Mengulik Dunia Muslimah yang Diperdebatkan

Buku Muslimah yang Diperdebatkan (Foto/Koleksi Pribadi)

Judul: Muslimah yang Diperdebatkan
Penulis: Kalis Mardiasih
Penyunting: Moddie Alvianto Wicaksono
Penerbit: Buku Mojok
Tahun Terbit: 2019
Tebal: xii + 202 Halaman.

“Mengapa perempuan selalu salah? Mengapa ia tidak boleh bicara? Mengapa perempuan harus menjadi pihak yang paling ikhlas, paling sabar, paling tidak boleh melawan?”

Kalis Mardiasih dalam buku ini fokus membahas perihal tubuh, kemanusiaan, religiusitas dan berbagai pengalaman perempuan lainnya. Perempuan yang konsisten menulis isu-isu perempuan diberbagai media daring ini menguak berbagai macam hal, terutama hak-hak perempuan yang terhalang oleh pandangan kolot dan naif dalam kultur masyarakat.

Kumpulan tulisan Muslimah yang Diperdebatkan (2019) adalah salah satu bukunya yang fenomenal, yang lahir dari isu mutakhir keislaman dengan membicarakan otoritas perempuan dalam berpendapat.

Dengan tegas dan tajam Kalis mengkritik dunia Islam saat ini yang terkesan eksklusif dan cenderung melihat perempuan yang sering bersinggung dengan nilai-nilai keterbukaan dunia luar menjadi potret yang penuh dosa. Sebaliknya perempuan yang tertutup tidak banyak tersinggung dengan dunia luar dibalut dengan ‘mampu menjaga kehormatan dirinya’.

Cara pandang macam itu menurut Kalis terbentuk dari kultur masyarakat yang patriarkis. Perempuan dilihat berperan hanya sebagai fungsi biologis yang jadi entitas sosialnya. Akibatnya, kemampuan perempuan terbatas pada; mampu merawat, melindungi, mengurus dan memiliki sifat keibuan. Penuh kasih sayang dan bahkan harus bersedia berkorban sebagai perwujudan dari watak feminim. 

Kalis berpendapat, pandangan seperti ini juga merugikan laki-laki. Karena laki-laki juga harus senantiasa terlihat kuat dan jika secara ekonomi lemah, maka dia dinilai gagal. Apalagi fisiknya tampak tidak maskulin maka bakal diolok-olok sebagai lelaki abnormal.

Tidak jarang laki-laki yang tidak mampu menanggung beban ini melimpahkannya melalui kekerasan terhadap anak, istri, pasangan, ataupun masyarakat yang berada disekitarnya.

Tafsir Konyol Kaum Muslim Terhadap Perempuan

Kalis Mardiasih mulai dikenal publik ketika tulisannya yang berjudul “Sebuah Curhat untuk Girlband Hijab Syar’I” terbit di situs Mojok.co. Kalis mengambil satu opini Humairah Hanif “so please start accepting me for what is in my head, rather than what is on it”. Dalam opini ini Humairah meminta kepada masyarakat agar dapat melihat isi otaknya, dengan tanpa mengungguli jilbab yang ada dikepalanya. 

Benar bahwa jilbab adalah identitasnya sebagai seorang muslimah. Jilbab tidak memiliki kesalehan, moralitas, ataupun gerakan perlawanan tertentu. Terlalu remeh menyetarakan kesalehan seseorang dengan selembar kain tipis yang ada dikepalanya.

Pelajaran kebaikan seperti keikhlasan, tawakal, serta mengasihi lebih cenderung melibatkan pergulatan batin yang lebih rumit dari sekedar kain.

Perempuan yang lahir di Blora, 16 Februari 1992 ini juga beberapa tahun belakangan menyoroti kasus terkait artis yang memutuskan melepaskan jilbabnya dan berbicara “mereka yang beragama justru yang paling keras menghujat saya dan membuat saya takut”. Padahal masih banyak hal yang perlu dibela daripada urusan pribadi seseorang misalnya masalah kekerasan seksual, masalah kemiskinan, masalah pendidikan yang justru lebih bermanfaat bagi banyak orang.

Ketika kerudung menjadi batasan untuk tidak melakukan apapun. Selembar kain jilbab mau tak mau harus menjadi aturan yang mengikat fisik. Tidak hanya itu perempuan dengan pakaian panjang dan kerudung diharuskan tidak bisa bersuara keras, harus kalem  dan aturan-aturan yang membatasi gerakan perempuan yang lainnya.

Kalis mengambil contoh dengan melihat sturktur kekuasaan ala Orde Baru Soeharto cukup maskulinitas—bahkan hingga saat ini. Perempuan, pada masa rezim militeristik ini dibungkam dan ditempatkan pada posisi yang lemah. Organisasi-organisasi perempuan diberangus dan digantikan dengan Panca Dharma Wanita. 

Konsekuensinya, perempuan hanya dinilai sebagai pembantu—jika tidak mau disebut budak dalam pengertian sesungguhnya—laki-laki. Baik upah, posisi dalam struktur, dan kompetensi hanya dihargai kecil dan berada pada tempat-tempat yang tidak strategis. Misalnya hanya sebagai sekertaris dan bendahara. Sehingga tidak heran, bila relasi kuasa yang didominasi laki-laki ini dimanfaatkan untuk melanggengkan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

Melihat Kesalehan dari Jilbab Syar’i dan Tertindasnya Perempuan

Banyak artis-artis yang dilebeli hijrah berakhir dengan pemasaran produk-produk kapitalisme seperti hijab syar’i, sampo, make up, dan lain sebagainya dengan lebel lebih Islami. Percayalah memakai simbol kesalehan lalu berjualan produk-produk dengan lebel Islami bukanlah jalan hijrah satu-satunya. Proses hijrah merupakan proses yang mengiringi sepanjang hidup seseorang.

Disini kita diperlihatkan dengan narasi-narasi yang membedakan kain kerudung di kepala artis yang berhijrah dan kemudian membuka lini bisnis fashion muslimah, dengan kain burqa dan cadar seorang muslimah di Pakistan. Secara materi kain yang digunakan sama. Sama dengan kain untuk membuat baju, celana, taplak, bando, atau serbet. 

Mengamati seorang politikus perempuan yang secara tiba-tiba memakai jilbab pada saat menjelang masa pilkada dan pilpres, atau juga seorang politikus laki-laki yang tiba-tiba memakai baju koko dan peci di tambah dengan foto berkunjung ke  pesantren dan mencium tangan seorang kiai atau tokoh agama. 

Kini simbol agama telah menjelma menjadi bahasa komunikasi politik. Negara yang kuat dengan norma agamanya sering berpikir bahwa simbol-simbol agama yang dikenakan seseorang membuatnya menjadi lebih salih.

Padahal kain kerudung ya kerudung. Jika ada yang menganggap selembar jilbab itu pakaian kesopanan yah sah-sah saja. Jika perempuan berjilbab mampu melakukan sesuatu untuk kemajuan daerah atau bangsanya itu karena memang dia mampu, atau seseorang perempuan berjilbab melakukan satu tindakan yang melanggar hukum itu karena tindakannya yang tercela, karena pilihan sikapnya dan bukan karena sebab jilbabnya.

Kalis juga banyak menulis bagaimana pandangan-pandangan orang muslim terhadap perempuan. Banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang pada masyarakat dinilai bahwa perempuan-lah yang salah. Karena alasan tidak memakai pakaian yang pantas, tidak menutup aurat. 

Menjadi budaya kawin muda karena mitos menolak lamaran seseorang dapat mengakibatkan dia tidak akan mendapatkan jodoh, meskipun masih dalam usia belasan tanpa persiapan mental. 

Poligami seorang lelaki dianggap menjalani sunah Rasulullah dan perempuan harus dituntut ikhlas atas hal itu. Juga pada kasus kekerasan dalam rumah tangga justru perempuan dipaksa menerima kenyataan dan harus sabar dengan alasan lelaki itu akan berubah sikapnya kelak.

Atas hal itu, Kalis juga mengatakan dinding pembatas perempuan ada tiga hal. Pertama adalah tradisi, sering sekali perempuan dibatasi dengan tradisi-tradisi yang kontra dengan keinginannya. Kedua doktrin agama, mengatasnamakan agama tapi tidak melihat realitas sosial yang terjadi. Dan ketiga kapitalisme, yang memandang tubuh perempuan hanya sebatas aset yang boleh diobjektifikasi pada dinding iklan, dan juga bahasa media yang membatasi perempuan hanya dengan kata “cantik” atau “seksi”.

Baru-baru ini ada sebuah berita yang di dalam berita itu ada bisnis A Wedding yang melanggengkan pernikahan dini, menulis perempuan seakan beban yang di tanggung keluarga. Olehnya harus secepatnya menikah dan meringankan beban keluarga. Ini adalah landasan pemikiran yang konservatif bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua yang tidak mampu memberikan dampak ekonomi pada sektor-sektor produktif.

Pandangan kolot macam ini yang harus diubah sesegera mungkin agar kita tidak terjerembab dalam kubangan kultur masyarakat patriarkis. 

Dalam satu bab di buku ini secara khusus membahas tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU PKS berangkat dari semangat anti kekerasan seksual sekaligus perlindungan terhadap korban. 

Undang-undang ini menginginkan adanya payung hukum yang jelas pada segala tindakan kekerasan seksual yang sudah tidak bisa lagi dituntaskan oleh delik pidana yang telah ada sebelumnya. 

Mengubah Pola Pikir Kita

Kalis dengan bahasa yang lugas membuat pembaca dapat cepat paham, tulisan yang santai tapi mampu menyindir. Buku pertamanya yang berjudul Berislam Seperti Kanak-Kanak (2018) yang diterbitkan oleh Gerakan Islam Cinta dan Convey Indonesia, juga merupakan salah satu buku 'unyu'--karena membahas masa kecil--dan lebih memberikan kita pemahaman bagaimana Islam Nusantara berkembang dengan baik dan pesat sejak awal masuknya di bumi Indonesia.

Kalis dalam buku Muslimah secara lugas mengajak kita melihat dari sudut pandang baru dan terbuka dengan hal-hal yang substansial. Diantaranya menjamin hak kesetaraan bagi perempuan, memberi ruang dan peran publik dalam berbagai profesi, mengubah pola pikir dan memberi perhatian terhadap kalangan yang terpinggirkan. 

Agar budaya, perubahan tatanan sosial dan ekonomi, dan tafsiran agama yang melekat pada kalangan tertentu, terutama yang berbasis pada ketidakadilan, intoleran, dan diskriminasi terhadap perempuan tidak secara serempak terjadi.

Kita juga harus mengubah pola pikir kita dan pandangan yang dijejali stigma buruk terhadap muslimah dari cara pandang mainstream atau penceramah-penceramah kondang yang patriarkis.

Terakhir, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Selain  memiliki bahasa yang sederhana dan menyajikan data-data otentik, juga narasi-narasi yang sangat sesuai dengan fakta sosial yang terjadi saat ini.[]

Peresensi: Susi H. Bangsa
Editor: Ajun


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama