Titik Terang Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Unkhair

Diskusi di ruang Aula Babullah, Lantai 4 Gedung Rektorat Unkhair pada Selasa (16/11/21) Foto: Panji/LPM Aspirasi

LPM Aspirasi – Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi merupakan langkah maju di tengah keresahan akan tingginya angka kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Hal ini dikemukakan para pembicara dalam serial diskusi LPM Aspirasi bertajuk “Permendikbud Ristek & Upaya Penanganan Kekerasan Seksual di Unkhair” yang dilaksanakan pada 16 November 2021 di ruang Aula, Lantai 4 Gedung Rektorat Universitas Khairun Ternate.

Seri diskusi ini menghadirkan pembicara Dr. Syawal Abdulajid, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Arisa Murni Rada, Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Unkhair, dan Harisa Torano, Menteri Keperempuanan Badan Eksekutif Mahasiswa Unkhair.

Dalam sambutan, Syawal Abdulajid menjelaskan bahwa regulasi tersebut saat ini tengah menjadi bahan debatable yang hangat. Ada pro dan kontra, baik dari akademisi, politisi, maupun tokoh agama dalam menanggapi kebijakan Kemendikbud ini.

Meski begitu, kata Syawal, sebagai bagian dari pendidikan tinggi, Universitas Khairun Ternate akan berupaya untuk mendukung kebijakan pemerintah. "Ini sudah menjadi keputusan pemerintah, keputusan kementrian untuk dilaksananakan, kita tetap akan melaksanakannya."

Ia juga menjelaskan aturan ini merupakan langkah yang progresif untuk menekan angka kekerasan seksual yang terjadi, khususnya di lingkungan kampus.


Syawal Abdulajid, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan memberikan sambutan dalam serial diskusi LPM Aspirasi di ruang Aula Babullah, Lantai 4 Gedung Rektorat Unkhair, pada Selasa (16/11/21) Foto: Darman Lasaidi/LPM Aspirasi

Dalam Permendikbud Ristek ini menganjurkan kampus untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagaimana termuat dalam Bab IV. Namun sebelum Satgas ditentukan, kampus wajib membentuk Tim Seleksi yang terdiri dari pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.

"Maka itu sekarang Rektor sudah menindaklanjuti Permen ini. Sudah mengirim tim seleksi ke kementerian untuk di SK kan oleh Menteri [Nadiem] untuk menjadi tim seleksi. Jadi sudah mengusulkan nama ke kementrian," ungkap Syawal. 

Syawal juga mengajak mahasiswa yang sudah punya pengalaman melakukan pendampingan kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan agar mau melibatkan diri menjadi anggota Satgas.

Catatan Penting Permendikbud Ristek

Arisa Murni Rada berkata, Permendibud Ristek hadir untuk merespon bagaimana kekhawatiran atau kegusaran para korban yang selama ini semakin banyak dan tentu tidak punya payung hukum.

Dia bilang, jumlah angka kekerasan seksual yang termuat dalam data-data riset merupakan jumlah yang melapor. Sementara masih banyak lagi the dark number [kejahatan yang tersembunyi] korban yang tidak mau melaporkan.

Hal ini merujuk pada laporan mendalam kolaborasi media bertajuk #NamaBaikKampus terkait pelbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia. Reportase ini memuat testimoni dari 174 penyinyas, di 79 kampus dari 29 kota.

Data Komnas Perempuan juga merilis pada Oktober 2020  menujukan terdapat  sekitar 27%  aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi  dalam rentan waktu  antara tahun 2015-2020. 

Fakta-fakta ini, lanjut Arisa, menjadi urgensitas terbitnya Permendikbud Ristek.

“Untuk lingkup Unkhair pernah terjadi bahkan banyak tetapi yang tadi saya bilang, the dark number itu bahkan lebih banyak lagi. Mereka takut untuk melaporkan karena ada semacam kurang percaya terhadap sistem," kata Arisa.

Arisa menilai keengganan untuk melaporkan masalahnya ke pihak kampus, karena ketidakpercayaan korban pada sistem, ketiadaan aturan, atau mekanisme yang handal.

Ketiadaan aturan secara internal dan mekanisme aduan pelaporan hingga pendampingan di perguruan tinggi ini jadi satu sebabnya. “Itu yang tidak jelas, yang membuat keengganan dia untuk melapor.”

Relasi Kuasa dan Ketidaklaporan

Dalam Permendikbud Ristek, kekerasan seksual didefinisikan “setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan atau menyerang tubuh dan atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa, dan atau gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan atau fisik dan termaksud yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang, dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”

Fariabel ini, kata Arisa harus terdefenisikan dengan baik agar memberikan batasan defenisi yang jelas. Tujuanya agar tidak ada pemahaman yang bias tentang kekerasan seksual.

“Kenapa banyak sekali terjadi kekerasan seksual? ada keys yang berhubungan dengan kekerasan seksual yang menimpa perempuan, ungkapnya. “Dalam banyak riset membuktikan  bahwa  penyebabnya karena relasi kuasa.”

Relasi kuasa menimbulkan seseorang itu menganggap bahwa dia punya hak untuk melakukan kekerasan seksual, atau punya hak untuk dilayani hasrat seksualnya. 
Arisa Murni Rada, pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Unkhair, saat memberikan materi di serial diskusi yang digelar LPM Aspirasi di ruang Aula Babullah, lantai 4 Gedung Rektorat Unkhair pada Selasa (16/11/21) Foto: Panji/LPM Aspirasi


Misalnya, Arisa bilang kekerasan seksual yang dilakukan seorang ayah kepada anak, paman kepada keponakan, dosen dan pegawai kepada mahasiswa.


“Itu yang disebut relasi kuasa. Karena yang punya kuasa atau yang punya jabatan merasa superior untuk melecehkan yang rentan, hal itu yang kemudian melemahkan posisi korban,” terangnya.


Relasi kuasa tidak hanya dipengaruhi oleh gender, melainkan kata Arisa juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya, ekonomi, politik, juga karena kondisi fisik maupun, mental seseorang. Apalagi mental orang itu sudah lemah jadi pasrah.


Ketimpangan relasi kuasa terjadi, kata Arisa, ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan dari pada korban.


“Dalam beberapa keys pelecehan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, terkadang dosen memiliki posisi yang lebih dominan kemudian mahasiswanya merasa kalau dia tidak melayani permintaannya, bagaimana nasibnya untuk bisa proposal, kalau itu terjadi dalam proses pembimbingan."


Yang Harus Dilakukan Kampus


Arisa bilang kampus harus berupaya semaksimal mungkin memberikan ruang aman dan nyaman dalam aktifitas di lingkungan kampus.


Sementara, dalam Permendikbud Ristek juga telah jelas menyebutkan pembentukan Satgas untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.


"Satgasnya harus dari orang-orang yang kompeten, karena nantinya dia sebagai tim pemeriksa," kata Arisa.


Dosen di Fakultas Hukum Unkhair ini berkata, hal lain yang harus ada ialah kesadaran dan kepekaan seluruh warga kampus, karena Permen ini ruang lingkupnya tidak terbatas pada mahasiswa, melainkan dosen, tenaga kependidikan, serta ada masyarakat umum yang punya relasi dengan kegiatan Tri Darma.


“Tujuannya dari semua ini utuk meminimalisir agar tidak melakukan atau tidak terjadi lagi kekerasan seksual.”


Kalau mau Permen ini efektif, tegas Arisa, harus ada sosialisasi tentang isu-isu pencegahan kekerasan seksual dan bikin aturan Rektor tentang pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual, pengembangan mekanisme layanan. 


“ini paling penting, karena disini mekanisme pelaporan yang sudah secara rinci diatur dalam pasal per pasalnya.”


Sementara kalau ada kekerasan yang terjadi di lingkungan kampus, Syawal Abdulajid bilang harus segera dilaporkan. Mereka sebagai pimpinan universitas setiap saat menampung aduan tersebut.


"Kami akan membentuk tim pemeriksa untuk melakukan tindakan hukum agar semua orang merasa aman dan nyaman dalam melakukan aktifitas di kampus,” tandanya.


Permendikbud Ristek ini dianggap tegas oleh Syawal karena sudah dibuat baromenter kekerasan seksual. bahkan siulan juga merupakan kekerasan seksual.


"Tidak ada alasan untuk melakukan siulan, misalnya ke perempuan. Tidak ada kesenian dalam bersiul ke orang lain, itu pelecehan seksual, jadi kalau ada yang begitu, lapor ke Satgas untuk di periksa.”


Baginya ketegasan dari aturan ini karena semata-mata untuk melindungi semua pihak dalam proses aktivitas di lingkungan kampus agar berjalan normal.[]



Reporter: Darman Lasaidi

Editor: Rabul Sawal

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama