![]() |
Ilustrasi gambar alat berat: pixabay |
MAU TIDAK MAU, suka tidak suka daerah kepulauan rempah-rempah ini sudah dikepung industri esktraktif, pemain utamanya industri pertambangan. Mulai dari pulau Gebe, Halmahera Tengah hingga pulau Taliabu. Jumlah izin dan wilayah konsensinya tak sedang bermain-main angka: 313 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan ratusan ribu bahkan jutaan hektar.
Hampir di seluruh kepulauan Halmahera tak ada "tanah kosong" yang tak dikeruk hasil alamnya. Kerusakan ekologi tak bisa dibendung sepanjang beberapa tahun terakhir. Perubahan cuaca, krisis iklim, degradasi lingkungan, perampasan lahan, tercemarnya air sungai, laut dan udara, hingga kriminalisasi warga dan ketidakadilan gender terus terjadi.
Pertanyaannya adalah siapa dalang atau aktor dibalik izin-izin industri kotor dan merusak ini? Untuk menunjuk langsung aktornya, saya kira agak sulit karena (mungkin) belum ada riset yang membongkar praktik ijon politik dan aktor-aktor kunci yang memfasilitasi izin konsesi pertambangan di daerah ini.
Namun, secara umum kita tentu mengerti hubungan mesra antar pebisnis industri keruk dan elit politik yang dahulu, sekarang dan sedang ikut perhelatan politik elektoral kali ini sudah berjalan sejak lama. Yang mencalonkan diri saat ini juga sebagian besar orang-orang lama dalam politik dan beberapa yang lain baru, namun terkait kuat dengan pebisnis termasuk dengan petahana.
Seperti kita tahu, saat ini ada enam daerah di Maluku Utara dari delapan daerah yang ikut pesta elektoral tanggal 9 Desember besok. Beberapa daerah sudah memiliki puluhan izin pertambangan. Sebut saja Pulau Taliabu, Kepulauan Sula, Tidore Kepulauan, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Halmahera Barat.
Sementara Ternate dikepung proyek reklamasi. Morotai dan Halmahera Tengah juga daerah dengan izin industri tambang yang tak kalah jumlahnya. Dua daerah ini akan melangsungkan Pilkada tahun depan.
Ijon Politik dan Oligarki Tambang
Dalam laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2019 lalu menemukan pola kerusakan alam terkait kuat dengan praktik ijon politik sejak tiga tahun terakhir. Puncaknya waktu pemilihan presiden dan wakil presiden serta legislatif 2019 lalu.
Pada rentang waktu 2017, mereka menemukan sebanyak 7.18 IUP atau 82,4% dari total 8.710 IUP diterbitkan pada 171 lokasi Pilkada 2018. Kemudian sebanyak 4.290 IUP terbit di 17 provinsi yang menyelenggarakan Pilkada atau hampir 50% dari seluruh IUP di Indonesia.
Ribuan izin ini di dapat dari mana? Tentu tidak mungkin jatuh dari langit. Atau hadiah dari tuhan. Elit politik yang mencalonkan diri inilah yang membuka akses dan karpet merah melalui obral izin kepada pebisnis industri tambang.
Merah Johansyah koordiantor Jatam dalam banyak disksui akhir-akhir ini menyatakan daerah-daerah yang kaya sumber daya alam dan memiliki konsesi pertambangan dan industri keruk lainnya sangat mudah disusupi oligarki dan praktik ijon politik. Apalagi kebutuhan kampanye kandidat seperti laporan KPK bisa menghabiskan 20-60 miliar.
Dapat uang sebesar itu dari mana? Tidak ada pilihan lain, praktik ijon bakal terjadi disini. Ijon politik merupakan perjanjian antar para kandidat dengan oligarki tambang. Ini semacam transaksi regulasi dan kemudahan perizinan untuk kelak setelah terpilih menjadi kepala daerah. Sehingga sulit sekali proses politik elektoral berjalan bersih dan transparan.
Oligarki memang membutuhkan kemudahan kebijakan dari pemerintah di daerah dan jaminan kepastian hukum untuk kepentingan investasi. Sehingga pasca pemilihan, para pelaku oligarki bisa dengan mudah mengendalikan kebijakan atau produk hukum di daerah itu.
Dalam politik elektoral, tidak ada namanya politik independen, bersih dan terbebas dari ijon politik. Praktek ijon politik akan terus berlangsung antar pebisnis dan elit politik saat pemilu sebagai jaminan politik untuk pengamanan konsesi perizinan.
Bila kita menonton kembali film dokumenter garapan WatchDoc "Sexy Killer's", fenomena dibalik aktor-aktor kunci penyedia dana kampanye bagi pasangan calon semua melalui dari praktik ijon politik khusunya di sektor tambang.
Aktor-aktor inilah yang oleh Jeffrey Winters (2011) disebut dengan Oligark. Memiliki sumber kekuasaan tertentu di sektor kunci, khususnya ekonomi. Sumber daya ini pula yang mengantarkan oligark merebut dan memengaruhi kekuasaan dengan mudah.
Pilkada ini adalah momentum bagi oligarki untuk memuluskan agendanya. Soal bencana pandemi COVID-19 bukan hal krusial yang harus diurus dengan serius. Lihat saja kurva pandemi tidak pernah turun. Justru terjun bebas. Namun Pilkada tetap berjalan.
Warga yang ekonominya terpuruk akibat diterpa COVID-19 dibiarkan. UU Minerba serta UU Cipta Kerja dikebut sampai sah. Korupsi kebijakan sudah di mulai dari pusat hingga daerah-daerah.
Kandindat Pilkada kali ini termasuk di Maluku Utara tidak bisa tidak memfasilitasi industri keruk dan tetap melanggengkan perusakan lingkungan dan sumber-sumber hidup warga, termasuk mengusir masyarakat adat.
Silahkan periksa, usia dan jumlah industri ekstraktif pertambangan di wilayah ini. Mulai dari sebelum era reformasi, naik pasca pemekaran Maluku Utara 2003 dan melonjak lima tahun terakhir ini. Dan catatan-catatan kelam perampasan lahan dan marginalisasi perempuan di banyak tempat.
Apakah politik elektoral terbebas dari praktik-praktik korupsi sumber daya alam? Terbebas dari ijon politik dan tidak memfasilitasi oligarki pertambangan? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dalam banyak cerita-cerita dongeng pengantar tidur.[]
Ajun Thanjer
Mahasiswa Unkhair & Kru LPM Kultura