Pengagum Rahasia

Hipwe
Dua tahun lebih rasa ini bersarang dalam jiwa hingga menjadi kegelisahan. Namanya tidak akan aku sebutkan. Ia adalah rahasia dalam hidupku.Mengikuti ceritanya, bagai diterjal nestapa. Aku bak lunglai dihantam hasrat tuk memilikinya. Mulut ingin berucap “aku mengagumimu”, namun tak kuat mengatakannya. Aku tambatkan niat, ini pilihan, aku memilih untuk mengaguminya dari kejauhan. Pada dia, cerita ini bermula, dan aku harus memulai menuliskannya.

**
Pada pementasan treaterikal di Hari Tani Nasional (HTN) tahun 2017 lalu, bersama sahabatku Muhlis Wahid, yang sering disapa Kak Aco, berniat untuk melanjutkan kelompok pentasan teaterikal di Hari Tani itu, untuk dibentuk menjadi sebuah sanggar seni sebagai pelestarian budaya, penyaluran bakat, dan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah maupun birokrasi kampus melalui seni kreatifitas. Alhasil kami berhasil membentuknya dengan nama awal Squensenfap atau “Squad Sanggar Seni Faperta”. Sekarang, Squensenfap sudah berganti nama menjadi sanggar Minat Kreasi Fakultas Pertanian (Misi Faperta) Unkhair.

Pada pagelaran di Hari Tani itu, kami mendapat sorotan dari semua warga kampus. terutama keluarga besar Fakultas Pertanian dan mendapat respon positif dari pihak birokrasi fakultas. Sehingga kami dimintai mengisi acara pada rangkaian kegiatan pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian. Kami sangat senang dengan hal itu, disamping itu datang juga teman-teman dari berbagai program studi di Fakultas Pertanian untuk bergabung. Akhirnya di sanggar kami semakin banyak personil.

Disaat itu, aku disibukkan dengan berbagai kegiatan di luar yang memang tidak boleh ditinggalkan karena aku menjadi penanggung jawab inti. Pada suatu ketika, di sesi latihan teman-teman sanggar yang di bimbing langsung oleh kak Aco sebagai pelatih, aku diminta olehnya untuk datang dan memperkenalkan diri sebagai sahabat yang bersamanya di awal terbentuk sanggar itu. 

Kata kak Aco begini “Ngana datang dulu lah perkenalan deng anggota baru, biar  cuma stengah jam begitu baru ngana lanjut ngna pe tanggung jawab nanti saya kase latihan pe dorang. [Kamu datang dulu untuk perkenalkan diri kepada anggota baru, biar hanya setengah jam, usai itu silahkan lanjutkan tanggung jawabmu, nanti aku yang beri latihan ke mereka],” 

Di hari itu aku yang juga ada kesibukan, sempatkan waktu untuk datang dan memperkenalkan diri. Tepatnya dipondok tani yang berada di belakang ruang kelas Fakultas, berdampingan dengan sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Kita saling memperkenalkan diri, disaat itulah pertama aku mengenal seorang perempuan yang membuat padaanganku tak lepas. Pikiranku seperti kosong dibuatnya. Sesekali menoleh ke atap agar tak dicurigai. Ia perkenalkan dirinya. Sapaannya membuat hatiku dingin. Suaranya khas burung bidadari halmahera. Ia benar-benar memikatku. Ingin rasanya tatapanku takkan ku lepas. 

Sore itu,  matahari semakin mengeluarkan cahaya jingganya, petanda, seakan cepat berlalu ditelan lautan di ufuk barat. Berpisah dengan siang dan bertemu pekatnya malam tuk merindukan bulan yang bersemedi dicercahnya bintang. Aku tahu, matahari tidak akan egois. Aku memohon padanya, agar dulu berlalu menyinari sang perempuan itu. 

Seyogyanya, aku masih ingin memandang parasnya yang membuat ku lunglai seolah menanggalkan tanggung jawabku.

Sambil serius memandangi meraka latihan, tiba-tiba aku kaget saat kak Aco menepuk bahu kanan sambil bertanya : “Sabantar ngana pigi mana? [Sebentar kamu pergi kemana?]"

Perntanyaan itu membuat ku teringat tugas yang aku emban malam nanti untuk melatih teman-teman pentas di kegiatan Mawapres itu.

Waktu berlalu. Kegiatan pentas Mawapres Faperta akan digelar. Suara lonceng berbunyi, di aplikasi Messenger grub ketus mengingatkan untuk hadir. Menjelang pukul 16.00 WIT, dengan kecepatan rata-rata, aku kendarai motor bergegas menuju ke Jatiland Mall, tempat pementasan yang akan teman-teman sanggar pentaskan sekira 30 menit lagi.

Belum sampai di tempat tujuan, aku dihalangi hujan deras. Sembari berteduh, aku ikuti perkembangan di messenger grub. Hujan perlahan meredah, aku langsung beranjak lagi meski serpihan rintiknya menampar-nampar wajah. Jaket yang aku kenakan basah kuyup. Meski begitu, pengorbanan ini aku lakukan semata-mata menonton pertunjukan sanggar yang turut ditengarai oleh sosok perempuan yang aku kagumi itu. 

Hasilnya nihil, nasib baik belum berpihak; pertama, pentas telah usai dan kedua, perempuan itu pun sudah tak aku temui disana. Wajahku murung, sedikit kecewa. Mataku liat mencari keberadaannya. Dengan tergesah-gesah, aku mendekati junior ku. Ia menyambut dengan berkata “Ado, akak paling payah e, terlambat tu [aduh, kaka paling payah, terlambat],” . Aku tak ambil pusing dengan gurauannya. 

Beselang beberapa menit, kedua sahabat dan seangkatan kampus, kak Aco dan Ajai pun menghampiri ku. Ditengah perbincangan kami, mataku terus menoleh lalulalangnya para pengunjung, dengan harapan ia ada dikerumunan itu. Namun, raut wajah itu tak pernah hadir. Harapan tuk berjumpa dengannya pupus diterjang angin lalu. 

Teman-teman sanggar maupun peserta Mawapres perlahan meninggalkan lokasi pentas. Rasa kekecewaan ku mulai dalam. Aku pasrah, toh! Itu kelalaianku tak hadir tepat waktu. Belum hilang khayalku bertemu dia, seorang junior perempuan mengajakku menemaninya mencari buku di Gramedia. Aku mengangguk, kebetulan aku pengen melihat buku-buku di Gramedia. 

Belum lama sampai, handphone ku tergetar. Notifikasi pesan digrub. Seorang crew bertanya keberadaan kami. Ajai langsung membalas “Saya, Ka Aco, Ka Dani, Kisi deng Sumi masih di Gramed ni [Kami masih berada di Gramedia],” 

Tak menunggu lama, setelah pesan itu dibalas, dua orang perempuan muncul dari belakang. Sontak, aku kaget bukan kepalang. Seketika itu, hatiku berbunga campur bahagia. Ternyata dia bersama temannya. Aku gugup, namun ku paksaan untuk terlihat santai. Malu bila ditertawai.

Kak Aco menghampiri kami. Ia ajak nongkrong di tapak, tempat santai di dekat pantai. Semua kru sanggar menjawab “Ayo”. Kami langsung ke sana. Saat itu, kami duduk berpisah. Karena tempat tak memumpuni untuk berbarengan semeja. Ia berbarengan tempat duduk dengan Kak Aco. Tepat disebelah meja tempat duduk kami. Beberapa jenis menu telah kami pesan,gorengan, minuman, dan makanan.

Sembari makan, kami cerita lepas, sesekali menyinggung tentang perasaan hingga bermain kartu bersama. Saat itu, ada aturan main. Siapa yang kalah, harus menjawab dengan jujur. Temanku bahkan kalah dua kali. Pertanyaannya cukup dramatis, merujuk pada persoalan perasaan seseorang. Aku khawatir, aku takut Ajai menjebakku. Ia, bisa disebut orang yang pandai melihat situasi pun telah tahu bila aku sedang jatuh cinta kepada seseorang. 

Di permainan yang ke 5, aku kalah. Sudah terpikirkan, aku akan dibuat gerah dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku tahu pertanyaan itu pasti muncul dan tidak salah lagi aku ditanya tentang perasaan kepada siapa dan ketika aku ditanya semua kru diam. Semuanya fokus kepadaku termasuk dirinya, suasana waktu itu semakin ceria.

Akupun mencoba untuk memuta-mutar pembicaraan tetapi sesorang kru perempuan yang juga penasaran kembali bertanya padaku "kepada siapa?". Mungkin saat itu adalah hal yang tepat untuk mengatakan kepadanya karena ia juga terlihat sedang menunggu jawaban itu dengan rasa penuh harap, tetapi aku hanya berikan inisial saja. Sembari membuat topik pembicaraan baru untuk keluar dari pertanyaan itu tanpa menjawabnya.

Kalau waktu itu aku mengatakan tentang perasaanku, mungkin sekarang aku masih bersamanya dengan ikatan asmara atau ia akan pergi karena menerima perasaaanku bersanding dengannya. Dan akan meninggalkan sanggar karena merasa tidak nyaman. Disitulah aku memilih untuk tidak mengatakan dan mengaguminya setiap waktu, bahkan dalam diam.

Malam itu semakin larut, kami semua harus bergegas pulang. Esok pun menanti seperti biasanya. Kami pun pergi meninggalkan tempat yang sedari tadi menghiasi wacana seru itu. tetapi sebelum meninggalkan tempat itu, ada suara yang menyapa tuk pamit mendahuli. 
“kaka torang pulang dulu e [kakak kami pulang duluan]"  suara perempuan yang aku kagumi itu.
 
“iyo hati-hati e, sampe rumah jang lupa salam mama deng papa [Iya hati-hati, sampai di rumah salam mama papa] ” sambil tersenyum dan dibalaskan dengan senyum pula.

Kami pun berpisah dengan arah pulang yang berbeda. Dalam perjalanan pulang, aku merasa sangat senang sambil senyum-senyum karuang. Aku pun bergegas dengan kecepatan sedang sembari menikmati indahnya pemandangan kota di malam itu.

Setibanya di rumah, aku bergegas menghidupkan Handphone yang mati saat di kedai. menekan menu utama, kugeser mencari aplikasi Massenger. Melihat percakapan di grup sambil kuketik 
"angka tangan yang so sampe dirumah", [angkat tangan kalau sudah ada yang sampai rumah]” sambil berharap perempuan yang menghuni pikiranku itu bisa melihat dan membalasnya.  
Di grup kebanyakan merespon dan yang lain menyimak.

Tiba-tiba muncul notifikasi baru, ada yang chat. Ternyata ia adalah teman dekatnya. Ia pun langsung bertanya tentang gurauan yang dibuat oleh temanku dikedai, dan mengatakan, aku menyukai temannya. Aku pun hanya membalas dengan emot senyum. Percakapan kita berlanjut sampai pada sebuah kesepakatan, bahwa temannya akan menjaga rahasia tentang perasaanku.

Malam itu, aku merasa bukan rahasia lagi karena sudah diketahui oleh temannya. tetapi aku berharap semoga rahasia menjadi amanah buatnya.  Dan tidak akan membocorkan pada siapa pun. Kecuali Tuhan yang membolak balikan hati seseorang. 

Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri untuk memulai chat dengannya. Mengomentari sebuah story messengernya, aku direspon dengan baik, dan tentu saja percakapan kita nyambung. Terkadang dalam pembahasan kuselipkan rangkaian kata yang menggambarkan perasaanku. Ibarat mengkambing hitamkan pelaku cinta yang lainnya.

Suatu ketika dia mengikuti sebuah event. event yang membuat kecantikan dan keanggunannya diakui oleh banyak orang, yakni pemilihan Putera Puteri Kebudayaan Malut. Ia pun menjadi salah satu peserta terbaik. 

Membuat banyak mata yang melirik padanya, dan semakin menguatkan aku untuk selalu menjadi pengagum rahasianya. Entah sampai kapan, mungkin sampai aku benar-benar siap untuk menjadi imamnya. Yah, itu harapan yang selalu kuceritakan kepada Tuhan di setiap pertemuanku dengannya. 

Mungkin sampai dia menjadi pendamping seorang yang lebih beruntung dariku. tetapi sebenarnya tidak kuinginkan. begitulah konsekuensi sebagai seorang pengagum rahasia. Semoga kelak aku berhenti menjadi pengagum rahasia tetapi penghuni hati yang setia.[]3

Penulis: Muh. Rahmadani Hi. Bakar, Mahasiswa Pertanian Unkhair

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama