Stop! Jangan Nikahkan Anak di Usia Dini, Berikan Mereka Edukasi

 

Protes menikah usia dini. Foto: medcom.id
 

Oleh: Nurdafni K. Hamisi* 

Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, juga menorehkan berbagai permasalahan. mulai dari fluktuasi jumlah kematian manusia, meningkatnya kemiskinan, memangkas demokrasi, pun peningkatan pernikahan dini.

Untuk masalah terakhir itu, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama punya data selama Januari-Juni 2020. Ada 34 ribu pengajuan dispensasi nikah. 97 persen ajuan dikabulkan dan 60 persennya anak di bawah 18 tahun. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 23.700 permohonan. 

Kenyataan itu, makin mengukuhkan persoalan hak asasi manusia, terutama kelompok anak di bawah umur yang selalu memburuk. Juga membuktikan bahwa pernikahan dini masih menjadi permasalahan sosial yang pelik, kompleks, serta multidimensi.

Krisis ekonomi akibat Corona sebenarnya memiliki andil atas maraknya kasus ini. Pernikahan anak lebih sering dijumpai dalam kalangan miskin, meskipun terdapat juga dalam keluarga ekonomi kelas atas. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) 3,06 persen pemuda Indonesia menikah di bawah usia 15 tahun. Jumlah itu berasal dari masyarakat kelas bawah. sementara 1,85 persen dari keluarga kelas menengah pada 2020.
 
Hal serupa terjadi pada pemuda yang menikah di usia 16-18 tahun. Mayoritas berasal dari 40 persen kelompok ekonomi terbawah. Sebaliknya, hanya 9,27 persen yang berasal dari kelompok ekonomi teratas. Problem kesejahteraan membuat orangtua memilih menikahkan anaknya. Lebih-lebih anak perempuan yang paling sering jadi korban. Orangtua tidak mampu memenuhi biaya pendidikan dan cenderung melihat anak perempuan sebagai beban ekonomi keluarga. Solusinya menikahkan sedini mungkin, karena anggapan kolot anak perempuan akan di biayai suaminya sehingga mengurangi beban keluarga.

Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai. Pernikahan dini menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena punya tanggungjawab baru. Sebagai istri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah. Mereka berperan lebih banyak mengurus rumah tangga, pun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.

Penutupan Sekolah di masa pandemi COVID-19 juga merubah tatanan kehidupan masyarakat. Sistem pembelajaran kini dilakukan dalam jaringan (daring), namun pola ini tidak optimal. Anak didik, sekolah, dan keluarga pun tidak siap menghadapi perubahan pembelajaran, dan sulit beradaptasi dengan menerapkan kebiasaan-kebiasaan baru. Orang tua merasa kebingungan untuk melakukan pembelajaran di rumah.

Mengurangi aktivitas siswa di sekolah  menjadikan kegiatan pendidikan diremehkan, bahkan membuat banyak siswa putus sekolah akibat di perhadapkan pada situasi bekerja atau menikah. Padahal kegiatan sekolah penting dalam memaksimalkan waktu belajar dan aktivitas siswa yang lebih progres.

Penutupan sekolah juga membuka ruang anak yang sudah memiliki hubungan pacaran melakukan pertemuan lebih intens. Hal itu bisa merujuk pada hal-hal kekerasan, terlebih anak-anak dibawah umur cenderung  labil. Keinginan tinggi mencoba hal-hal baru, ketika mereka tdak mempunyai pengetahuan tentang seks, maka dengan dalil ‘mencoba’, melakukan hubungan seks.

Ketika terjadi kehamilan yang tidak di rencanakan, dengan kultur "nama baik keluarga" maka anak harus segera dinikahkan. Konstruk pikir masyarakat semacam ini masih awet dan terus berkembang di masyarakat kita.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan perkawinan, namun melakukannya di usia dini bukan tanpa risiko, sehingga tak bisa disepelehkan, apalagi bagi perempuan. Kehamilan di bawah umur dapat menyebabkan penyakit kanker serviks, eklampsia, puerperal endometritis, dan systemic infections. Melahirkan sebelum usia 15 tahun juga berisiko meninggal lima kali lebih besar dibandingkan usia 20 tahun ke atas.

Tak berhenti sampai situ, bayi yang dilahirkannya memiliki risiko mengalami mortalitas dan morbiditas 50 persen lebih tinggi, serta cenderung prematur dengan berat badan lahir yang rendah.

Secara psikologi anak di bawah 19 tahun lebih emosional yang dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. laki-laki yang menganggap posisinya lebih berkuasa (superrior) dari perempuan akan melakukan tindak semena-mena terhadap istri.

Menikah di usia ini pun menimbulkan kecemasan, stres, dan depresi karena psikis yang belum maksimal dan stabil dalam menerima tanggung jawab baru. ini berpotensi merenggut hak anak (the best interest of the child) dengan kata lain, korban dipaksa jadi lebih dewasa dan cenderung kehilangan jati dirinya, bahkan bisa merujuk pada bunuh diri karena depresi yang berlebihan.

Sementara anak lelaki tentu saja lebih memilih bekerja demi menafkahi anak dan istri. Tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki yang masih memiliki sifat kekanak-kanakan akan pergi bermain bersama teman sebayanya, dan tidak memenuhi tanggung jawab sebagai suami, maupun ayah.

Pendidikan memainkan peran penting dalam membangun kesadaran tentang pengetahuan. Memastikan anak perempuan memperoleh keterampilan dan pengetahuan untuk mencari pekerjaan demi menghidupi keluarga mereka, ini juga dapat membantu memutus kemiskinan dan mencegah pernikahan dini.

Ketika anak perempuan dipersenjatai dengan pengetahuan tentang hak-hak mereka dan didukung oleh anak seusianya, mereka mampu untuk berdiri dan mengatakan “TIDAK” untuk ketidakadilan seperti pernikahan dini.

Orang tua juga menjadi tonggak serta pendukung yang paling berarti dalam segala aktivitas anak, terutama dengan mendidik dan selalu mengarahkan pada hal-hal baik. Penguatan motivasi dan selalu mengedukasi tentang dampak buruk pernikahan dini bagi anak tentu menjadi hal yang sangat dibutuhkan baik untuk mental, serta fisik anak.

Edukasi kesehatan reproduksi, relasi sehat, gender, dan akibat kehamilan yang tidak direncanakan menjadi sosialisasi menarik dan penting dilakukan. Perempuan kuat dengan segala kelebihan dan daya pikir yang hebat. Tetapi terkadang para perempuan malu dan takut untuk melangkah lebih jauh karena pelabelan “perempuan adalah makhluk lemah, penghambat revolusi."

Pernikahan bukan perlombaan yang cepat dia dapat, atau sekadar ritual untuk menyatukan dua insan yang dimabuk asmara pun tak muluk soal kesenangan semata. Membangun relasi yang sehat dalam pernikahan butuh pemahaman dan persiapan yang baik.

Disisi lain, negara harus hadir untuk menghentikan perkawinan dibawah umur dengan melakukan intervensi sistematik, baik pengentasan kemiskinan, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, edukasi, kesetaraan gender dan menaikkan batas minumum usia pernikahan. Gunanya apa? Agar anak-anak tidak kehilangan masa kecil untuk mengembangkan kehidupan sosialnya dan tidak kehilangan waktu bermain. []

*Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Unkhair. Anggota Lembaga Pers Mahasiswa [LPM] Aspirasi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama