“Tubuh”

Foto pribadi/Nursin

Penulis: Nursin R. Gusao*

TUBUH merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari beberapa bagian, ada beberapa bagian tubuh yang seringkali dilekatkan dengan sosok perempuan. Perempuan dalam hal ini selalu dikaitkan dengan kata tubuh, ada apa? Sejak masa kolonial hingga kini, perempuan selalu dijadikan komoditas utama para pemodal (kapitalis).

 Kita ketahui secara bersama bahwa tubuh bukan hanya dimiliki oleh perempuan tetapi juga laki-laki termasuk (gay dan waria), namun lagi-lagi sosok perempuan, baik itu anak-anak maupun dewasa, stigma mengenai tubuh tak akan lepas dari mereka. Ini membuat masyarakat secara umum tidak melihat tubuh perempuan secara menyeluruh tetapi perempuan dilihat berdasarkan potongan-potongan tubuh. Sehingga kapitalisme dan patriarki akan termanifestasikan lewat tubuh perempuan. Ini terlihat misalnya, melalui komodifikasi para kapitalis yang sengaja menggunakan tubuh perempuan sebagai objek dalam kemajuan mereka.

 Konsepsi Tubuh dan Otonomi Tubuh

 Menurut Foucault, tubuh perempuan dianggap ornamen, maka penggunaan segala sesuatu mulai dari pakaian dan lain-lain semuanya terlibat dalam pemaknaan tubuh perempuan. Melihat tubuh perempuan, kita tidak bisa lepas pisahkan dengan konteks budaya dan tubuh yang didefenisikan. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganut budaya patriarki sejak dahulu, budaya ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa laki-laki yang selalu menjadi pusat (center) dari semua relasi-relasi sosial yang ada karena dibudayakan.

Baca juga: Narasi Media soal Kekerasan Seksual Masih Sudutkan Perempuan 

Tubuh juga sering kali memiliki hierarki pemaknaan, misalnya tubuh yang indah dan tidak indah, normal dan tidak normal, ideal dan tidak ideal sampai seterusnya. Mengapa perempuan selalu dijadikan objek dalam hal ini untuk mengguntungkan para pemodal? Tubuh perempuan sering kali dikatakan ideal apabila memiliki bentuk yang sexy, sehingga para pemodal dengan sengaja menampilkan lebih banyak tentang perempuan dibandingkan dengan sosok laki-laki.

Tubuh Perempuan dalam Iklan

 Iklan menjadi salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan. Produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk menghembuskan wacana “langsing”, “kulit putih”, “ rambut hitam lurus dan panjang” yang terus muncuat ke publik sehingga secara tidak sadar masyarakat menggangap tubuh perempuan yang ideal dan normal itu sebagaimana yang ditampilkan wacana dimedia. Standar hidup manusia seolah-olah di ukur lewat iklan yang di tampilkan. 

Pengaruh iklan begitu dasyat sampai-sampai menjadi tuntutan, misalnya pada kulit wajah yang hitam harus diputihkan, sehingga sebagian masyarakat merasa malu ketika memiliki kulit yang demikian. Ini merupakan kuasa( strategi ) dari para pemodal yang mencoba menghasut masyarakat lewat iklan dan yang dijadikan objek paling banyak dalam periklanan yaitu perempuan, karena dianggap dapat mampu mempengaruhi masyrakat lewat tampilan iklan dan tutur bahasa dalam iklan tersebut.

Karena itu kian jelaslah bahwa iklan adalah media promosi produk tertentu, dengan tujuan agar produk terjual laris, sehingga iklan di buat semenarik mungkin. Kadang iklan sering mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, dan estetika penonton atau sasaran produk yang diiklankan. 

 Iklan-iklan yang memelihara nilai-nilai seperti ini sesungguhnya menimbulkan stereotipe baru terhadap perempuan, yaitu konsep yang mengcakup seks dan gender dimana seks adalah identifikasi untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (jenis kelamin) yang digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual. 

Sterotipe terhadap perempuan seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada wacana yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya.

Fenomena budaya iklan yang mengeksploitasi tubuh perempuan tersebut menjadi kegelisahan tersendiri bagi saya secara pribadi dan perempuan-perempuan secara keseluruhan. Dalam lingkup yang lebih luas tubuh perempuan yang diekspos habis-habisan oleh media massa dalam beragam seni pertunjukan iklan seperti peragaan modernisasi mode busana. Seringkali dengan adanya stereotipe bahwa tubuh perempuan sebagai objek seksual dan pemikiran-pemikiran budaya patriarki ini, kadang memicu terjadinya kasus kekerasan seksual pula. 

Sebab tubuh perempuan tidak dipandang secara keseluruhan melainkan berdasarkan potongan-potongan tubuh. Saya pernah menulis tentang perempuan dan kekerasan seksual, agar kiranya bisa membuat kita semua memahami bahwa terjadinya pelecehan seksual dan lain-lain, tergantung pada diri kita masing-masing.

Jika yang dilihat adalah perempuan secara utuh dan hasrat seksual bisa dikontrol maka ini akan sangat membantu kita dalam hal melawan terjadinya pelecehan seksual. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua untuk melawan berbagai macam kasus-kasus yang selalu menyampingkan perempuan. Dan perlu kiranya agar RUU-PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) sesegera mungkin disahkan agar dapat membantu perempuan-perempuan Indonesia pada khususnya Maluku Utara yang menjadi korban kekerasan seksual mendapat perhatian penuh oleh pihak terkait, dan pelaku-pelaku dapat diadili setimpal.

Dan juga saya mengajak agar jangan pernah bosan-bosan dalam melakukan kampanye dan penyadaran bagi kaum perempuan untuk lawan kekerasan seksual dengan berani bersuara, dan segera melepaskan diri dari belenggu konsumerisme yang diciptakan oleh para pemodal (kapitlis) untuk mengeksploitasi habis-habisan tubuh perempuan.[]

*Anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kultura
Lebih baru Lebih lama