Kondisi Kelas Pekerja PT. IWIP

ilustrasi gambar buruh aksi (lpmkultura.com)

PT. INDONESIA WEDA BAY INDUSTRIAL PARK (PT. IWIP) merupakan salah satu perusahaan nickel terbesar di Asia. Perusahaan ini sebelumnya bernama PT.Weda Bay Nickel (PT.WBN) dengan investasi dari pengusaha Prancis. Kemudian saham dari PT.WBN diambil alih oleh PT. IWIP. PT. WBN sendiri sudah beroperasi selama bertahun-tahun dengan akumulasi modal yang begitu besar. Tentu pajak yang masuk ke daerah dan negara juga luar biasa. Tapi tidak ada jaminan pendidikan gratis, kesehatan gratis, perumahaan gratis untuk kelas pekerja (kaum buruh) dan rakyat. Para oligarki-lah yang menikmati.

Sejak awal masuk mengeruk sumber daya alam di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara. Tepatnya di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Halteng. Penindasan dan penghisapan masif terjadi dilakukan perusahaan terhadap pekerja. Mulai dari sistem kerja kontrak/outsorcing, politik upah murah, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal, dan lain-lain. Selain itu juga merusak ekologi serta menghancurkan ruang hidup masyarakat asli (suku togutil dan masyarakat adat). Perusahaan juga membangung ilusi jual beli tanah untuk kesejahteraan masyarakat lingkar tambang. 

Akumulasi kemarahan pun memuncak pada aksi protes yang digelar pekerja PT. Weda By Nickel dengan melakukan ekspresi secara politik, mereka membakar speed boat perusahaan pada 2011 silam. Ekspresi politik pekerja tambang itu bukannya di respon dengan perbaikan kondisi kelas pekerja. Perusahaan justru menggandeng pemerintah serta aparatus represif TNI-Polri untuk menangkap serta melakukan pengejaran terhadap para pekerja tambang.
 
Tindakan perusahaan ini adalah upaya pemberangusan ruang demokrasi pekerja tambang untuk berekspresi, berserikat, serta berpendapat. Secara hukum bisa kita sebut bahwa PT. Weda  By Nickel merupakan perbuatan melawan Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi begitulah di mata pemerintah Indonesia, melindungi perusahaan lebih penting daripada melindungi pekerja. Memang begitu logika dalam sistem neoliberalisme.

Penangkapan, intimidasi dan teror berhasil digalakkan PT. Weda By Nickel. Para pekerja kemudian tidak lagi melakukan aksi-aksi protes bersekala besar. Adapun para orginiser yang mengorganisir pekerja-pekerja tambang saat ini malah bergandeng tangan dengan perusahaan. Selama hampir beberapa tahun lamanya tidak ada lagi mobilisasi aksi-aksi untuk memprotes kebijakan perusahaan. Sampai saham perusahaan tersebut berpindah pada PT. IWIP dengan investasi dari salah satu pengusaha China.

Ada organisasi para pekerja,  Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Namun semenjak organisasi pekerja tersebut berada di perusahaan PT. Weda By Nickel, organisasi tersebut seperti berada di ketiak perusahaan. Kerja-kerja advokasi mengenai hak-hak buruh memang dilakukan namun tidak pernah dimajukan sampai pada tuntutan secara politik, yang ada hanya dengan negosiasi-negosiasi (walupun ada aksi berujung pada negosiasi) untuk tuntutan ekonomi, kecil sekali menangnya. Bahkan individu-individu dalam organisasi tersebut hanya mecari kepentingan untuk mendapatkan posisi jabatan yang baik sambil memanfaatkan anggota.

Setelah berpindah saham dari PT. WBN ke PT. IWIP, kondisi kelas pekerja tambang bukannya tambah baik justru semakin parah bahkan lebih tragis. Bahkan kondisi masyarakat asli (togutil, masyarakat adat dan masyarakat lingkar tambang) semakin parah, mulai dari kerusakan ekologis, kehilangan tanah, konflik, dan lain seterusnya. 

Mari kita uraikan lebih dalam bagaimana kondisi kelas pekerja PT.IWIP.

Perusahaan memperjakan buruh diatas 8 jam (12 jam),  tidak berlakunya surat izin resmi (surat izin sakit, izin melahirkan, izin cuti), keterlamabatan buruh 5 menit langsung berikan surat peringatan (SP-1), mempekerjakan buruh di malam hari, PHK sepihak, waktu istirahat buruh sempit tidak boleh tidur karena digabungkan dengan waktu makan, sistem kerja kontrak/outsorcing, politik upah murah, sistem kerja magang, tidak ada jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, rasisme terhadap para pekerja lokal dan TKA, tidak ada jaminan kesejahteraan terhadap TKA, dan sebagainya.

Selain itu penyediaan fasilitas yang tidak memadai dari perusahaan untuk pekerja-pekerja tambang. Seperti toilet, tranportasi, dan kebutuhan lainnya. Diperparah lagi pekerja-pekerja tambang harus diperhadapkan dengan kriditur-kreditur motor, bank, bahkan harus terlilit hutang. Beginilah cara PT. IWIP melakukan berbagai penindasan dan penghisapan terhadap pekerja tambang.

Bahkan di tengah ancaman wabah COVID-19, PT. IWIP malah tetap membiarkan pekerja tambang untuk tetap bekerja tanpa ada jaminan K3. Pemerintah bahkan tetap membiarkan perusahaan beroperasi di bawah ancaman wabah. 

Tentu apa yang dilakukan pemerintah adalah untuk melindungi perusahaan akibat dari ancaman resesi ekonomi global yang dialami kapitalisme global.
  
Dimanakah SPSI ditengah kondisi kelas pekerja yang semakin ditindas?Tentu SPSI masih berada di PT.IWIP, kerja-kerja advokasi masih dilakukan namun hanya sebatas menyelamatkan kepentingan pengurus (walupun juga menyelamatkan pekerja namun kecil sekali). SPSI lebih seperti menjadi mitra perusahaan bukan sebagai organisasi kelas pekerja. SPSI yang beranggotakan ribuan kelas pekerja tambang, para anggota yang harus membayar iuran otomatis Rp. 30.000 tersebut. 

Minim sekali advokasi dari SPSI untuk memenangkan tuntutan kelas pekerja tambang. Walupun ada upaya membuat perjanjian kerja bersama (PKB), namun seprogres mana PKB tersebut, apakah melindungi kelas pekerja tambang atau justru semakin masif menindas kelas pekerja tambang (karena tidak ada tranparansi PKB). SPSI lebih tepat kita sebut bukan organisasi kelas pekerja, tetapi organisasi milik PT.IWIP.

Semakin parah penindasan dan penghisapan serta kekosongan organisasi kelas pekerja yang progresif. Kaum muda (mahasiswa, pemuda, perempuan) kemudian  menyatu dengan pekerja-pekerja tambang melahirkan satu organisasi kelas pekerja tambang bernama Forum Perjuangan Buruh Halmahera Tengah -- disingkat menjadi FPBH. Akumulasi kemarahan pun memuncak 4 April 2020, pekerja-pekerja tambang dari Weda Utara sampai Weda Timur, melakukan aksi politik memprotes kebijakan perusahaan yang akan mengakomodasi (tinggal di mes) pekerja tambang dibawa FPBHalteng. Aksi politik tersebut berhasil dimenangkan oleh kelas pekerja tambang PT.IWIP.  Namun kemenangan kecil itu bukan perusahaan diam tidak melakukan penindasan justru berbagai kebijakan yang dikeluarkan PT.IWIP ditengah ancaman wabah COVID-19 semakin menindas kelas pekerja tambang.

1 Mei 2020 memperingati Hari Buruh International atau biasa disebut May Day. Forum Perjuangan Buruh Halteng bersama hampir ribuan buruh melakukan aksi sekaligus deklarasi sebagai sebuah organisasi kelas pekerja tambang yang militan dan progresif. Penulis masih ingat bagaimana proses persiapan aksi dan deklarasi tersebut. Rapat-rapat, diskusi, diantara kelas pekerja yang tergabung dalam FPBH  masif dilakukan sampai memutuskan 12 tuntutan (Baca: 12 Tuntutan FPBH) yang partisipatoris dan demokratis. 


Pagi-pagi, sekitar pukul 06.00, FPBH menuju lokasi aksi tepatnya di depan PT.IWIP spanduk dan poster di bentangkan. Ribuan buruh pun terlibat dalam deklarasi tersebut. Aksi dan deklarasi tersebut diselenggarakan secara damai. Dengan satu suara PT.IWIP harus memenuhi seluruh tuntutan kelas pekerja  tambang. Namun tuntutan kelas pekerja tidak di indahkan oleh PT.IWIP malah pihak perusahaan (security) memprofokasi  dengan melemparkan batu pada ribuan pekerja tambanh yang   sedang merayakan Hari Raya Kelas Pekerja. Akumulasi kemarahan pun memuncak aksi dan deklarasi berlajut dengan menghentikan seluruh proses produksi PT.IWIP (pada saat itu produksi pertama nickel) selama satu hari. Maka jelaslah Forum Perjuangan Buruh Halteng bukanlah organisasi penyusup tapi merupakan organisasi kelas pekerja yang lahir dari rahim kelas pekerja tambang. 

Aksi dan deklarasi yang berujung pada ekspresi politik yang paling demokratis tersebut. Direspon oleh perusahaan dan pemerintah dengan menangkap parah buruh serta menuduh para mahasiswa yang terlibat dalam aksi tersebut sebagai profokator. Tindakan perusahaan tersebut memang sangat bebal bukannya menindaklanjuti tuntutan kelas pekerja tambang. Justru melakukan tindakan pembungkaman ruang demokrasi. Dimana SPSI? SPSI melakukan aksi tandingan dengan membela perusahaan. SPSI pun menuduh bahwa ada isu yang dibawah FPBH untuk membubarkan SPSI padahal tidak ada satupun tuntutan yang membawa hal tersebut. Ingat mosi tidak percaya pada SPSI lahir dari kelas pekerja tambang. Maka SPSI harusnya rendah hati menerima kritik dari kelas pekerja bukan malah merespon dengan tindakan anti demokrasi. Atau jangan-jangan memang begitu watak asli SPSI karena dibentuk oleh Soeharto (Baca; Sejarah SPSI).

Tuduhan-tuduhan dan serangan-serangan muncul dari berbagai arah oleh para kolaborator perusahaan. Bahwa aksi tersebut ditunggangi. Secara jelas harus kita tegaskan aksi tersebut ditungganggi kepentingan kelas pekerja untuk terbebas dari penindasan dan penghisapan. Karena kesejahteraan kelas pekerja hanya bisa didapatkan dengan perjuangan kelas. Adapun yang mengatakan bahwa para mahasiswa itu sengaja lari. Mari kita pertegas para mahasiswa itu masih tetap berjuang dengan para kelas pekerja tambang. Karena di mata hukum borjuis, siapapun yang benar sudah tentu salah. 

Ada pula orang yang mengaku aktivis yang terifeksi penyakit ujub mencoba membangun insuniasi dengan menuduh FPBH tidak bertanggung jawab. Mari kita tegaskan: FPBH bertanggung jawab, upaya pendampingan hukum, serta menggalang solidaritas secara politik dan tanggung jawab terhadap pekerja tambang yang ditangkap serta keluarga mereka sedang dikerjakan. Tuduhan dan serangan tersebut akhirnya terjawab. Bahwa semua adalah hoax yang sedang dimainkan perusahaan dan kolabortornya. 

Memasuki Hari Besar Umat Muslim, ribuan pekerja tambang mengancam mogok serta melakukan aksi protes untuk meminta agar perusahaan diliburkan. Apakah aksi tersebut ditunggangi? atau karena memang perusahaan yang melakukan penjajahan serta para pembelanya sedang berupaya menutupi. Tidak perlu penulis jawab, biarlah publik yang menilai.

Sudah jelas, jadi perlawanan kelas pekerja tambang PT.IWIP tidak akan pernah berhenti, selama penindasan dan penghisapan masih terus dilakukan oleh perusahaan dan penguasa. Kelas pekerja adalah tenaga produktif paling maju di bawah sistem kapitalisme. Sekaligus  penggali liang kubur dari sistem kapitalisme global. Kelas pekerja berkuasa rakyat sejahtera.

Terakhir dimanakah Bupati dan Wakil Bupati serta DPRD saat pekerja tambang PT.IWIP ditindas? Sedang minum kopi bersama pak de Jokowi dan tete Luhut*


Penulis: Ali Akbar M (Mahasiswa sekaligus pengurus Forum Perjuangan Buruh Halteng)



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama