Empat mahasiswa kena DO duduk melantai membacakan sikap (Foto: Muhlis) |
LPMKULTURA.COM – Ratusan mahasiswa dari berbagai elemen organisasi pergerakan tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus (SPDK) datang menuntut keadilan atas empat teman mahasiswa Universitas Khairun (Unkhair) yang diberhentikan (drop out/DO). Mereka berbondong-bondong duduk di depan gedung rektorat Unkhair, Senin (6/1/2020) untuk melakukan konferensi pers.
Konferensi pers itu adalah lanjutan dari tak terpenuhinya tuntutan pada aksi pekan lalu yang mendesak rektor Unkhair, Prof. Dr. Husen Alting untuk cabut SK DO nomor 1860/UN44/KP/2019, karena dibubarkan pihak satuan pengamanan (satpan) atau security kampus secara brutal. Tercatat, ada tujuh orang mahasiswa yang korban luka-luka dan memar.
Dari pantauan Tim LPM Kultura, tampaknya empat mahasiswa yang terkena DO duduk melantai di pelataran kampus lingungan gedung rektorat. Sementara, ratusan mahasiswa lainnya berdiri di belakang dan sebagian memegang spanduk bertajuk "Rektor Unkhair Harus Segera Mencabut Surat Keputusan Drop Out nomor 1860/UN44/KP/2019, dan Mengembalikan Fungsi Kampus Sebagai Ruang untuk Kebebasan Berpendapat dan Berpikir."
Empat mahasiswa yang mendapat DO adalah Arbi M. Nur (Prodi Kimia) dan Ikra S Alkatiri (Prodi PPKn) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fahyudi Kabir Prodi Elektro dari Fakultas Teknik, dan Fahrul Abdullah Prodi Kehutanan, Fakultas Pertanian.
“Tanpa alasan yang jelas, Rektor Unkhair memberhentikan kami dengan tuduhan melakukan perbuatan ketidakpatutan yang mengarah pada tindakan makar dan mengganggu ketertiban umum,” ujar Arbi, salah seorang mahasiswa yang di DO kepada sejumlah wartawan.
SK DO yang terbit pada 12 Desember 2019 itu merupakan hasil dari surat pemberitahuan kepolisian bernomor: B/52B/XII/2019/Res Ternate.
Seperti hasil liputan sebelumnya, SK DO diterbikan karena alasan kampus, empat mahasiswa terlibat dalam aksi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP) di depan kampus Muhammadiyah Maluku Utara, pada 2 Desember 2019. Unjuk rasa damai itu mengangkat isu “Memperingati 58 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Rakyat West Papua”.
Mahasiswa menilai, tidak ada hubungan hukum yang jelas terkait surat kepolisian dengan diberhentikannya ke empat mahasiswa. Dalam surat kepolisian, disebutkan bukan menjadikan ke empatnya tersangka atau surat perintah penangkapan tindakan makar dan atau mengganggu ketertiban umum.
Surat kepolisian itu, menurut mahasiswa, tidak lantas rektor harus tergesah-gesa menerbitkan SK DO. “Karena seseorang belum bisa dikatakan bersalah tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Arbi M. Nur.
Yang dilakukan Arbi dan ke tiga temannya, tambahnya bukan merupakan tindak pidana melainkan mengekspresikan hak konstitusionalnya. Hak itu dijamin negara dalam bentuk unjuk rasa damai memprotes kesewenang-wenang negara terhadap rakyat west Papua.
Yang dilakukan Arbi dan ke tiga temannya, tambahnya bukan merupakan tindak pidana melainkan mengekspresikan hak konstitusionalnya. Hak itu dijamin negara dalam bentuk unjuk rasa damai memprotes kesewenang-wenang negara terhadap rakyat west Papua.
Tentu kebijakan rektor ini menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku. Misal, tidak dipanggilnya empat mahasiswa sebelum menerbitkan SK DO. Keputusan ini pun di nilai mahasiswa sebagai keterpaksakan dan sepihak.
"Aksi kami kemarin tak ada sangkut-pautnya dengan aksi yang bersifat pencemaran nama baik Universitas Khairun, aksi kami murni mengatasnamakan solidaritas untuk papua," pungkas Fahrul, salah satu mahasiswa terkena DO tadi.
Tuntutan
Satu per satu, massa mahasiswa mulai berkumpul di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) hingga sekira pukul 11.30 WIT, mereka berjalan menuju ke depan gedung rektorat.
Kabarnya, kegiatan itu sempat tidak diizinkan pihak security. Alasannya pimpinan atau ketua security kampus belum datang. Namun, ratusan massa itu tetap berjalan. Sekira pukul 12.00 WIT, konferensi pers di mulai.
Empat mahasiswa itu bergantian membacakan isian tuntutan yang dilayangkan kepada pihak rektorat, diantaranya:
1. Cabut Surat Keputusan Rektor Universitas Khairun (Unkhair) Ternate nomor 1860/UN44/KP/2019.
2. Meminta kepada Menteri dan Kebudayaan RI, Nadiem Anwar Makarim untuk memecat Rektor Universitas Unkhair karen telah menciderai hak mahasiswa untuk berkumpul, berekspresi, dan berpendapat yang dijamin dalam konstitusi.
3. Berikan jaminan kebebasan akademik sesuai dengan amanat konstitusi.
4. Menyerukan dukungan solidaritas untuk kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat.
5. Menuntut pertanggungjawaban pihak Universitas Khairun Ternate atas penggunaan kekerasan dalam pembubaran massa aksi Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus pada senin (31/12/2019).
6. Cabut Surat Edaran Rektor nomor 1913/UN44/RT/2019.
Saat diwawancarai terpisah, Arbi M. Nur, enam poin tuntutan itu harus direalisasikan. Terlebih agar SK DO itu dicabut. Mereka juga menyerukan dengan secara luas panggilan solidaritas untuk perjuangan kedepan.
Disebutkan pula bahwa mereka saat ini mendapat dukungan sekitar 127 elemen organisasi kemasyarakatan, LSM, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan ratusan organisasi pergerakan lainnya di berbagai daerah di Indonesia.
Setelah membacakan pernyataan sikap, massa organisasi pergerakan dari berbagai kampus di Kota Ternate itu membubarkan diri pada pukul 12.30 WIT.
Reporter: Firman dan Muhlis
Penulis: Firman dan Ajun
Editor: Ajun