padahal, jaraknya 22 mil dari daratan Ibu Selatan.

Tali Pajeko lalu diikatkan pada rumpon. Imam Saman (43) dan Muhlis (60), warga Desa Gamkonora, sudah lebih dulu menunggu kami sejak siang hari di rumpon.

Rumpon ini dibikin secara tradisional. Ia terbuat dari beberapa gabus. Lantainya setengah papan dan setengah bambu yang direkatkan dengan tali. Dindingnya dari daun pohon sagu. Sisi kiri dan kanannya, terdapat empat buah lampu Philips masing-masing 30 watt yang tergantung. Cahayanya terang sekali. Menembus ribuan ikan di seputaran rumpon itu.

Para awak mulai berbincang-bincang. Yang lain beristriahat.

Rumpon milik warga yang terapung di 22 mil perairan Ibu Selatan, bagian barat Pulau Halmahera.


***

RABU 12 JANUARI 2022. Pukul enam pagi, para awak siap siaga. Pukat di buang pada kedalaman 53 meter mengelilingi rumpon. 15 menit kemudian, pukat ditarik kembali. Hasilnya tidak cukup target untuk memenuhi 2 petak palka ikan. Sementara, yang didapat sekitar 2-3 ton dari jenis ikan madidihang (tuna sirip kuning), komo (tongkol) dan sorihi (kembung).

“Samua tergantung rejeki. Kadang kalau dapa banya to, ikan sampe so tara mampo tong ambe. Palka muka-belakang ponong,kata Husen, mengenang.

Karena hasil tidak sesuai target, Husen putuskan memutar haluan kemudi ke arah pesisir utara daerah Ibu, Halmahera Barat.

Daerah yang dituju merupakan salah satu haul. Pesisirnya terdapat tujuh rumah. Rata-rata bangunanya dibikin setengah semen, setengah papan. Atap rumahnya sebagian dipakai daun dari pohon sagu dan seng.

Pajeko mangkir di pesisir laut daerah ini dan pukat yang sudah dipakai lalu diberishkan. Hingga siang hari, menu makanan kami nasi dan ikan goreng. Semua makan dengan lahap.

 Setelah makan siang, pukat kembali di tarik ke dek bagian depan. Mesin dihidupkan. Pajeko hasa-hasa kemudian dari utara ke selatan daerah Ibu di dermaga Bataka.

Pajeko mangkir di Bataka cukup lama. Hingga sore.

Saat matahari benar-benar terbenam, Pajeko kembali menerjang laut ke rumpon. Namun, cuaca di laut tidak bersahabat. Deru angin cukup kencang. Ombak berulang kali menebas lunas Pajeko. Kami semacam disergap di tengah bunyi gemuruh dan diayun ombak sana-sini.

Hingga Pajeko tiba di rumpon, cuaca masih buruk. Gerimis melanda. Lantai Pajeko licin. Dengan hati-hati, awak Pajeko berusaha merekatkan tali di rumpon.

Embusan angin dan amukan ombak tak berhenti hingga fajar menyingsing pada 13 Januari dari bebukitan di bagian timur pulau Halmahera. Pukat batal diturunkan.

Para awak Pajeko mengeluh cuaca yang kian buruk hari itu. Gelombang dan badai di lautan semacam ‘petir’ menebas asa. Mereka harus terima hasil tangkapan menurun.

HadoohKalao so sampe rompong kong tara mangael tu manyasal.”

 

KEMUDI Pajeko putar haluan menuju ke Sofifi, ibukota Maluku Utara. Di dermaga pelabuhan Sofifi, para tengkulak pembeli ikan menunggu dengan mobil pikap, yang terdapat box dan takaran ikan.

“Kita punya kamuka e, kita punya kamuka...” sambut para tengkulak, disusul suara yang sama saling bersahutan dengan yang lain.

“Ikan sadiki saja jadi tong baku bage-bage. Baku mangarti saja,jawab Husen, menengahkan.

Ikan yang dijual ke tengkulak per takaran di atas harga 2 juta rupiah. Satu takaran bila penuh bisa mencampai 110 kilogram. Kalau ukuran sesuai, paling di 97 kilogram.

Husen dan awak Pajeko juga sudah siapkan beberapa takar buat makan dan di jual ke warga yang datang beli langsung di dermaga. Biasanya, yang datang itu orang dewasa, anak-anak, laki-laki maupun perempuan.

Diantara mereka, biasanya, telah membawa kantong plastik dan sebagian meneneteng karung.

Mereka menyerobot:

Kita punya 10 ribu.

 Kita punya 20 ribu.

 Saya 50. Saya punya 100.

Begitu, suara-suara yang muncul di tengah kerumunan orang di  dermaga menyerobot ikan membeli eceran.

Hasil ikan jual eceran, masuk saku para awak Pajeko. Istilah mereka “Cari harga rokok”.

Jadi kalau ada yang datang beli ikan 10 ribu sampai 100 ribu, itu torang yang tentukan da pe jumlah ikan. Mau kase berapa ekor, karna tara pake timbangan,ujar Husen sambil mengepul asap rokok seleranya.

Sekitar tiga jam ikan di Pajeko selesai di bongkar. Para awak siap lepas landas. Kemudi Pajeko putar haluan ke pesisir bagian timur Tidore Kepulauan.

Dari situ, Pajeko hasa-hasa kembali di Pulau Maitara.

Jarum jam menunjuk angka 19. Tandanya sudah malam.

Kami tiba ditempat semula.


Editor: Rabul Sawal

*Mahasiswa Antropoligi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun. Anggota Lembaga Pers Mahasiswa Aspirasi.

 

 

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama