SK Drop Out 4 Mahasiswa Tanpa Surat Panggilan Dinilai Sepihak, PH Minta Cabut

Gedung Unkhair

lpmkultura.com – Sepuluh hari setelah aksi unjuk rasa oleh sekelompok mahasiswa di depan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Surat Keputusan (SK) perihal pemberhentian putus studi atau Drop Out kepada 4 mahasiswa Universitas Khairun (Unkhair) terbit, tertanggal 12 Desember 2019 lalu. 

SK Rektor dengan nomor: 1860/UN44/KP/2019 ditandatangani oleh Prof. Dr. Husen Alting itu lahir atas putusan senat Unkhair, yang mengacu pada Surat Pemberitahuan Kepolisian Resort Ternate. 

Mahasiswa yang namanya terlampir dinilai telah melakukan tindakan tidak terpuji yang mencederai nama baik Unkhair dalam gerakan unjuk rasa mendukung pembebasan West Papua.  Aksi tersebut oleh pihak senat Unkhair ditengarai merujuk pada aksi disintegritas bangsa.

Dalam SK, terlampir nama ke empat mahasiswa, diantaranya, Arbi M. Nur dan Ikra S. Alkatiri masing-masing dari Program Studi (Prodi) Kimia dan PPKN Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fahyudi Kabir dari Prodi Elektro Fakultas Teknik dan Fahrul Abdullah Prodi Kehutanan Fakultas Pertanian.

Selain alasan melakukan gerakan yang mengancam integritas bangsa, Arbi dan tiga kawannya diidentifikasi telah melanggar beberapa aturan yang berkaitan dengan Misi Universitas Khairun, yakni Statuta Universitas Khairun pasal 82 ayat (3), Peraturan Akademik Pasal 32 ayat (3), serta melanggar Kode Etik Mahasiswa Universitas Khairun Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13.

Aksi yang dimaksud ialah refleksi hari lahirnya embrio Bangsa West Papua yang jatuh pada tanggal 1 Desember 1961 atau 58 tahun silam dan aksi penuntutan dibebaskan 6 (enam) Tahanan Politik (Tapol) Papua, yang dilakukan oleh aktivis dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP), Senin (2/11/2019) lalu di depan kampus UMMU.

Aksi tersebut berujung pada pemukulan, pembubaran dan penangkapan. 10 (sepuluh) aktivis kemudian diamankan Polres setelah massa dibubarkan secara paksa oleh aparat gabungan TNI-Polri. Data diri atau identitas ke sepuluh mahasiswa itu dikantongi oleh Polres, yang setelahnya diberikan kepada pihak kampus tempat aktivis mahasiswa menempu studi.

Menurut Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Syawal Abdul Ajid, aksi yang dilakukan itu mengancam kedaulatan NKRI dan perlu ditindak tegas. Pun terindikasi berpihak terhadap Organisasi Pembebasan Papua (OPM). 

"Dan itulah yang kita larang," tegasnya

"Jadi mereka itu sudah menerima SK yang diterbitkan sejak 12 Desember 2019, dan mereka itu sudah final kita buat SK-nya untuk pemberhentian sebagai mahasiswa," ujar Syawal Abdul Ajid, saat ditemui tim LPM Kultura di ruang kerjanya, Kamis (26/12/2019) kemarin.

Menurut mantan Dekan Fakultas Hukum itu, tindakan tersebut diambil karena tiga alasan. Pertama, mencoreng nama institusi; kedua, tidak mendukung pemerintah di bidang keamanan dan bela negara; dan ketiga, sebagai mahasiswa sudah keluar dari kode etik.

Hal senada juga disampaikan oleh Dekan Fakultas Pertanian, Abdul Kadir Kamaluddin. Ia bilang, siapapun yang melakukan tindakan (aksi) itu harus bertanggung jawab. 

“Karena ini aksi yang mengarah pada makar, sehingga itu semua keputusan senat,” kata Dekan dua periode itu saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis  lalu.

Abdul Kadir juga mengatakan bahwa perguruan tinggi lain, misalnya STKIP Kieraha, IAIN Ternate dan lainnya, akan melakukan tindakan serupa yang mengarah pada kode etik mahasiswa. 

“Karena itu keputusan yang sudah ditanda tangani oleh Pak Rektor ini berdasarkan pada rapat Senat oleh perguruan tinggi,” katanya.

Namun, dari ke empat aktivis mahasiswa yang telah diberhentikan itu tak mengetahui pun memegang SK Drop Out. Baru Arbi yang mendapat keterangan dari Ketua Prodinya (Kaprodi Kimia), kala datang melakukan konsultasi untuk judul penulisan skripsi, pada 13 Desember 2019 lalu, satu hari setelah terbitnya SK. 

Arbi mendapat hambatan. Menurut Arbi, Kaprodi tidak dapat melayani konsultasinya karena dia terlibat aksi Papua. Ia akan diberikan form judul tapi harus menemui Wakil Dekan III dan Wakil Dekan I FKIP. Dari pertemuan itu, Arbi juga diberitahu,  ada beberapa temannya juga yang harus datang menghadap. 

Isu tentang SK Pemberhentian mahasiswa Unkhair kemudian beredar di kalangan mahasiswa. Namun rupa SK tersebut belum juga terlihat dan diterima oleh mahasiswa yang diberi sanksi.

"SK DO itu belum kami terima," kata Arbi dengan wajah heran saat kami menanyakan perihal SK. "Hampir seminggu, tapi kenapa SK DO keluar tanpa melibatkan kami," tambahnya.

Berselang beberapa hari, Arbi menyambangi Wakil Dekan menanyakan perihal SK. Namun, SK itu kata Warek III belum ada. Bahkan, Arbi bilang mereka tidak dipanggil untuk dimintai keterangan sama sekali. Pun tidak dilayangkan surat secara resmi oleh Universitas. 

Hal itu pun dibenarkan Fahrul Abdullah. Wajahnya memerah bercampur gelisah saat ditemui tim LPM Kultura. Ia sedikit pun tidak mengetahui hal tersebut. Justru baru ia ketahui dari hasil liputan kami yang mewawancarai Warek III yang terbit pada Kamis lalu dengan judul “4 Mahasiswa Unkhair di Drop Out, Alasannya Ikut Demo Papua Merdeka”.

Waktu masuk kampus, dia merasa ada yang janggal. Banyak teman-temannya  bilang kalau dia akan dikeluarkan oleh kampus. Namun, selembar kertas itu tak kunjung ia terima. 

"Saya justru tahu mengenai SK DO itu setelah ada informasi dari teman seangkatan dan informasi dari fakultas. SK itu katanya sudah diberikan kepada kami, tapi sampai sekarang saya belum mendapatkan SK DO itu," kata Fahrul, mahasiswa yang pernah mendapatkan beasiswa bidikmisi ini. 

Selain Arbi dan Fahrul, hal serupa juga dialami oleh Fahyudi dan Ikra. Tak ada kejelasan soal SK Rektor. 

Menurut aliansi mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus (SPDK), ada yang janggal. Mereka menilai, apa yang disebut “makar” oleh pihak universitas secara prinsip keliru. Apalagi hingga mengeluarkan surat DO.

Kordinator SPDK, Fatur, mengatakan, harusnya rapat senat universitas itu melibatkan mahasiswa karena keputusan tersebut membahas soal masalah empat orang yang dianggap ‘bermasalah’ dalam keikutsertaanya di unjuk rasa.

Dari keterangan mahasiswa yang diperoleh Fatur, kampus belum memberikan SK kepada mahasiswa. Sehingga, Fatur sebut SK itu cacat secara prosedural dan sepihak.

Kampus, kata Fatur, tidak punya kewenangan mengintervensi hak politik mahasiswa. Dasar yang jadi acuan pemberhentian studi dikatakan tidak punya dasar jelas. Argumen yang digunakan pihak kampus mengakomodir nalarnya kepolisian dan sangat paradoks.

Pendamping Hukum, Kuswandi Buamona, menilai alasan pihak kampus melakukan Drop Out kepada 4 mahasiswa itu aneh. Alasan DO bila batas masa waktu studi itu sah saja.
"Inikan aneh, 4 orang mahasiswa tersebut pada aksi juga tidak mengatsnamakan Universitas Khairun tapi aksi itu tergabung dari beberapa organisasi kemahasiswaan yang ada di kota ternate," kata Wandi sapaan akrab pendamping Hukum mahasiswa itu melalui pesan singkat whatsapp, Minggu (29/12/2019).

Mahasiswa kata Wandi, pun tidak pernah di proses secara hukum maupun di vonis pengadilan karena bersalah melakukan aksi tersebut. 

Peraturan Akademik Unkhair tentang bentuk sanksi terhadap mahasiswa, lanjut Wandi dapat berupa sanksi administrasi dan akademik sangat jelas.

Ia mempertanyakan apakah langkah pemberian sanksi sebagimana yang termuat dalam peraturan akademik sudah dilakukan oleh pihak kampus atau belum. Bahkan tidak diberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menanyakan alasan drop out.

"Untuk itu saya meminta agar keputusan DO ini di cabut dan 4 orang mahasiswa  tersebut diaktifkan kembali, jika tidak maka kami akan mengambil langka hukum yang tegas yakni mengajukan gugatan TUN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)," tegasnya.

Reporter: Tamim, Thaty & Man
Editor: Ajun

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama